IX

222 74 6
                                    


Taehyung

Baru kali ini ia lihat kawan yang hampir selalu mampir ke Cepuri Parangkusumo seorang diri, jadi diekori oleh seorang pemuda tinggi. Berperawakan seperti petinju dan siap membogem-mentah siapa saja yang menghalangi jalannya. Manik matanya kelam dengan surai panjang sampai ke bahu. Melihat sekeliling dengan awas seperti ia ada di medan tempur saja. Pandangannya melunak jikalau Jimin menoleh dan mengajaknya berbicara. Binar kilap matahari baru memantul sewaktu pemuda itu menyunggingkan senyum tipis. Saking tipisnya, butuh pasang mata fokus untuk menemukannya.

"Tae, ini Jeongguk." Jimin memperkenalkan. "Jeongguk, ini Taehyung. Temanku yang selalu jaga disini. Kamu bilang kalau butuh lihat batunya, kan?"

Taehyung membungkuk sedikit sebagai tanda hormat. Di luar dugaan, pemuda garang itu melakukan hal yang sama. "Tumben sama orang lain, Jim? Biasanya butuh waktu sendiri," jawabnya.

"Iya. Sekarang yang butuh kemari itu Jeongguk. Aku cuma mengantar saja." Tubuh mungil Jimin seperti dihimpit oleh dua dinding raksasa yang bisa kapan saja lepas dari pondasi tanah dan membawanya lari. Entah itu tembok bernama Taehyung atau Jeongguk duluan yang punya kuasa. "Benar yang ini?" tanya Jimin.

"Iya, yang ini." Jeongguk membungkukkan badan. Berjalan sambil jongkok untuk bisa mendekat ke dua batu karang berpagar yang dijaga ketat. Sempat Taehyung dengar laki-laki itu berucap permisi dan melepas alas kaki.

"Ndak salah, kan, Jeongguk?"

Alih-alih menjawab, Jeongguk pandangi dua batuan laut di hadapan. Seksama dan hati-hati. Ia sentuh seakan benda itu adalah sesuatu yang bisa hancur jikalau tidak hati-hati. "Tidak salah," katanya.

"Ada apa sama batunya?" Taehyung jadi tergelitik untuk bertanya. Rasa penasarannya tidak lagi bisa dibendung. Terlebih dengan kehadiran orang asing yang terlihat tidak mencurigakan tapi juga membahayakan di waktu yang sama. Ia tidak bisa memutuskan harus bereaksi seperti apa tanpa memastikan satu atau dua hal lagi.

"Aku ndak bisa cerita, Tae," sahut Jimin, "nanti kamu juga tahu sendiri."

"Kalau batunya mau diambil, aku ndak bisa diam saja."

Menantikan sanggahan, Taehyung justru mendapat jawaban dengan pemuda ini merunduk dalam. Dugaannya sepertinya tepat. Tapi untuk apa? Mengapa pula lelaki aneh yang masih mengusap-usap batu karang itu hendak membawa batunya lari? Kemana pula?

"Tak balik dulu, kalau begitu." Tubuh Jeongguk kembali ke pintu masuk. Masih pula berjalan jongkok tanpa ada keluhan luput dari lisannya. "Terimakasih sudah membawa aku kemari, Jim."

"Ya, sama-sama."

"Mau diapakan batunya?" Taehyung kembai bertanya.

"Masih mau dilihat-lihat. Belum ada perintah lainnya." Bisa Taehyung dengar nada enggan disana. Entah tidak mau ditanya, keberatan memberikan jawaban, atau karena hal lain. "Kamu belum makan. Mau makan gudeg, tidak?" Tentu saja kalimat ini ditujukan pada Jimin yang sekarang sudah bingung dengan atmosfer yang ada.

"Boleh." Jimin manggut-manggut. "Kamu sudah makan, Tae?"

"Sudah." Walau nyatanya belum. Tapi ia harus bisa mengobservasi apa mau dari pemuda asing di samping Jimin yang sudah berdiri dan punya tinggi hampir sama dengan Taehyung. "Kalau ketemu sama Mina, tolong bilang kalau sayur di atas meja suruh hangatkan, ya, Jim."

"Siap!" pekik Jimin sambil hormat main-main. "Aku pamit dulu, kalau begitu, ya, Tae."

"Iya. Hati-hati."

Dari jauh, masih bisa Taehyung lihat siluet dua pemuda yang terlampau dekat. Jimin tidak pernah berkisah soal dirinya yang bertemu dengan laki-laki misterius dengan sorot mata tajam membekukan. Hampir seluruh kawan Jimin, Taehyung tahu. Batinnya seperti dicubit oleh tangan tidak kasat mata sewaktu lengan sosok baru itu melingkar di pundak sempit kawannya. Ah, mungkin ini. Sudah datang juga waktunya. Memang tidak mungkin disembunyikan lama-lama. Kecemburuan ini memang bukan hal yang wajar.

Gardapati [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang