Sepertinya telapak kaki gadis berambut hitam sepunggung itu akan mati rasa. Peluh yang menetes membuat sensasi dingin di tubuhnya ketika angin bertiup. Kedua lengannya yang tadi diangkat ke arah langit pun ia turunkan, membenarkan rambutnya yang sedikit berantakan. Wajahnya memerah, menahan panasnya terik sinar matahari.
"Kapan, sih, hukumannya selesai?" Orang yang berdiri dengan posisi tak jauh dari gadis itu menurunkan lengan dan mengibaskannya di depan wajah. "Lama banget hukumannya. Ini gara-gara lo, sih, Sha."
Perempuan yang dipanggil 'Sha' itu menggerakkan ekor matanya ke samping kiri. Hanya berselang dua detik ia menatapnya. Shaina enggan berurusan dengan orang menyebalkan seperti Evelyn, orang berambut panjang terurai, di sampingnya. Kecuali jika orang tersebut mengusiknya terlebih dahulu.
Seperti tiga puluh menit sebelumnya, ketika waktu istirahat, keduanya
berpapasan di lapangan tenis terbuka. Sekumpulan siswa-siswi Adiwarna High School akhirnya menjadi saksi ajang persaingan Shaina dan Evelyn di depan umum. Pemicunya karena kedua gadis itu berniat menghampiri Melvin yang telah selesai bertanding dengan Dion--teman satu kelas, sekaligus sahabat Melvin.Saat sudah sama-sama berdiri di depan laki-laki yang duduk di bangku kayu pinggir lapangan, Shaina menekuk tangannya di depan dada. Dia tidak peduli akan kehadiran perempuan yang menatap sengit di sekitarnya. Shaina menganggap tatapan itu bentuk dari kecemburuan mereka karena dia mendekati sang idola, Dion. Namun, tentu bukan Dion tujuan Shaina melangkah sampai ke pinggir lapangan itu.
Dengan menarik sudut bibir kirinya, Shaina memusatkan perhatian sepenuhnya pada Melvin. Sedangkan laki-laki di depannya masih sibuk membereskan perlengkapan tenis lapangan miliknya.
Shaina mendengkus. Laki-laki itu tampak tidak peduli akan kehadirannya. Justru Dion-lah yang menatap antusias Shaina, karena laki-laki itu menebak, hal menarik akan segera tiba.
"Melvin, Dion, kalian ganteng banget sih." Evelyn menatap dengan mata berbinar ke arah Melvin dan Dion yang tidak tertarik dengan ucapan perempuan itu. Shaina yang mendengarnya, menatap ke samping tanpa minat.
Netra Shaina menangkap bayangan orang yang tengah berjalan menuju tempatnya berpijak, menenteng satu plastik transparan yang nampak di dalamnya ada bermacam minuman dingin. Shaina yakin, pasti gadis yang melangkah itu akan melakukan rutinitas yang hampir dilakukan setiap hari--memberikan apa yang dibawanya kepada dua laki-laki yang duduk di depannya. Dan tiba-tiba, Shaina ingin sekali membuat gadis yang terkenal ramah dan polos itu kesal.
"Gue suka sama lo." Kalimat itu diucapkan Shaina dengan jelas. Mata orang di dekatnya pun tertuju padanya.
Orang yang tengah duduk itu sontak mendongak. Dengan ekspresi biasa-biasa saja, karena bukan kali ini saja Shaina mengatakan kalimat itu.
Melvin memejamkan mata sesekali. Pancaran awan membuat matanya silau. Tangannya pun dijadikan tameng untuk melindungi indra penglihatannya. Melvin tidak menyangka gadis itu sangat terus terang untuk mengejarnya, dan membuatnya tidak nyaman.
"Ayok, pacaran!" tegas Shaina dengan wajah datar. "Nggak. Kita tunangan aja!" Kalimat itu keluar dengan santai ketika gadis yang ingin Shaina buat kesal itu telah berdiri tepat di sebelah kirinya. Walaupun terdengar tidak ada keseriusan, ucapannya membuat orang di sekitarnya membulatkan mata.
"Vin, secara nggak langsung dia ngelamar lo," bisik Dion menunduk sedikit agar ucapannya tidak sampai di telinga Shaina. "Memang bahaya nih, si Penyihir."
Entah karena terlalu fokus pada peralatan tenis lapangannya, atau sibuk mencerna perkataan Shaina, Melvin sampai tidak sadar bahwa ada gadis yang menatap cemas padanya. Cemas karena bisa saja Melvin telah jatuh pada pesona Shaina.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet and Witch
Teen FictionMelvin yang dikenal sebagai siswa yang ramah itu hanya bersikap ketus kepada Shaina. Tidak ada yang mengetahui alasan Melvin selalu memasang wajah dingin setiap berhadapan dengan gadis itu, selain dirinya sendiri. Hingga Shaina dan Melvin membuat k...