Chapter 13 - It's her

37 7 7
                                    

Sebenarnya, melihat perawakan dan rupa adik perempuannya saja seharusnya Sean sudah bisa menebak bahwa kakak-kakaknya pasti tak akan jauh berbeda memesonanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebenarnya, melihat perawakan dan rupa adik perempuannya saja seharusnya Sean sudah bisa menebak bahwa kakak-kakaknya pasti tak akan jauh berbeda memesonanya. Selain memiliki wajah tampan, keduanya sama-sama menguarkan aura positif dan mengintimidasi dalam waktu bersamaan. Dengan tubuh tegap berotot, mata elang yang sama-sama terlihat selalu mengintai—memastikan adiknya baik-baik saja, dan suara tegas. Jelas, Sean selalu tampil percaya diri di hadapan laki-laki lain. Namun, malam tadi adalah kejadian langka yang terpaksa dirinya alami.

Beruntung saat itu Sydney langsung membantunya menjelaskan, walau Sean ragu itu merupakan suatu keberuntungan atau justru membuat kedua kakaknya Sydney menganggap Sean tak punya nyali sebagai seorang lelaki. Yang jelas, malam itu dirinya selamat. Dalam artian ... tidak dicap berbuat macam-macam terhadap Sydney sehingga tidak dihadiahi tonjok mentah dari dua lelaki tersebut.

Sean mengumpat berulang kali karena pagi ini dia terlambat bangun. Walau semalam urung untuk minum-minum di bar, nyatanya sesuatu tetap saja membuatnya terjaga semalaman.

Sesekali tangannya menyendokkan sarapan ke mulutnya, kemudian kembali menuliskan beberapa hal yang perlu dirinya lakukan sedari pagi hingga malam nanti di atas tiga lembar sticky note yang telah dirinya robek. Untuk ditempel di kubikal kerjanya, tentu saja.

Selesai dengan dua kegiatan tersebut, Sean memasukkan tiga lembar catatan kecilnya itu ke dalam saku kemeja dan segera masuk ke kamar untuk mengambil jas, dompet dan juga kunci mobil.

Sean mengerutkan kening saat tak menemukan dompet baik di atas kasur maupun nakas tempat biasanya menaruh benda penting tersebut. Mengambil celana yang semalam dia pakai di dalam keranjang cucian, Sean mencarinya di saku. Namun, hasilnya tetap tidak ada.

"Kok, bisa nggak ada, sih?" tanyanya, bermonolog yang entah menjadi ke berapa kalinya terjadi pagi ini. "Apa ada di mobil, ya?"

Berdecak kesal, Sean menyambar blazer dan gawainya. Kemudian lelaki berpakaian rapi itu segera meninggalkan unit apartemennya.

Tiba di dalam mobilnya, Sean lagi-lagi berusaha untuk menemukan dompetnya itu. Ini yang dirinya benci ketika menambah sesuatu untuk dilakukan di luar what to do list yang telah dirinya buat. Semua menjadi berantakan, entah dompet atau benda lainnya yang mendadak hilang, atau terlambat melakukan hal yang wajib dirinya lakukan.

"Apa ketinggalan di bar?" Sean kembali menduga-duga. "Shit! Mana di dalamnya ada kartu-kartu penting!"

Melirik arloji di pergelangan tangan kirinya, Sean mendengkus dan memilih untuk pergi ke kantor lebih dulu saja. Dalam hati berdoa supaya tidak terjadi razia kendaraan di jalanan karena seluruh surat kendaraan dan izin mengemudinya ada di dalam dompet yang hilang tersebut.

***

Saat jam makan siang telah tiba, yang tentu saja lebih awal dari hari-hari biasanya karena hari Jumat. Alih-alih pergi ke kafetaria, Sean lebih memilih pergi ke area para copywriter yang berada satu lantai dengannya.

EvanescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang