eleven

67 14 2
                                    

"Vin, gimana Dion? Udah baikan?"

Setelah agenda makan malam, Melvin dengan ibunya berbincang-bincang di ruang tamu. Tari baru saja menyelesaikan pesanan menjahitnya untuk hari ini, dan Melvin telah menyelesaikan tugas sekolah.

Sambil menutup halaman pada buku yang ia baca, Melvin mengangkat kepalanya ke sisi kanan, di mana ibunya juga sedang duduk. "Udah, Bu. Tapi, lukanya masih belum seluruhnya pulih. Kata dokternya, sih, dua sampai tiga hari lagi baru dibolehin pulang."

"Terus tadi suka nggak sama sup tulang sama jahenya?"

"Suka, Bu. Cuman, Dion kurang suka sama minuman jahenya. Dion udah dikasih minuman herbal sama Mbak Laras."

Tari tersenyum simpul. "Jadi, akhirnya kamu yang minum?" tanya Tari setelah tahu Melvin tidak membawa kembali termos berisi minuman penghangat badan itu ke rumah.

Mengusap tengkuknya, Melvin merasa bersalah. "Maaf, Bu. Melvin kasih sama ibunya temen Melvin, soalnya sekalian tadi njengukin juga."

Tari menegakkan punggungnya. "Ibunya temen kamu itu nggak parah kan sakitnya?" Terdengar ada nada kecemasan di dalam kata yang diucapkan.

"Mungkin, nggak, Bu. Malahan pas Melvin kesana, Ibu itu udah mau keluar ruang rawat inap."

"Temen kamu yang itu cewek ya?"

Melvin terdiam sesaat. "Iya, Bu."

"Ibunya Kenza?"

"Bukan, Bu. Temen Melvin yang lain."

Mata Tari yang sempat meredup, berubah menjadi normal kembali. "Menurut Ibu, gimana kalau kapan-kapan kita mampir ke rumahnya Kenza, sekalian ketemu sama orang tuanya? Kan kita juga belum pernah ketemu langsung kan sama orang tuanya Kenza," ucap Tari dengan semangat. "Nambah keakraban nggak ada salahnya kan?"

"Boleh, Bu."

Ada suara derap langkah dari arah belakang punggung Melvin. Suara khas anak remaja jatuh di tengah percakapan ibu dan anak itu. "Siapa nama temen Kakak yang itu?"

Selama berkutat dengan buku pelajarannya di dalam kamar, Bagas sempat mencuri dengar pembicaraan Melvin dan ibunya, Tari.

"Udah selesai belajarnya?"

Bukannya menjawab, Bagas justru berdiri--bersandar di dinding sambil menatap Kakaknya penuh penasaran. "Yang Bagas tahu kan Kakak kalau temennya bukan Kak Dion, pasti Kak Nicko. Ya emang relasi sirkel Kakak cuman segitu. Tapi yang ini teman yang mana yah? Kak Kenza juga bukan."

"Teman sekelas Kakak, banyak."

Bagas menunjukkan ponsel yang berada di tangannya. "Shaina, betul kan?" Laki-laki itu menutup mulutnya dengan tangan. "Eh, maksudnya Kak Shaina."

"Kamu buka-buka ponsel Kakak?"

"HP Kakak tadi bunyi. siapa suruh enggak di password. Udah tau Bagas penasaran orangnya. Ya gimana lagi."

Melvin memang tidak memasang pin atau kata sandi di ponselnya. Dia berpikir, jika terjadi sesuatu padanya di jalan ataupun di sekolah, dan orang yang akan membantunya untuk menghubungi keluarganya tetapi tidak mengetahui password ponselnya, pasti akan repot.

Menarik napas dalam-dalam, Melvin menegakkan bahunya dan mengangkat kepala ke arah seseorang yang tengah berdiri. "Bagas, kamu tahu kan, itu nggak sopan. Itu privasi Kakak."

"Tapi kan--"

"Bagas," tegur Tari yang melihat Bagas akan mengelak dari kesalahannya.

"Iya, Kak. Maafin Bagas. Lain kali nggak bakal buka HP Kakak tanpa izin."

Sweet and WitchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang