XI

366 80 21
                                    

NamJoon

Kalau sudah begini, tidak ada alasan untuknya tidak mengikuti kemana anak badung itu berpindah tempat. Tidak pernah ada percakapan berarti di antara keduanya. Baik NamJoon maupun Jeongguk, keduanya seakan membatasi diri mereka sendiri supaya tetap berada di tempat. Agar tidak menyentil sesuatu yang tidak seharusnya. Bukan ranahnya. Tapi kali ini, NamJoon seperti ditampar kenyataan. Ternyata sejauh yang pernah mereka tempuh, ia tidak bakal bisa mengerti apa yang ada di dalam pikiran Jeongguk dan dunia kecilnya. Dipaksa ada di antara banyak abdi dan dikaruniai banyak kasih sayang dari mbak-mbak lainnya.

Jeongguk hampir tidak pernah protes. Ia semata-mata berubah jadi penurut dan tidak menuntut ini-itu. Keegoisannya dan keraskepalanya luntur sewaktu ada di antara Abdi Kinasih Kanjeng Ratu. Jeongguk jadi berkepribadian penurut dan mudah diatur. Transparan. Perasaannya jadi mudah dibaca oleh mbak-mbak lainnya. Anak itu bahkan menunjukkan sikap tidak acuh sewaktu ditanya ini dan itu. Menjawab apa adanya saja. Berbanding terbalik dengan NamJoon. Sebagai orang yang ditugaskan ndoro Kanjeng, NamJoon merasa berjalan di antara hutan lebat yang gelap. Tidak dibekali sekadar korek api untuk menerangi jalannya. Harus meraba-raba apa kiranya yang boleh dan tidak boleh dilakukan pada sosok Jeongguk yang baru saja lahir kembali. Baru bergabung dengan deretan abdi kesayangan Kanjeng Ratu.

"Kamu ndak mau tanya dia dulu?" Suara SeokJin membuyarkan lamunan NamJoon yang sudah memangku satu jarit batiknya. Jeongguk memang memberi kabar kalau hendak meminjam, tapi ia tidak tahu-menahu kalau laki-laki itu membawa anak manusia terjun ke Kraton Laut Selatan. "Bisa saja, kan, dia tidak berniat buat pergi diam-diam. Cuma kebetulan saja kamu ndak di kos."

"Harusnya dia bisa kasih kabar dulu," sanggah NamJoon. Tidak bakal ia beri kompensasi lagi untuk kelakuan pemuda itu yang sudah ada di luar nalar. "Ya, kalau Jimin tidak meninggal. Kalau iya, bagaimana? Aku ndak bisa jelaskan juga ke keluarganya. Kalau begini, sama saja dia kasih tanggung jawab ke aku yang aku ndak tahu."

"Jangan negatif thinking dulu, toh, Joon." Lelaki kalem itu duduk di sudut kamar. Di atas kursi sambil sesekali mengusap-usap punggung sang kekasih yang tegang. "Kalau belum tanya, kamu tidak bisa tahu jawabannya yang asli. Jangan berasumsi dulu."

"Ndak butuh asumsi kalau sudah begini. Dia memang niatnya begitu."

"Kok, kalau dengan Jimin, dia bisa ndak emosi, ya? Kalau dengan kamu selalu kayak Tom Jerry. Kucing sama tikus. Kejar-kejaran, tidak pernah akur."

"Ya, sudah ketemu pawangnya."

"Hush!"

"Lha, memang iya. Dia juga kalem kalau sama ndoro Kanjeng dan mbak-mbak Abdi Kinasih lain."

"Kalau sama Jihyo? Kamu bilang kalau dia mantan pacarnya, kan?"

"Sama Jihyo lebih-lebih. Sudah kayak mbaknya sendiri."

"Kok, bisa begitu, ya?"

"Tapi ada bedanya, sih, kalau dilihat-lihat." NamJoon jadi penasaran. Meninggalkan rasa kesalnya justru untuk mengobservasi kelakuan Jeongguk saja alih-alih menyalahkan pemuda itu terus-menerus. "Cah aneh." Ia bangkit dari kursi. Menarik lengan sang kekasih supaya bisa lebih dekat. "Aku tak ke Kraton Laut dulu. Tolong kalau temannya Jimin itu tanya, jawab saja lagi liburan sama pacarnya yang baru."

"Temannya Jimin yang mana? Mina?"

"Yang laki-laki. Abdi dalem," jawab NamJoon, "aku dengar dia pakai Kadaton kalau ngomong ke kamu walaupun ndak pakai kemeja biru sama jarit."

"Kadang aku takut sama pengetahuanmu, Joon."

"Ya, ada otak gunanya harus dipakai. Biar tidak berdebu."

Gardapati [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang