BAB 3 BELAJAR MEMANAH

131 8 1
                                    

Matahari masih malu-malu menampakkan diri. Udara pagi terasa dingin menyentuh kulit. Srikandi segera beranjak bangun dari peraduan dan mandi. Ia lalu duduk di kursi yang berada di taman Maduganda yang indah dan asri sambil menyisiri rambutnya yang terurai panjang, hitam pekat dan bergelombang indah dengan jemarinya yang halus lentik. Dikibas-kibaskannya rambutnya agar segera kering.

Setelah dirasa agak kering, Srikandi meletakkan rambutnya ke dadanya sambil terus menyisir. Pikirannya menerawang ke negaranya. Ia teringat kembali pada pertengkarannya dengan ayahnya.

"Sedang apa ayah ? Apakah ayah mencariku ? Mencemaskanku ? Maafkan aku yah, aku terpaksa pergi tanpa pamit agar aku bisa membantumu apabila ada musuh yang datang menyerang negara kita. Aku ingin menyempurnakan ilmuku. Aku berjanji akan rajin belajar agar bisa segera kembali. Apakah ayah akan memaafkanku ?" pikirnya dalam hati. Seumur hidupnya ia belum pernah meninggalkan istana. Kerinduannya pada keluarganya membuatnya sedih. Tak terasa air mata menitik di pipinya.

Puk, punggung Srikandi ditepuk lembut Arjuna.

"Ada apa yayi ? Kenapa kau menangis ?" tanya Arjuna lembut sambil menarik kursi dan duduk di sebelah Srikandi.

"Ada apa yayi ? Kenapa kau menangis ?" tanya Arjuna lembut sambil menarik kursi dan duduk di sebelah Srikandi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Tidak ada apa-apa, kangmas," buru-buru Srikandi menyeka air mata dan berusaha tersenyum. "Hari masih sangat pagi. Kenapa kangmas sudah berada disini ? Tidakkah kangmas seharusnya sedang sarapan dengan mbakyu (panggilan untuk kakak perempuan) Sumbadra ?"

"Aku ingin berada disini bersamamu. Aku sudah meminta para punakawan untuk membawakan sarapan kesini." jawab Arjuna sambil menatapnya.

Ahh.. Keluh Srikandi dalam hati. Ia sebenarnya risih dengan kehadiran Arjuna tapi tidak mampu untuk menolak karena Arjuna adalah guru yang harus ia hormati.

"Ku pikir kau pasti ewuh pekewuh (risih) disini. Aku ingin mendukungmu." Ujarnya tersenyum melihat Srikandi salah tingkah.

"Iya, terimakasih kangmas." Jawab Srikandi pelan.

Tidak berapa lama para punakawan (abdi setia), Gareng, Petruk dan Bagong membawa sarapan untuk mereka berdua. Sarapan pagi hari ini adalah aneka bubur baik bubur manis maupun bubur gurih asin. Setelah meletakkan aneka bubur di meja, para punakawanpun undur diri, membiarkan mereka berdua menikmati hidangan.

"Ayo kita sarapan dulu, yayi," ajak Arjuna lembut. Melihat Srikandi diam saja, Arjuna berinisiatif mengambilkan bubur untuk Srikandi.

"Yayi, engkau adalah seorang putri dari kerajaan besar. Biasa dilayani banyak emban (pelayan wanita). Disini tidak ada seorangpun yang melayanimu. Apakah kamu marah padaku ?" tanya Arjuna membuka keheningan.

"Oh, tidak, tidak, kangmas." Jawab Srikandi geragapan. "Kangmas jangan berpikir bahwa aku perempuan manja. Aku sama sekali tidak berkeberatan."

"Begini yayi, kamu datang diam-diam, tanpa sepengetahuan ayahmu. Kalau aku suruh emban melayanimu, aku takut orang akan tahu keberadaanmu. Kalau itu terjadi, aku takut ayahmu akan marah padamu. Begitu juga kakakku, Prabu Puntadewa akan marah padaku karena aku tidak melaporkan keberadaanmu padanya. Lebih baik keberadaanmu kurahasiakan lebih dulu. Apabila ada yang kau perlukan, beritahu saja para punakawan, mereka akan melayani segala kebutuhanmu. Bagaimana yayi ? Kau setuju ?" tanya Arjuna.

Wanita PilihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang