III

252 76 6
                                    


Jeongguk

Gambaran trauma itu terpampang nyata. Selayaknya film yang dipertontonkan di bioskop-bioskop. Berputar seperti tidak ada lagi acara lain yang bisa dijadikan tontonan. Potongan kejadian yang Jeongguk lihat adalah banyaknya orang bergelimpangan di samping bukit batu kapur. Kalau dihitung, mungkin sekitar lima belas atau dua puluhan. Mayat-mayat itu ditumpuk selayaknya benda yang bisa didaur ulang saja. Setara dengan ikan yang baru saja diangkat dari dalam perahu nelayan, pulang memancing. Setiap tubuh yang tidak berdaya, Jeongguk ingat semua wajahnya. Mulai dari yang seumuran dengan dirinya, lebih muda, sampai ke sesepuh yang harusnya menikmati hari tua di rumah.

Berjalan ke depan, rupanya film ini bisa ditembus badan. Mengantarkannya melihat-lihat seperti baru masuk museum. Serdadu-sedadu Jepang gencar betul meneriaki banyak orang supaya lebih giat dan lebih cepat bekerja untuk Kaisar mereka yang ada di negara sana. Todongan senapan panjang, perploncoan yang mengantarkan beberapa orang dalam kubangan kematian, sampai ke teriakan di hadapan seseorang yang mengeluh kelaparan. Memang ini yang dihadapi Jeongguk juga sewaktu itu.

Kalau bisa ia putarkan waktu, mungkin ia bakal punya tekad lebih besar. Sepertinya sekarang yang sudah tidak lagi takut suatu apa. Lebih memilih mengabdikan diri pada orang yang seharusnya. Kalau saja ia punya seseorang untuk sekadar berkeluh-kesah. Tidak perlu memberinya sepeser uang. Ia tahu keadaan kala itu tidak lagi memungkinkan. Jeongguk lebih dari tahu.

...


Tepukan telapak NamJoon di wajah beberapa kali sukses membuat Jeongguk bangun dari mimpi mengerikan, barusan. Ia disambut dengan kedua mata kakak asuhnya yang melotot. Menahan amarah dan khawatir. Selalu seperti itu.

"Cok!" pekik NamJoon. "Nek kowe arep budhal, ojo pas karo aku. (Kalau kamu mau berangkat (mati), jangan waktu dengan aku.)" Sambil mengomel, laki-laki itu bangkit dari samping kasur. Berjalan ke arah meja dan mencomot beberapa bakpia di kotak pemberian Jihyo. "Cepat minum dan sarapan biar ndak kayak orang kerasukan begitu."

"Jin bisa kerasukan jin?" Jeongguk mengerjap-ngerjap. Mencari sisa tenaga yang ia kumpulkan dengan makan mie instan, semalam. "Aku habis dari Kraton, kemarin lusa."

"Terus? Kamu tidak mau cerita juga kalau baru ketemu sama mbak mantan pacar?"

"Ndak penting, mas."

"Setidakpenting informasi kamu ke Kraton."

"Ada yang penting."

"Apa?"

"Aku lihat, ada yang latihan tari Bedhaya Sapta." Tubuh Jeongguk bangkit. Bersandar pada tumpukan bantal yang ia tumpuk di balik punggung. "Kalau beruntung, ndoro Kanjeng bisa ikut mereka nari."

"Terus kenapa? Kamu mau temui Kanjeng Ratu dan tanya tugasmu?" NamJoon menikmati suara bising dari teko air yang sudah mendidih. Bukannya mematikan kompor, justru berdiri di hadapan benda berapi itu dan dipandangi saja. "PD benar kalau bakal dijawab?" tanyanya bernada sarkastik. "Sekesayangan-kesayangannya kamu, Kanjeng Ratu tetap punya hak buat kasih kamu tantangan juga. Jangan tidak tahu diri."

"Tidak tanya langsung juga. Aku cuma mau dikasih bocoran sedikit."

"Ndak cukup sama orang-orang yang menolong kamu di Karang Hawu?"

Jeongguk mengernyit. Ragu dengan pendengarannya sendiri. Bisa saja salah dengar saking capainya menghadapi kenyataan terombang-ambing, begini. "Maksudnya bagaimana?"

"Kalau kamu pikir, mereka itu cuma pajangan, coba otakmu yang lapuk itu dipakai." Air panas mengalir dari teko ke gelas yang berisikan bubuk kopi dan gula. "Kanjeng Ratu juga punya rencana. Kamu pasti sudah merasa ada apa-apa sama SeokJin atau Jimin, temannya."

Gardapati [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang