XII

138 43 9
                                    

Jimin

Kawasan kediaman Jimin di Solo tidak terlalu besar. Cukup rumah tua dengan halaman yang tidak begitu luas. Satu pohon mangga sengaja dibiarkan tumbuh di halaman. Kadang ada saja yang ambil tanpa ijin. Memang sejatinya tumbuh dengan sendirinya. Keluarga Jimin jadi merasa kalau tidak punya hak paten atas rumah dari burung-burung yang pulang itu. Daun-daun yang berguguran kadang luput dari sapuan Ibunya yang sudah lelah duluan. Hampir setiap beberapa menit sekali ada saja yang menapak ke atas bumi. Bikin pekerjaan lainnya menumpuk saja, kata sang Ibu yang selalu Jimin dengar setiap kembali ke Solo.

Beberapa langkah sebelum masuk rumah, Ibunya mungkin bakal menanyainya banyak pertanyaan seputar kesehariannya di Jogja. Pengalaman yang tidak mungkin bisa Jimin lupakan masih berputar di pemuda bernama Jeongguk yang sekarang tertidur di dalam bus berpenumpang hampir penuh ini. Tubuhnya memang lebih tinggi beberapa centi, tapi memilih untuk merunduk supaya bisa sampai di pundak Jimin yang tidak begitu lebar. Hampir-hampir meringkuk seperti anak kecil yang kedinginan. Entah apa yang ia mimpikan. Jimin bahkan tidak yakin kalau pemuda itu bisa tidur. Sejatinya jin dan sebangsanya memang tidak pernah beristirahat selayaknya manusia.

"Belum sampai, ya?" Suara Jeongguk berat. Khas sekali seperti orang bangun tidur panjang. Mungkin ini bisa mematahkan asumsi Jimin soal makhluk semacam pemuda itu yang tidak butuh tidur.

"Belum. Kurang setengah jam lagi." Jimin tepuk-tepuk puncak kepala Jeongguk yang belum berpindah dari pundaknya. "Tidur saja. Ndak mungkin tak tinggal, kok. Pasti aku bangunkan."

"Barangnya benar-benar cuma satu tas itu? Ndak kurang?"

"Tidak. Memang cuma itu saja. Aku di sana, kan, cuma satu minggu."

"Kenapa ndak lama?"

"Ya, karena punya kewajiban ngurus administrasi di SMP dan ngajar juga di Kraton."

Jeongguk mengangguk lemah. Tubuhnya bergerak beberapa kali guna menyamankan diri dan kembali tidur. Wajah pemuda itu dekat betul dari yang Jimin perkirakan. Hampir bisa kapan saja mengendus leher. Napas yang semula ada, kini memang sudah hilang sepenuhnya. Jeongguk tidak lagi berpura-pura untuk menyamakan diri dengan makhluk sekitarnya. Mungkin Jimin bisa dikatakan pengecualian karena cuma ia yang tahu.

"Jeongguk nanti kalau tidak ada kamar kosong, tidur dengan aku, ndak papa?"

"Iya."

"Ada kakak laki-lakiku juga di rumah, soalnya."

"Kamu berapa bersaudara?"

"Dua."

"Kakak laki-lakimu sudah kerja?"

"Dia abdi dalem di Kraton Surakarta. Sama kayak Taehyung, yang kamu temui waktu di Cepuri Parangkusumo."

Jeongguk manggut-manggut tanpa membuka mata.

"Biasanya dia ke Banyuwangi."

"Buat apa?"

"Menginap di rumah pacarnya. Tapi kayaknya, dia lagi di rumah Ibu."

"Sedang pulang semuanya, berarti," jawab pemuda yang agaknya enggan kembali tidur itu, "kalau sudah sampai, tolong aku bangunkan, ya, Jim."

"Mau balik tidur?"

"Kayaknya cuma merem saja."

"Ya, sudah." Jimin usap-usap pelan pundak Jeongguk dan ia betulkan posisi jaket yang menyelimuti tubuh gempal itu. "Kalau lapar juga, bilang, ya. Nanti, tak masakkan sesuatu."

"Aku bisa masak," sela Jeongguk.

"Nanti kita masak sama-sama, kalau begitu."


Gardapati [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang