XVI

116 36 5
                                    

Namjoon

Gerbang raksasa berlapis emas di hadapan dibuka pelan-pelan dari dalam. Tirai-tirai transparan juga menyambutnya seperti berkata kemana saja baru pulang? Memang sudah terlampau lama ia tinggalkan Kraton Laut Kidul. Tidak ada alasan spesifik. Cukup ia yang punya waktu dibebastugaskan. Kendati memang cuma punya anak asuh satu dan menyebalkannya minta ampun, Namjoon seakan diringankan tugasnya kalau Jeongguk tidak kemana-mana. Berbekal satu jarit Sido Mukti yang membebat dari perut sampai ujung kaki, Namjoon melangkah pelan-pelan. Sepasang sandal selop dan beberapa aksesori lain memang menyertai. Sebisa mungkin tidak mendistraksi dirinya sendiri sampai lupa apa tugasnya kemari.

Bocah yang sempat ia curigai punya kendali diri minim di sampingnya pakai jarit bermotif Batik Pamiluto. Auranya berubah drastis kalau sudah dibalut busana agung Kraton. Benar-benar kelihatan seperti anak emas yang tidak bisa disentuh siapa saja. Pantas kalau mbak-mbak Abdi Kinasih lainnya beberapa kali mengelu-elukan wujud Jeongguk yang ganteng tidak ketulungan.

"Apa?" Nada suara anak bandel itu jadi menyebalkan. "Jalan," katanya. "Kenapa malah melihatku begitu?"

Namjoon menghela napas panjang. Seganteng apapun anak ini, tetap saja menyebalkan untuknya. Wajahnya tidak mendongkrak kepribadiannya jadi tiba-tiba menyenangkan orang lain.

"Sepi," gumam pemuda yang masih mengekorinya.

"Ya," tanggap Namjoon. "Ndak biasanya sesepi ini."

Siluet seseorang datang dari pintu penghubung singgahsana dan lorong panjang. Berpakaian serba kuning dengan beberapa aksesori emas yang menyertai. Di atas tangannya dipenuhi beberapa tumpuk kain yang sepertinya hendak dicuci atau mungkin sudah kering dan hendak diletakkan di dalam lemari. "Namjoon," sapanya setelah pandang mereka bertemu. "Akhirnya kalian balik."

"Mbak Mayang Sari." Namjoon tarik tumpukan kain itu supaya bisa ia bawa. Jeongguk di balik badannya mengikuti gestur serupa. Tidak tercium tindak-tanduk anak itu yang bakal meninggalkannya dan lari menuju kamarnya sendiri disini. Sepertinya sudah sadar diri kalau ia tidak boleh bertindak seenaknya sendiri sekarang. "Ndoro dimana?" tanya Namjoon.

Jawaban Dewi Mayang Sari justru adalah sebuah tarikan lengan pada kedua lelaki yang tidak tahu apa-apa. Dipaksa mendekat dan tidak boleh melayangkan protes. Dibanding Abdi Kinasih yang lainnya, perempuan ini punya koneksi lebih besar dan aura lebih dominan. Mungkin karena telah bersama dengan Kanjeng Ratu lebih lama dan mengantarkannya kemana saja. "Kalian ndak bakal tahu beliau dimana tapi yang jelas, beliau nitip sesuatu buat disampaikan ke kalian." Dilihat dari caranya bicara, sepertinya situasi ini ada di luar kendali dan lumayan genting. "Namjoon, kamu ke Banyuwangi. Awasi pergerakan disana sama Jihyo." Pendar manik kecoklatannya berganti pada Jeongguk. "Jeongguk, Ndoro pernah pesan kalau minta bawakan dua batu yang di Cepuri Parangkusumo, kan?"

Jeongguk cuma mengangguk.

"Tolong cepat bawakan kemari dan kamu sementara jangan menonjol dulu."

"Mbak," panggil Namjoon. "Situasinya kayaknya bakal makin runyam. Yang mereka serang bukan cuma Kraton tapi abdi-abdinya juga."

"Ya." Mayang Sari mengangguk setuju. "Nyi Rara sudah dikirim ke Gunung Lawu. Di sana juga ada yang mengirim sesuatu kemari. Kamu sudah tahu, kan, mengalir kemana ini?"

Namjoon manggut-manggut. "Dia kayaknya masih ndak terima kalau diusir dari sini," ujarnya, "sampai rela mengumpulkan semua setan yang masih berkaitan sama masa lalu buat menyerang."

Mayang Sari seolah menyadari sesuatu. "Diapakan kamu sama dia, Joon?" tanyanya. Terpancar perasaan khawatir tidak terkira disana. "Tidak ada yang kurang, kan? Mana yang sakit?" Telapak lembut itu menyentuh kedua pipinya perlahan. Ia baru merasakan kasih luar biasa setelah menjejak di Kraton Laut Dalam. Semua orang menyambutnya dengan suka cita. Benar-benar perwujudan sebuah rumah yang tidak pernah ia pikirkan bakal punya. "Siapa yang mengganggu kamu?" tanyanya tanpa berhenti mengabsen kedua lengan, pundak, dan tangan Namjoon yang masih lengkap.

Gardapati [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang