Berjalan melewati koridor, Melvin memilih untuk kembali ke kelas. Membiarkan Nicko mendekati orang yang dia suka, di kantin. Mungkin karena kesal dengan Shaina, selera makan Melvin menghilang.
Cewek nggak tahu malu!
Walaupun kepalanya terus bersuara--mengertak Shaina dalam hati, tetapi raut wajahnya sama sekali enggan menunjukkan kalau dia sedang merasa geram. Orang yang berpapasan dengannya pun pasti tidak menyadari keanehan apapun.
Gerakan kakinya terhenti ketika menangkap bayangan di sampingnya.
"Vin," sapa Yoyo saat bertemu Melvin di depan kelas.
Melvin menoleh, lalu mengangkat kedua sudut bibirnya. "Kenapa, Yo? Mau tanya tugas lagi?" Laki-laki itu terkekeh. "Kemarin cuman tugas lo yang belum dikumpulin," lanjutnya, kemudian menyandarkan punggung di dinding terdekat. Berjalan dari lapangan ke lantai tiga memang cukup melelahkan.
Yoyo menyadari sesuatu. Laki-laki berambut ikal yang tertata rapi itu membuka kelopak matanya lebar-lebar. Ekspresi terkejutnya tidak dapat ditutupi. "Mampus, gue lupa ngumpulin." Dia memukul ringan kepalanya sendiri.
"Kumpulin dulu sana, Yo. Pak Hendra nanyain."
"Oke, oke."
Yoyo mengambil langkah, menjauhi tempat tadi. Namun, tindakannya diurungkan dengan pertanyaan Melvin.
"Yo, saudara lo ada yang sakit? siapa?"
Tatapan memicing Yoyo terlihat saat mendengarnya. Sepupu Shaina itu mendeteksi nada kecemasan dalam pertanyaan yang Melvin ajukan.
Merasa tidak ada yang aneh, Melvin menaikkan alisnya samar. Ini adalah pertanyaan wajar sebagai teman satu kelas, bukan karena dia peduli dengan urusan gadis itu. Tidak ada yang salah juga dengan mengetahuinya.
"Tante Ju, nyokapnya Shaina."
Ada jeda beberapa saat, sebelum laki-laki pemilik senyum manis itu merangkai kata. "Dia ..." Melvin meralat ucapannya, "maksudnya, Tante Ju nggak apa-apa?"
"Cuman kecapekan aja sih. Shaina juga sakit."
"Perasaan dia baik-baik aja," ucap Melvin, acuh tak acuh.
Yoyo meletakkan telapak tangannya di pipi kiri, dan menepuknya dua kali. "Di sini."
Melvin manggut-manggut. Berlagak tidak mengetahui apa yang dialami Shaina, itu akan lebih baik. Jika berterus terang, pasti Yoyo akan banyak bertanya kepadanya.
"Dia sakit gigi?"
"Jadi gini, Vin." Yoyo menundukkan sedikit kepalanya, lalu celingukkan memantau keadaan sekitar. Dia tiba-tiba menurunkan volume bicaranya.
Melvin tidak sadar mengikuti gerakan Yoyo, menundukkan kepala.
"Kemarin, Shaina--"
"Maaf, Yo. Gue nggak penasaran."
Melvin salah sebelumnya, dia tahu itu. Bertanya, berarti penasaran dengan apa terjadi. Bukan hak dia untuk mengetahui segala permasalahan Shaina. Mengetahui lebih dalam, artinya semakin mendekatkan pada kenyataan yang tidak dapat diprediksi, dan suatu saat bisa menjadi luka kembali.
"Iya juga, ya. Ngapain gue cerita. Lo juga nggak peduli sama dia kan?"
"Bukannya gue nggak peduli, Yo--gue peduli, apalagi dia sama gue temen satu kelas. Gue juga bakal tanya hal yang sama kalau temen gue ada yang sakit."
Yoyo tertawa. Suara tawanya memenuhi koridor. Orang yang lewat di sana pun seketika memandang heran. "Oke, oke. Gue cabut dulu, Vin."
Hendak berbalik, Yoyo teringat sesuatu. Alasan dirinya berjalan sampai ke kelas IPA 2, yakni berniat menemui sepupunya. Alhasil, dia memutar badan kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet and Witch
Teen FictionMelvin yang dikenal sebagai siswa yang ramah itu hanya bersikap ketus kepada Shaina. Tidak ada yang mengetahui alasan Melvin selalu memasang wajah dingin setiap berhadapan dengan gadis itu, selain dirinya sendiri. Hingga Shaina dan Melvin membuat k...