Chapter 34 - Hard 2 Face Reality

32 2 0
                                    

𔘓𓂃 ࣪˖ ִֶָ

Beberapa hari yang lalu.

Sejenak, Sean merasa seolah hidup kembali setiap kali bersama Sydney atau bahkan setelahnya. Perempuan itu seolah-olah memiliki sesuatu yang unik dalam dirinya, yang bisa membuat orang lain merasa aman ketika berada di sampingnya.

Senyumnya selalu tersungging tulus tiap kali bersamanya, tawanya nyata, segala hal tentang Sydney selalu membuatnya merasa bersemangat. Dan itu jarang dirinya dapatkan dari orang lain.

Mengingat momen sarapan bersama di dalam mobil, Sean berniat untuk mengajak Sydney untuk pulang bersamanya sore ini. Baru saja hendak mengirim pesan kepada perempuan itu karena lima belas menit lagi sudah masuk jam pulang, akan tetapi hal itu terpaksa urung ketika beberapa pesan singkat muncul di notifikasi ponselnya.

Aurel :
Seannn.
Dimana?
Mau numpang.

Sean :
Ruangan.
Kayaknya nggak bisa, Rel. Sori, ya.


Aurel :
Kenapa, sih belakangan ini gitu terus?
Ini urgent banget tau.

Memilih mengabaikan pesan itu dan mulai membuka ruang obrolan dengan Sydney, baru saja Sean hendak mengetikkan pesan ajakan, pesan baru dari Aurel sukses  membuat atensinya tertuju penuh padanya.

Aurel :

Soal ibu kandung kamu.

Sean :
Lo dimana?
Gue ke sana sekarang.


Maka saat itulah pikiran Sean kembali dibuat carut-marut, tak keruan, dan jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Sean menyambar tas dan jas yang dia gantung di punggung kursi putarnya, berjalan cepat menuju basemen tempat dimana Aurel menunggunya saat ini.

Dan di sinilah saat ini mereka berdua berada, duduk berhadapan di sebuah kafe dekat kantor. Berbeda dengan Sean yang tampak tegang, Aurel yang berada di hadapannya tampak lebih tenang. Mereka baru memesan minuman—lebih tepatnya Aurel, karena Sean bahkan tidak nafsu untuk makan ataupun minum saat ini.

Sean selalu tidak bisa tenang jika itu bersangkutan dengan ibu kandungnya. Orang yang seumur hidup dirinya cari-cari. Dan sebagai teman dekat, Aurel memang selalu membantu mencari informasi tentang keberadaan ibunya meskipun sejauh ini hasilnya masih nihil.

Terlahir sebagai anak yang ditinggal pergi oleh ibunya sejak balita karena perceraian dan ketika menginjak masa remaja ayahnya memilih untuk melanjutkan hidupnya bersama orang baru, membuat hidup Sean cukup menderita. Jika bukan karena kasih sayang tantenya yang tinggal di Bogor—yang selalu ia sebut ibu selama ini, mungkin Sean tidak akan bertahan sampai sejauh ini. Maka ketika Aurel untuk kesekian kalinya memberi informasi, Sean selalu sigap mendengarkan.

“Kali ini aku yakin,” Aurel membuka percakapan setelah sejak tadi tampak mengotak-atik ponselnya. “informasi yang aku dapat bakalan akurat.”

Sebuah notifikasi masuk pada ponsel milik Sean, lelaki itu mengeceknya karena Aurel tampak memberikan isyarat untuk itu. Beberapa foto terkini yang diambil dari rekaman CCTV menunjukkan seorang wanita yang sedang menggandeng tangan anak kecil berusia sekitar sepuluh tahunan, tampak berjalan masuk ke dalam sebuah rumah sederhana bercat biru. “Ini ...?”

“Iya ibu kamu, Sean. Orang suruhan aku bilang dia udah coba tanya warga sekitar, dari nama lengkap dan hal-hal yang kamu sebutin dulu semuanya cocok, warga sekitar juga bilang dia asalnya dari Bogor. Sama kaya ibu kamu,” Aurel tampak mengirim sesuatu lagi ke ponsel milik Sean, kemudian lanjut berbicara, “Katanya, beliau nikah lima belas tahun yang lalu. Dan anak di foto itu, itu putra kedua mereka.”

EvanescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang