Chapter 6 - A Stranger

67 17 6
                                    

Tiga bulan sudah Sydney menganggur pascadikeluarkan secara tiba-tiba tempo lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tiga bulan sudah Sydney menganggur pascadikeluarkan secara tiba-tiba tempo lalu. Melamar pekerjaan nyaris ke semua perusahaan di berbagai wilayah Ibukota yang sedang membuka lowongan, tetapi tak satu pun berakhir dengan panggilan interview. Ingin marah, tetapi entah pada siapa. Pada dirinya sendiri, mungkin bisa saja. Tetapi di bagian mana salahnya?l

Sydney mengucek matanya yang terasa kering dan pegal, kemudian mengerjapkannya beberapa kali sebelum akhirnya memeriksa maskara takut-takut belepotan ke mana-mana melalui layar gawainya.

Pandangannya tertuju lurus pada para wanita berpakaian kantor yang sedang makan siang bersama di sebuah kafe yang saat ini sedang Sydney singgahi. Untuk ukuran orang yang selalu berangkat pagi dan acapkali pulang kemalaman, setelah tiba-tiba dipecat Sydney menjadi risi terhadap dirinya sendiri setiap kali hanya banyak menghabiskan waktu di rumah tanpa melakukan pekerjaan selain membantu Hanna tiga bulan ini.

Stres, suntuk dan yang lainnya. Sydney merasa, mati-matian berjuang agar lulus sarjana beberapa tahun silam tidak ada gunanya. Entah kriteria macam apa yang mereka ingini, Sydney bingung harus melakukan apa lagi. Dulu saja, hanya satu bulan setelah lulus dirinya menganggur. Tetapi sekarang, rasanya memuakkan.

Pekerjaan kemarin bukanlah yang pertama, sudah empat kali dia pindah kantor. Dan yang terakhir itu, yang paling dirinya perjuangkan dan pertahankan. Mengingat, untuk mendapatkannya saja perlu perjuangan yang amat luar biasa.

Untuk ke sekian kalinya Sydney menghela dan membuang napas cukup panjang. Menyeruput jus mangganya, kemudian dia kembali memainkan gawai seraya bersandar pada dinding.

Duduk seorang diri sedari tadi bukan sekali dua kali membuat beberapa pelanggan lain menatapnya aneh. Baiklah, Sydney tidak terlalu peduli tetapi dirinya tahu; nyaris semua meja diisi oleh dua atau tiga pelanggan yang artinya di sini hanya dirinyalah yang duduk sendirian. Bagi sebagian orang mungkin aneh, tetapi baginya tidak. Bahkan, sebenarnya Sydney lebih sering makan atau berjalan-jalan sendiri jika tidak ada kegiatan dan secara kebetulan tidak ada yang bisa menemani.

"Sydney!"

Mendengar seseorang memanggil namanya membuat sang empu mendongakkan kepala. Dahinya mengernyit dengan mata memicing, mengamati sosok perempuan dalam balutan rok sepan di bawah lutut dan blus putih yang dimasukkan. "Siapa, ya?"

Perempuan itu mencebik, kendati begitu dia tetap mengambil duduk di hadapan Sydney. "Lupa sama gue?"

Sydney menggaruk tengkuknya yang tak gatal seraya tersenyum canggung. "Sori, lo ... kenal gue?"

"Gila! Gue Aurel, kita se-SMA dulu. Lo IPS 3, gue IPS 5. Kita dulu ikut ekskul modern dance, malah sering saling sapa selama tiga tahun itu," ulas perempuan bernama Aurel tersebut. "Ah. Wajar, sih. Tiap reuni SMA gue nggak hadir terus. Hahaha."

Sydney berusaha memutar kembali ingatannya, karena sungguh dia sama sekali tidak mengingat nama itu. Terlebih lagi, terkadang makin dewasa wajah seseorang makin terlihat pangling. Seperti Aurel ini.

EvanescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang