Kedatangan Sydney di unit apartemennya yang bisa dikatakan begitu tiba-tiba sukses membuat Sean dilanda keterkejutan. Untuk beberapa saat, dirinya merasa takjub karena perempuan di hadapannya ini bisa dengan mudah menemukan tempat tinggalnya.
Malam ini perempuan itu tampak mengenakan inner berwarna hitam, dengan outer rajut kebesaran setengah lengan berwarna broken white yang senada dengan loose pants-nya. Sebuah shoulder bag berwarna hitam tercangklong di salah satu bahu, dan rambut hitamnya tampak dibiarkan terurai bervolume.
Sean nyaris berdecak mendapati wajah dengan riasan tak terlalu berlebihan itu tampak datar seperti biasanya. Untuk beberapa saat Sean berpikir bahwa kebiasaan menunjukkan raut datar yang demikian merupakan hal yang diwariskan oleh kedua kakak perempuan itu.
Namun, dari semua hal tersebut Sean cukup dibuat terpana karena Sydney tetap memperhatikan penampilannya walau di malam hari seperti ini.
Sementara itu, Sydney membuang napas kasar-kasar sebelum melambaikan tangan persis di depan wajah lelaki yang tampak sedikit tidak fokus tersebut. Dan sukses membuatnya berdeham beberapa kali.
“Mbak dari mana tahu apartemen saya? Jangan-jangan pekerjaan sampingannya jadi penguntit, ya?”
Saat itu pula kedua mata sedikit sipit milik Sydney melebar. “Siapa bilang saya penguntit? Kalau pun begitu, saya nggak akan mau menguntit Masnya!”
“Kenapa?”
“Karena apa pun yang berkaitan dengan Mas Sean pasti nggak begitu penting, buat apa orang lain bayar saya cuma untuk menguntit seorang finance staff yang katanya agak senior ini,” ulas Sydney, sedikit panjang dan dengan intonasi yang dibuat arogan.
Sean mengulas senyuman. Beberapa puluh tahun hidup, bukan kali ini saja dirinya dipanggil dengan sebutan mas oleh seseorang. Namun, entah mengapa mendengarnya dari mulut Sydney selalu menghasilkan pengaruh yang luar biasa berbeda terhadap perasaannya. Terlebih lagi, Sydney pun untuk pertama kali menyebut namanya.
"Betulan sinting! Kenapa malah senyum-senyum sendiri, sih?" sembur Sydney.
Berdeham sebanyak dua kali, Sean pun membuka pintu lebih lebar lagi. "Silakan masuk, nggak enak ngobrol sambil berdiri."
"Siapa juga yang mau mengobrol?"
Sean geleng-geleng kepala, benar-benar ajaib perempuan ini! pikirnya. "Tapi dari beberapa menit yang lalu kita ngobrol, lho, Mbak."
Sydney mengedikkan bahunya. Mengangguk anggun, kemudian memilih untuk melangkah masuk ke dalam unit apartemen yang tidak begitu besar pun tidak terlalu kecil tersebut. Saat Sean sudah menutup pintu dan pergi ke dapur, dia tetap berdiri di ruang tamu yang menyatu dengan ruang televisi. Sebuah kebiasaannya ketika bertamu; Sydney tidak akan duduk jika belum dipersilakan. Menurutnya, itu kurang sopan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Evanescent
RomanceTolong follow sebelum membaca✨ ______ Impian sederhana seorang Sydney Arunika adalah menikah dengan orang yang diacintai. Namun, seolah menjadi kesialan yang bertubi-tubi; impiannya terpaksa pupus ketika Gio, kekasihnya selama enam tahun terakhir ti...