BAB 17 AKHIR PERANG

159 7 2
                                    

Perang telah usai. Prajurit Pandawa merayakan kemenangan mereka dengan duduk-duduk di depan api unggun. Mereka melakukan tugur untuk memperingati rekan-rekan yang gugur di medan perang. Beberapa dari mereka saling berangkulan memberikan support pada rekannya.

Drestajumena duduk sendirian menghadap api unggun. Sesekali tangannya membetulkan nyala api. Wajahnya terlihat sendu.

"Dimas, apa yang kau pikirkan ?" tanya Srikandi sambil duduk di sebelahnya.

"Aku teringat almarhum ayah dan ibu." Katanya lirih. "Ibu bersikeras untuk melakukan labuh geni, dibakar bersama jenazah rama prabu. Kenapa ibu harus melakukan itu ?"

Mendengar ini Srikandi merangkul adiknya.

"Itu karena ibu sangat mencintai mendiang ayah. Mereka berdua sekarang sudah berada di surga. Dimas jangan pikirkan itu lagi. Biarkan mereka tenang di alam baka. Apa rencanamu sekarang, Dimas ? Kerajaan Pancala dan Darsana membutuhkanmu. Bagaimana kalau kau menjadi raja di Pancala dan menyatukannya dengan Darsana ? Darsana adalah kerajaan mertuamu. Kau harus memimpinnya juga. "

"Aku sekarang sedang tidak memikirkan itu, kangmbok."

"Tapi kau tetap harus memikirkannya. Karena kau satu-satunya anak laki-laki ayah. Kau lah yang akan mewarisi Pancala, kerajaan leluhur kita. Tanah tumpah darah kita. Bagaimana kabar yayi Dewi Suwarni dan anak-anak ?"

"Baik.."

"Anak-anak menunggumu. Mereka pasti senang sekali melihat ayahnya kembali dari peperangan membawa kemenangan. Kemenangan Pandawa adalah hasil usahamu, dimas. Kaulah yang merancang semua strategi Pandawa. Kaulah yang memimpin seluruh pasukan Pandawa. Kau juga yang berhasil membunuh resi Durna. Tanpamu Pandawa tidak mungkin memenangkan perang suci ini. Aku bangga padamu." Srikandi tersenyum sambil memegang pundak adiknya. Drestajumena memandang kakaknya.

"Kalau kangmbok tidak berhasil membunuh eyang resi Bisma, Pandawa juga tidak akan menang, kangmbok. Kau kunci kemenangan Pandawa. Aku pun bangga padamu, kakakku."

Srikandi memeluk adiknya. Drestajumena pun membalas pelukan kakaknya. Lama mereka berpelukan. Dibanding dengan Drupadi, Drestajumena memang lebih dekat dengan Srikandi.

"Aku yakin ayah dan ibu bangga pada kita. Mereka tersenyum di alam sana." Kata Srikandi.

"Ngomong-ngomong, apa yang akan kau lakukan malam ini, dimas ? Sampai kapan kau akan duduk-duduk disini ? Kau harus istirahat. Malam sudah larut."

"Tidurlah dulu kangmbok. Aku masih ingin disini."

"Baiklah. Aku harus tidur terlebih dulu. Aku harus mengeloni Parikesit. Kasian Utari, dia selalu terjaga di malam hari. Sejak Abimanyu meninggal, ia susah tidur. Biarlah Parikesit tidur bersamaku agar dia bisa benar-benar istirahat."

"Tentu, kangmbok. Pergilah." Kata Drestajumena.

Srikandi berjalan ke kemah Utari untuk mengambil Parikesit. Utari adalah istri Abimanyu. Saat suaminya gugur ia sedang hamil tua. Setelah anaknya lahir, Arjuna memberi nama cucunya itu Parikesit. Srikandi menggendong Parikesit masuk ke kemahnya. Diletakkannya Parikesit di ranjang. Sesuai nasihat Prabu Kresna, ia pentangkan panah Pasopati dibawah kaki Parikesit untuk menjaga keselamatannya.

 Sesuai nasihat Prabu Kresna, ia pentangkan panah Pasopati dibawah kaki Parikesit untuk menjaga keselamatannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Wanita PilihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang