eight

91 31 1
                                    

Happy reading

***

Lampu terang di meja belajar mengisi kegelapan di ruangan. Ketukan pensil di atas benda berbahan kayu itu semakin keras setiap detiknya. Orang yang duduk di kursi pun memejamkan mata hingga kerutan di dahinya terlihat jelas.

Membuka mata perlahan, dia membuat lingkaran-lingkaran di nomor soal yang sedang dikerjakan. Di atas halaman itu tertulis 'Tugas Hal. 20-22 dikumpulkan besok.'

"Buka halaman dua puluh sampai sampai dua puluh dua! Di situ ada sepuluh soal yang harus kalian kerjakan! Untuk tenggatnya, besok."

Tugas yang diberikan Bu Kia tadi siang biasanya tidak se-sulit ini. Jika waktu lima menit cukup untuk memecahkan satu pertanyaan rumus angka itu, mungkin dirinya sekarang telah siap untuk makan malam. Namun, sudah hampir satu jam sejak laki-laki berkaus putih lengan pendek dan celana sport hitam itu membuka buku, baru menyelesaikan enam soal dari sepuluh. Tenggat waktu yang diberikan Bu Kia juga sedikit menambah beban baginya.

Hari ini juga dia pulang dari kafe Ryan jam tujuh malam, satu jam lebih awal dari waktu yang seharusnya. Kafe tutup lebih cepat. Semakin ramai kafe itu, maka semakin cepat pula stok persediaan berkurang dan habis.

Begitupun dengan isi otak Melvin sekarang, banyak catatan yang perlahan menguai di pikirannya. Gadis yang baru menyandang status sebagai kekasihnya, menempati urutan teratas dari daftar itu. Hal tersebut membuatnya kurang memaku fokus di buku tebal yang terbuka ini.

Mendadak, gebrakan pintu kamar mengembalikan kesadarannya kembali. Terkejut, Melvin segera menegakkan punggung sesaat mendengar decitan dari pintu kamarnya dengan cukup keras.

"Kak Melvin, bantuin Bagas ngerjain PR dong," ucap seorang lelaki berbaju biru, yang merupakan adik dari Melvin. Sambil membawa buku paket, dia melangkah ke samping kanan saudaranya.

Orang yang dipanggil 'Kak' itu mendengkus samar. "Kalau masuk, ketuk pintu, Gas."

Bagas menunjukkan gigi kelincinya, kemudian terkekeh. "Iya, maaf. Bagas buru-buru mau mabar. Udah janji sama temen soalnya."

Menggelengkan kepala, Melvin menatap tajam. Baru saja akan berbicara, dia menutup mulutnya kembali.

"Iya, Bagas tahu. 'Main game nya jangan lebih dari satu jam, dan jangan setiap hari main game' itu kan?"

Bagas hafal apa yang akan dikatakan Kakaknya itu setiap dia akan bermain game di depan matanya. Tentu saja, belajar merupakan hal yang Bagas prioritaskan. Bagas meraih peringkat ke-satu di angkatannya juga bukan tanpa alasan.

"Kamu udah nyoba buat ngerjain?"

"Udah, tapi Bagas masih bingung sama soal nomor lima yang di halaman sepuluh. Cuman itu yang belum."

Melvin menundukkan kepala ke tugas yang belum dia selesaikan. "Tunggu bentar, Kakak ngerjain tugas ini dulu."

Bagas mengernyitkan alisnya, heran. Jarang sekali Kakaknya itu seperti terlihat bodoh di depan soal seperti ini. Tidak peduli lebih lanjut, Bagas mengedarkan pandangan ke meja dan sudut kamar Melvin.

"HP Bagas, mana?"

Mencegah adiknya bermain ponsel saat belajar, Melvin terkadang menyita benda itu dari Bagas selama mengerjakan tugas di rumah sampai menyelesaikannya.

Sweet and WitchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang