XVIII

115 27 3
                                    

Yugyeom

Hingar bingar musik dan gending masih bisa ia dengar dari jarak belasan meter jauhnya. Lantunan pengiring untung tari Gandrung. Cahaya lampu kekuningan itu menyinari siapa saja yang ada di dalam pendopo. Melenggok kesana-kemari menikmati apa yang telah disuguhkan. Beberapa pasang mata tidak lagi mengindahkan Yugyeom yang memecah lautan manusia. Ia berjalan perlahan menuju satu titik pusat yang bermutasi jadi matahari di tata surya. Bedanya, pancaran hangat itu berbalik. Yugyeom sama sekali tidak merasa panas atau sekadar suhu ruangan di sekitar sini. Cuma dingin menusuk tulang dan terpaan angin malam. Ia kadang bertanya-tanya apakah seluruh makhluk yang telah terjun ke dunia astral ini seluruhnya merasakan sensasi yang sama.

Sosok berbusana anggun serba hijau di hadapan menyambutnya. Duduk di kursi tinggi yang disediakan. Mahkota keemasan menghias anak rambutnya yang disanggul setengahnya ke atas. Wajah itu begitu Yugyeom kenal. Manis, cantik, dan satu-satunya berwujudan dari seluruh doa yang telah ia panjatkan. "Yugyeom." Suaranya mendayu. Seakan-akan tengah mendendangkan lagu. "Kapan kamu datang?" tanyanya seraya beranjak. Melangkah perlahan-lahan dan berhasil menyentuh pelataran kulit pipi Yugyeom yang haus akan sentuhan. "Kamu kelihatan ndak semangat."

Cukup anggukan yang bisa ia berikan. Tidak ada kekuatan di seluruh dunia yang mampu membantunya merangkai kalimat sederhana sebagai tanggapan. Bahkan tenaga di seluruh tubuh rasanya membeban pada batin. Memberat seiring berjalannya waktu. Ia cukup tahu darimana ia dapatkan luka bekas sayatan yang telah lama tidak ia indahkan. Dari dirinya dan kebodohannya sendiri.

"Oh, anak lanangku (anak laki-lakiku)." Sebutan itu menentramkan hati. Untuknya yang tidak pernah mengenal arti dari orang tua, Yugyeom seolah menemukan tempat untuknya berpulang. Dari lembut tatapan manik mata keemasan itu, perlakuan spesialnya yang tidak membedakan, dan perhatian-perhatian kecil yang beliau curahkan. "Cerita sama nyi. Ada apa?" Jemari bercat kuku kemerahan itu menarik ujung dagu Yugyeom untuk kembali mendongak. Mencurahkan perhatiannya pada perempuan yang punya tinggi cuma sampai sebatas dada.

Gelengan dijadikan Yugyeom sebagai jawaban. Cukup ia dan dirinya sendiri yang meratapi maksud hati. Sudah lama ia tekan batin untuk tidak kembali mengharap. Berangan-angan pada sesuatu yang sejatinya semu. Menggapai hal yang tidak seharusnya jadi miliknya. Sampai kapanpun, itu bakal mustahil.

"Sudah ketemu sama temanmu?" Suara Badarawuhi mendayu. Sopan masuk ke dalam gendang telinga yang menerima getaran. "Atau siapa saja orang yang sedang kamu cari," tambahnya.

"Belum," jawab Yugyeom singkat. Tidak mau membahas ini lebih jauh. Bakal memunculkan lara hati kembali. "Biasanya Ratna yang kemari. Tumben nyi datang."

"Karena mau menemui kamu." Usapan hangat di pelataran pipi membawa Yugyeom duduk di atas bantal. Menemani sang penyelamat hidupnya yang kini telah sampai di singgahsananya sendiri. Sebuah kursi tinggi berbludru dengan bahan kayu yang sengaja dicat pakai lapisan emas. Membuatnya berkilau di bawah sinar rembulan dini hari. Siluetnya menyatu sempurna dengan wanita anggun serba hijauh beserta selendang yang selalu mampir di perpotongan sikunya. "Apa aku harus ikut khawatir melihat kamu yang tidak pernah bertenaga begini?" Ia bertanya. "Karena aku dengar, kamu ndak seperti ini sewaktu hidup. Kemana tenaga senang-senangmu dulu itu?"

"Sedang tidak bertenaga saja."

"Apa yang bisa buat kamu senang?"

"Tidak ada."

Ujung jemar itu menyambangi pelataran leher. Disanalah saksi sebuah kejadian naas berukir. Membekas tiada akhir. Awal dari segala kesengsaraan yang menantinya. Meski ia yang masih hidup berharap banyak pada kematian, nyatanya justru berkebalikan. Tidak ada hal baik yang ia dapat dari ajal yang ia jemput sendiri. Wanita anggun yang memandanginya nanar ini saja yang tidak sengaja menolongnya dalam keadaan sehancur-hancurnya. "Nak," sebutnya penuh pengertian. "Jangan biarkan kamu jatuh lagi di kesengsaraan yang sama," bisik Badarawuhi rendah. Penuh kehati-hatian.

Gardapati [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang