V

222 70 5
                                    


Jimin

Jimin menolak untuk tampil di atas pendopo. Cukup saja melihat dari jauh bocah-bocah cilik yang ada di bawah pelatihannya. Bisa memunculkan perasaan lega luar biasa dengan emosi bangga yang tidak terkira. Mungkin ini rasanya sebuah pencapaian. Meski bukan ia yang disorot kamera, tapi ia seseorang yang memainkan peran penting di balik panggung. Duduk di deretan paling belakang dan bertepuk tangan tanpa suara. Secara tidak sengaja diapit oleh dua pemuda yang asing. Mas NamJoon dan Jeongguk. Beberapa kali Jimin harus memberhatikan Taehyung yang ada di balik salah satu gamelan. Seakan meminta pertolongan untuk membawanya kabur saja dari atmosfer mencekam yang mengelilinginya. Seolah jadi energi negatif berupa kabut asap yang tidak bisa dihirup paru-parunya.

Rentetan acara penyambutan kini sampai di Tari Beskan Lawung Agung. Salah satu anggotanya adalah SeokJin. Jimin nanti-nanti performa yang bakal dibawakan oleh pemuda itu. Enam belas orang datang dari balik pendopo. Pelan-pelan masuk seakan bakal menampilkan teater tertentu. Kostumnya yang bertelanjang dada jadi mengingatkan Jimin dengan keadaan Jeongguk sewaktu pertama bertemu di Karang Hawu.

SeokJin bergerak-gerak lincah di atas keramik. Tanpa beralas kaki dan lengkap dengan sampur merah terikat di pinggangnya. Aksesori di atas kepala ternyata jauh lebih besar dari yang Jimin bayangkan. Dikenakan seperti topi yang menyempurnakan riasan di wajah para penari.

"Mas NamJoon," bisik Jimin.

"Dalem."

"Kok, tumben duduk di kursi penonton? Biasanya di belakang sama SeokJin."

"Menemani setan di sebelahmu itu." Sudah pasti yang dimaksud NamJoon adalah Jeongguk. Kalau diperhatikan, wajah anak itu tidak pernah santai. Seolah bisa mengajak bertarung siapa saja orang yang lewat. Manik matanya fokus pada gerakan tari yang masih belum selesai. "Kalau ndak, ya, aku ke belakang. Lebih enak sama SeokJin daripada menemani dia."

"Kan, bisa ke belakang sebentar?"

"Oh, iya juga." NamJoon seperti baru saja memunculkan lampu ide di samping kepala. Menyala terang. "Titip bocah itu, kalau begitu, ya, Jim. Kalau dia mau kabur, keplak wae ndas e (pukul saja kepalanya)."

Fokus Jimin jadi beralih pada pemuda yang juga memperhatikannya. Seolah memperingatkan kalau ia tidak mungkin kabur. Ternyata dari dekat begini, Jeongguk lumayan ganteng juga kalau pakai kemeja batik. Dipadukan rapi dengan celana kain. Sudah mirip dengan bapak-bapak kelurahan yang sedang bolos kerja dan justru duduk manis disini. Surainya diikat setengah. Sekadar supaya tidak mengganggu saja.

"Nanti aku bawakan cemilan. Kan, ndak bisa ambil yang di depan itu." NamJoon merunduk untuk bisa berbisik pada dua orang pemuda yang berubah jadi bocah. Diberitahu kalau tidak boleh keluar malam sendirian. "Jimin mau apa?"

"Makan, boleh? Kayaknya waktu ke belakang tadi, aku lihat mereka bikin soto."

"Kalau bisa, ya. Kamu, Gguk?"

"Yangko," jawab Jeongguk singkat dan kembali fokus ke acara Kraton yang sudah berganti. Menjadi sambutan hangat dan pesan-pesan.

"Nek ra ono (kalau tidak ada) yangko?" NamJoon menawarkan. "Bakpia wae," jawabnya sendiri.

"Sembarang (terserah)." Jeongguk juga tidak menolak. Hubungan aneh ini membuat Jimin jadi makin kikuk. Berada di tengah-tengah dua orang yang seperti kakak-beradik tengkar karena berebut mainan. Berimbas pada tabiat mereka di saat besar. "Kowe wong (Kamu orang) Jogja asli, kan?" tanya Jeongguk setelah memastikan kalau bayangan NamJoon sudah menghilang di antara kerumunan orang.

Gardapati [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang