Prolog

277 48 31
                                    

Gadis berumur sebelas tahun itu menyelusuri koridor sekolahnya. Seminggu lagi akan ada upacara pelepasan. Sayangnya, dia tidak bisa mengikuti acara itu. Walaupun ia baru pindah di sekolah itu saat awal kelas enam, tetapi acara kelulusan merupakan satu hal yang ingin diikuti gadis berseragam merah dengan pita di kerahnya itu.

Dengan acara kelulusan, kedua orang tuanya pasti akan datang untuk mendampinginya. Namun, sekarang ekspetasinya tidak akan terwujud. Mama dan Papanya memutuskan untuk berpisah. Dan mungkin, dirinya akan pindah tempat tinggal lagi. Karena rumah yang saat ini merupakan rumah Papanya.

Jika memilih untuk ikut dengan sang Papa dan istri baru beserta anak perempuan mereka, dia enggan berurusan dengan orang-orang yang telah menyakiti Mamanya.

Waktu pulang sekolah telah berakhir beberapa saat yang lalu. Gadis itu kini menuju loker miliknya. Dia mengambil semua buku dan benda yang ada di dalam loker, kemudian memasukkan ke dalam tas abu-abu. Saat melakukannya, sebuah kotak kecil berwarna biru menghentikan pergerakannya.

Di atas kotak itu tertulis 'Untuk Shaina.'

Dia berdecak. Bukan hanya kali ini gadis itu mendapati barang-barang seperti itu. Surat cinta dan kotak pemberian anak yang tak ia kenal semakin membuatnya kesal.

Tanpa membuka isi kotak itu, dia mengedarkan pandangan. Setelah menemukan apa yang dia cari, Shaina melempar apa yang dipegang ke tempat sampah. Segera, Shaina meninggalkan lokernya yang masih terbuka, tanpa menutupnya kembali.

Suara nyaring dari tempat sampah tadi bukan hanya memekakkan telinga, tetapi juga membuat luka di hati anak laki-laki yang sedari tadi memperhatikan Shaina dari ujung koridor. Raut mukanya yang beberapa saat lalu cerah dengan senyum manisnya, seketika berubah menjadi masam.

_______

Empat tahun berlalu sejak saat itu.

Hari ini, merupakan masa pengenalan siswa baru di Adiwarna High School. Semua siswa baru diharuskan memakai seragam yang telah ditentukan, dan harus berkumpul di lapangan utama sebelum jam tujuh tepat.

Dua siswa laki-laki berjalan menuju gerbang utama sekolah. Siswa-siswi baru tidak diperbolehkan mengemudikan sendiri kendaraan pribadi mereka selama masa pengenalan sekolah. Alhasil, mereka berdua berangkat menggunakan angkutan umum.

Sepanjang perjalanan, tidak hentinya mereka mengagumi bangunan sekolah dengan segala fasilitas di dalamnya.

Pantas saja, biaya di sekolah ini mahal. Beruntung, Melvin mendapat Beasiswa penuh sehingga segala biaya pendidikan selama tiga tahun itu ditanggung oleh yayasan pemilik sekolah. Berbeda dengan laki-laki di sampingnya, yang berasal dari kalangan menengah ke atas.

Melvin dikejutkan dengan dua siswa tak jauh dari gerbang utama. Kedua siswa yang dilihat Melvin itu sedang berkelahi. Di tengah perkelahian itu juga terdapat beberapa siswa-siswi yang menonton. Tidak ada yang berniat melerai.

Melvin menepuk-nepuk pundak orang di sampingnya. "Nicko, ada yang berantem," ucapnya spontan berlari menuju kerumunan.

Melvin dan Nicko membelah kerumunan itu. Dua siswa yang menghantam lawannya dengan kepalan tangan. Keduanya sama-sama mengeluarkan darah dari sudut bibirnya.

"Vin, lo mau kemana?"

"Misahin mereka."

"Bego! Jangan ikut campur, Vin. Nanti lo yang kena. Lagian udah ada yang manggil guru kedisplinan."

Tidak peduli perkataan Nicko, Melvin memberanikan diri menarik salah satu dari mereka. Setidaknya dia mencoba melerai perkelahian itu daripada tidak berbuat apa-apa. Nicko pun pasrah, lalu mengikuti Melvin, dan menghentikan siswa yang satunya lagi.

Tanpa diduga, perkelahian antara dua siswa itu terhenti seketika.

"Pak Tio udah datang!"

Teriakan seorang siswa sontak membuat orang-orang berhamburan berlari ke dalam sekolah untuk menghindari guru kedisiplinan yang terkenal garang itu.

"Dion, Lo jangan deketin Bella lagi! Dia udah jadi pacar gue!" teriak orang yang dikunci pergerakannya oleh Nicko, lalu melepaskan cengkraman Nicko di bahunya, dan menghindari Pak Tio.

Melvin dan Nicko saling berpandangan.

"Vin, lari!"

Ketiga orang yang tersisa itu ikut berlari. Namun, langkah mereka terhenti ketika menyadari siswa baru bernama Dion itu memegangi kakinya yang terasa sakit. Melvin berinisiatif menghampiri Dion lalu membalikkan badan dan membungkuk.

"Naik!" titah Melvin.

Dion sedikit ragu untuk menurutinya. Akhirnya Nicko turun tangan dan ikut mendekat.

"Bego! Cepetan!" teriak Nicko tidak sabar.

Dion menaiki punggung Melvin. "Anjir, nggak usah teriak. Kita nggak kenal."

Ketiganya berniat menuju ke ruang UKS sambil menengok ke belakang. Bahaya kalau sampai mereka harus tertangkap guru itu di hari pertama mereka. Namun, saat mencari-cari di mana letak ruang UKS, Melvin menghentikan laju langkahnya setelah melihat name tag gadis yang tak jauh di depannya.

Seorang gadis berjalan berlawanan dengan arah ketiga laki-laki itu. Tatapan matanya lurus ke depan tanpa memperhatikan orang di sekitarnya. Rambut sebahunya terurai, mata tajamnya sama seperti terakhir kali Melvin melihatnya.

Melvin memastikan sekali lagi dengan kembali melihat name tag-nya.

Shaina C. Aileen

Ya. Itu nama gadis itu. Melvin sangat yakin. Laki-laki itu tidak sadar sudah mematung, wajahnya tanpa ekspresi. Usaha menghilangkan perasaan dan bayangan gadis itu selama beberapa tahun, sia-sia hanya dengan tatapan satu detik saat ini. Ternyata, Shaina juga bersekolah di sini.

"Woi! Kenapa berhenti?" Dion menepuk pundak Melvin.

"Maaf. UKS-nya dimana, gue bingung."

"Udah, nanti tanya sama anak sini," ucap Nicko di belakang.

Sebelum mereka lanjut berjalan, Melvin menolehkan kepalanya ke arah Shaina yang sudah sedikit jauh dari jangkauan pandangannya.

•--------------•-------------•

Hai! Terimakasih, ya, udah mampir ke ceritaku. Aku harap kalian suka dengan prolog ini dan memutuskan buat lanjut membaca bagian selanjutnya, dan seterusnya.

>•<

Sweet and WitchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang