twelve

77 11 0
                                    

Setelah mengetahui siapa yang duduk di sofa ruang tamu, alis Shaina bertautan. "Shaina penasaran siapa orang yang nggak sopannya malem-malem bertamu ke rumah orang," sindirnya kepada pria berpakaian jas yang terkejut dengan kehadiran Shaina.

Dengan ekspresi takut, Bi Ana menatap mata mantan majikannya lalu dengan cepat menunduk. Bi Ana telah bekerja dari masa Shaina berumur lima tahun pun mengerti sifat orang di keluarga ini. Wanita berumur kepala lima itu khawatir jika Yudi akan menyebabkan keributan, seperti saat memaksa Shaina untuk ikut dengan ayahnya, sepuluh tahun lalu.

Pria berbadan tinggi itu memeluk putrinya, hangat. Shaina menerima pelukan itu, karena ia terlalu malas untuk sekedar mengelaknya.

"Papah minta maaf soal kemarin," tembak Yudi langsung pada intinya setelah mendudukkan diri.

"Soal apa?" tanya Shaina pura-pura tidak mengerti.

Yudi dengan sabar menjelaskan maksudnya. "Papah emang salah udah nampar kamu. Tapi, kamu juga salah, nak. Omongan kamu ke Tante Tiara udah lewat batas."

"Anda menyuruh saya untuk minta maaf sama istri tercinta anda itu?"

"Apakah permintaan Papa berat?"

"Iya, berat banget. Sampai butuh waktu sehari buat seorang seperti anda menurunkan ego untuk datang ke rumah saya malam-malam untuk minta maaf."

"Ini sebabnya Papa dari dulu bilang sama kamu. Kalau kamu ikut Papa, Tante Tiara pasti akan didik kamu dengan baik. Setidaknya, Tante Tiara punya banyak waktu buat peduliin kamu."

Shaina memutar bola matanya saat kata-kata itu melewati telinganya.

Suara langkah kaki terdengar di tengah kekosongan ruangan.

"Gue kira mobil siapa yang ada di depan, ternyata bener dugaan gue, ada Om Yudi." Yoyo yang baru saja datang, menghampiri kedua orang yang terdiam itu. "Malam Om," sapanya seraya duduk di samping Shaina.

"Yoyo? Ngapain kamu ke sini malem-malem?" tanya Yudi sedikit menaikkan volume bicaranya.

"Om juga ngapain malem-malem ke sini?" jawab Yoyo, santai. "Rumah Om, kan, bukan di sini. Om nyasar, ya?"

Shaina masih dengan ekpresi yang sama, senyap dan tidak menanggapi celoteh Yoyo.

"Kamu--"

"Mending anda pulang, pasti istri dan anak anda nungguin kan?" ujar Shaina mengakhiri perdebatan antara orang dewasa dan anak remaja itu.

Yoyo memindai raut muka Shaina sebentar, lalu pandangannya menilik kepada Yudi. "Om nggak perlu Yoyo anter kan?"

Tidak meladeni ucapan Yoyo, pria paruh baya itu bangkit dari duduknya. Nafas ringan dihempaskan dari hidungnya. "Papa pulang dulu. Kalau kerjaan Papa udah longgar lagi, pasti Papa nemuin kamu." Yudi mendekati putrinya, lalu mencium puncak kepalanya.

Berjalan ke pintu utama, Yudi memutar kepalanya menghadap Yoyo. "Om pergi dulu. Jaga Shaina," ucap Yudi sebelum keluar rumah dan menjalankan mobilnya.

"Om nggak ngomong kayak gitu, juga udah Yoyo jagain kali," gumam Yoyo menatap kepergian Yudi.

Shaina berpindah ke kamarnya kembali. Enggan memikirkan perkataan ayahnya tadi. Dia tidak pernah menyesal lebih memilih tinggal bersama Julia. Meskipun Julia jarang berada di rumah untuk berinteraksi dengan putrinya, setidaknya ia tidak harus tinggal dengan orang-orang asing itu.

"Bener-bener ya, Om Yudi." Yoyo muncul dari pintu kamar Shaina. "Udah nampar anaknya sendiri, eh, seenaknya minta maaf. Mana gue lihat nggak ada tulus-tulus nya lagi," omel Yoyo kepada orang yang tidak ada di tempatnya berada.

Shaina rebahan di tempat tidurnya. Membuka ponsel untuk mengecek pesan yang masuk. Melihat nama pengirim pesan yang tertera di pop up ponselnya, gadis itu seketika bangun dan terduduk.

Ini Melvin beneran atau masih yang palsu? batin Shaina.

Shaina langsung membuka pesan yang telah dikirimkan tiga puluh menit-an itu.

Melvin

Maaf Sha, tadi yang ngetik adik gue.
Jangan salah paham.
Besok, kita berangkat masing-masing.

Tawa renyah Shaina seketika membuncah memenuhi ruangan. Shaina tidak bisa membayangkan bagaimana wajah kesal Melvin ketika mengetahui adiknya yang berkirim pesan dengan Shaina. Shaina jadi ingin melihat ekspresi laki-laki itu dengan mata kepalanya sendiri. Pasti sangat menyenangkan.

Yoyo yang duduk di karpet lembut di samping tempat tidur Shaina pun terkejut dengan suara tawa Shaina. "Sha, lo nggak papa 'kan?!" tanya Yoyo panik. Laki-laki itu mengambil bantal lalu diberikan kepada Shaina. "Lo boleh mukul gue, nih, nih."

Gadis itu belum puas tertawa. Membuat Yoyo semakin panik, karena mengira Shaina telah gila karena ayahnya. Bagaimana tidak, beberapa saat yang lalu, sepupunya terlihat muram dan dingin, tetapi saat ini justru tiba-tiba tertawa sampai terbaring pun tawanya tidak berhenti.

"Creepy banget lo, Sha."

Atensi Yoyo berpindah ke dering ponselnya. Nama yang muncul di layar membuatnya buru-buru keluar dari kamar Shaina dan pindah menuju ruang kerja milik Julia yang jarang dipakai. Ia lalu mengeser tombol hijau, dan panggilan video tersambung.

"Pa, Kayaknya Shaina udah stres deh."

"Kamu yang stres," timpal orang di seberang sana. "Papa tahu ya, kemarin uang yang kamu minta ke Papah yang katanya buat beli buku-buku malah habis buat beli ps4.",

Yoyo mematung. Air muka ayahnya itu sangat seram baginya sekarang ini. Dia tidak bisa menjawab kata-kata ayahnya dengan elakan. Karena apa yang diucapkan beliau memang benar adanya.

"Minggu depan kamu ulangan kan? Kamu harus dapat nilai lebih dari 80, nggak, seenggaknya 70. Kalau enggak, dua bulan nggak ada uang buat kamu." Panggilan diputuskan sepihak.

Meskipun Yoyo lega ayahnya tidak memantau belajarnya malam ini, tetapi syarat ayahnya membuat kepalanya seperti tertimpa rak-rak buku yang ada di sekitarnya. Berat sekali.

"Papa bener, gue yang mulai stres."

Shaina tiba-tiba muncul dari daun pintu. Kemunculannya membuat Yoyo terperanjat. "Yo, lo tau kan alamat rumah dia?"

"Bego, gue kaget." Yoyo mengusap-usap dadanya. "Siapa?"

"Melvin."

•------------------•-------------------•

Hai! Aku harap kalian menyukai bagian ini. Kalau kalian suka, jangan lupa tekan bintangnya, yaa.

Terimakasih.

>•<

Sweet and WitchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang