XVII

127 30 4
                                    

Jeongguk

Jeongguk tahu ada sesuatu yang kurang tepat. Kurang pas. Dan Ndoro tidak bakal memberinya informasi secara gamblang. Dari tugasnya yang semula cuma harus membawa dua batu sakral itu ke Kraton Laut Dalam sampai ke kejadian-kejadian janggal yang menimpanya dan Namjoon. Kang mas nya itu berkata beberapa minggu yang lalu kalau traumanya bakal datang lagi. Sosok yang selama ini selalu ia hindari dan jadi seorang pemarah kalau disebut-sebut. Sayangnya Namjoon juga tidak punya pilihan banyak. Lelaki tinggi yang telah mengasuhnya itu sejatinya juga cuma makhluk biasa. Tidak bakal bisa menanam beban di balik otaknya sendirian. Sebagai satu dari banyak abdi yang ada, ia diharuskan bekerja sama dengan yang lainnya

Bayangan sosok yang telah mengkhianatinya muncul beberapa kali jadi bunga tidur. Tidak bakal ada yang membangunkannya di kamar tamu. Sebisa mungkin, ia harus hadapi ini sendirian. Jimin tidak boleh terlibat karena tugasnya bukan sebagai pengaman. Ia cuma kebetulan masuk ke dalam rencana. Mungkin karena sang kakak lelaki juga masih ada kaitannya dengan seluruh skenario buruk yang ada.

Beberapa setan yang sempat mampir hampir selalu menggumamkan hal yang sama. "Hati-hati, den. Mereka datang ke kamu." Sedikit mengerikan mengingat ia yang belum pernah merasakan sensasi terhimpit. Penolong satu-satunya yang ada adalah Kanjeng Ratu Kencana Sari. Tapi perempuan anggun itu justru memaksanya untuk bergerak sendirian. Tanpa aba-aba dan tanpa perintah. Cuma sekadar tidak meninggalkan Jimin saja. Terlampau janggal.

"Jangan sampai gagal, ya, le." Usapan mbak Rara Kidul masih terasa hangat meski wujudnya sudah diterpa angin. Mengingatkannya bahwa waktunya makin menipis. Sebisa mungkin, ia harus bawa dua batu sakral itu dan menarik Jimin bersembunyi. Cuma pemuda itu satu-satunya petunjuk yang bisa membawanya kembali pada Kanjeng Ratu.

Kejadian ini jadi mengingatkan padanya akan dirinya yang lalu. Seorang Jeongguk yang tidak bisa berbuat banyak. Dikhianati oleh orang terdekat dan paling ia percaya, ditodong pistol beberapa kali dan tidak mempedulikan tulang belikatnya yang sudah terasa hampir copot lagi dari tempatnya. Cidera itu tidak bakal ia lupa selama-lamanya. Ia ingat dan beberapa kali ia usap sebagai penanda bahwa ia pernah berjuang. Mencoba memenangkan haknya sendiri sebagai seorang manusia, dulu. Kini adegan itu berulang. Seolah jadi kaset rusak yang menampilkan potongan yang itu-itu saja. Membingungkan dan menjengkelkan. Ia membenci dirinya sendiri yang tidak tahu apa-apa. Tidak bisa berbuat apa-apa bahkan untuk seseorang yang telah menolongnya dengan segenap jiwa. Membawanya naik kembali dari dasar lautan dan memberkahinya penghidupan baru.

Entahlah. Untuk saat ini sudah terlalu banyak yang ia khawatirkan, terlalu sedikit waktu yang diberikan. Seluruh kejadian layaknya sebuah bangunan runtuh yang roboh satu persatu. Mulai dari atap, beberapa pilar, sampai bersisa hanya pondasi saja. Jeongguk merasa dadanya sesesak seperti ia hidup puluhan tahun yang lalu.


Jimin

"Taehyung." Ia bisikkan nama itu pada yang punya. Jarang betul melihat pemuda tinggi berseragam abdi dalem ini ada di dalam Kraton. Biasanya ia bakal menyendiri saja dan meninggalkan hiruk pikuk suasana yang hampir selalu membawanya ke tingkungan jalan yang sama. Ditanya ini itu dan menolak halus kalau ada ibu-ibu yang menjodohkannya dengan anak yang ia bangga-banggakan. "Tumben kemari? Ada apa?" tanyanya.

"Dipanggil sama mas Seokjin," jawab Taehyung. Sikapnya tidak pernah berubah. Senyum manis itu ditujukan padanya seolah ia bisa berikan apa saja di dunia untuk Jimin. Beberapa kali kalimat Jeongguk juga mampir kalau anak ini nyatanya punya perasaan serupa sepertinya, sekarang. Rasa yang sejatinya bisa dilihat siapa saja lewat perlakuannya yang terlampau spesial. "Kapan balik dari Solo?" Jemarinya perlahan mampir ke anak rambut Jimin yang luput dari kuping. Membenahinya sebisanya.

Gardapati [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang