Dari pertemuan singkatnya dengan kedua saudara Sydney malam itu, Sean menangkap ada banyak afeksi yang mereka berikan kepada adiknya. Namun, apa yang sebenarnya membuat Sydney merasa telah mengecewakan mereka?
Pertanyaan demi pertanyaan mulai bermunculan di kepalanya, hanya saja tidak ada jawaban yang bisa membuatnya merasa lega. Mustahil baginya untuk tahu segala hal mengenai kehidupan Sydney disaat mereka saja baru mengenal dalam hitungan waktu saja.
“But deep down ... I hope you get better after shedding your tears.”
Usai bergumam demikian, salah satu sudut bibirnya terangkat. Menciptakan sebuah senyuman asimetris yang sedikit samar. Namun, lenyap dengan singkat ketika layar gawainya menyala dan menunjukkan sebuah nama yang mampu membuat suasana hatinya mendadak buruk.
Sean menekan tombol merah dan kembali memejamkan mata. Namun, tak lama kemudian nada dering yang berbeda dari nomor lain itu terus mengganggunya.
Sengaja sejak awal Sean menyetel nada dering khusus pada nomor tersebut, agar saat mendengarnya Sean tidak perlu repot-repot menerima panggilannya lagi karena tahu siapa orang di balik si penelepon tersebut. Begitupun dengan hari ini, Sean tidak berniat berbicara dengan orang itu barang sedetik saja.
Tidak sebelum panggilan kelima muncul, pada akhirnya dengan geram Sean pun menerimanya. Layarnya ditempelkan ke telinga kanan, tanpa mengatakan apa-apa dan memilih menunggu apa yang akan orang di seberang panggilan itu sampaikan.
Satu menit, dua menit. Tidak dari mereka mulai bersuara, maka Sean hendak mematikan sambungan tersebut. Namun, belum sempat itu terjadi orang itu mulai mengatakan sesuatu,
“Kamu sibuk?”
“Hm.” Sean menanggapinya dengan ogah-ogahan.
“Akhir pekan nanti kamu bisa ke rumah? Adek kamu yang kecil kangen, katanya.”
“Saya sibuk, anda sudah mendengarnya tadi.”
“Udah bertahun-tahun, lho, kamu nggak mengunjungi Papa. Baru kemarin Papa nggak sengaja lihat kamu ada di rumah sakit, Papa kira kamu mau berkunjung.”
“Mengunjungi orang-orang yang menghancurkan masa kecil saya?”
“Nak—”
“Saya tutup teleponnya.” Sean segera mengakhirinya, kemudian mengalihkan mode dering ke mode senyap sebelum akhirnya memasukkan gawainya ke saku celana.
Tidak begitu mengejutkan jika ternyata orang yang tak lain adalah papanya melihat Sean berkeliaran di rumah sakit tersebut sejak kemarin.
Salahnya yang justru memilih rumah sakit milik papanya untuk merawat Sydney kemarin. Kemarin Sean sangat panik, bahkan untuk memikirkan hubungannya yang tidak pernah baik dengan sang papa saja dirinya tidak sempat dikarenakan rumah sakit inilah yang jaraknya terbilang lebih dekat dari kantor.
KAMU SEDANG MEMBACA
Evanescent
RomanceTolong follow sebelum membaca✨ ______ Impian sederhana seorang Sydney Arunika adalah menikah dengan orang yang diacintai. Namun, seolah menjadi kesialan yang bertubi-tubi; impiannya terpaksa pupus ketika Gio, kekasihnya selama enam tahun terakhir ti...