BAB 15 DURNA

62 6 0
                                        


Hari kelima belas Kurawa memasang resi Durna sebagai Senapati. Mendengar ini, Prabu Kresna bertanya kepada Pandawa siapakah yang mau melawan resi Durna yang sangat sakti itu. Para Pandawa semua tidak ada yang mau karena mereka menghormati resi Durna sebagai guru mereka.

"Aku yang akan menjadi senopati

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Aku yang akan menjadi senopati." Kata Prabu Drupada tiba-tiba.

Para Pandawa menunduk. Prabu Puntadewa dan Arjuna merasa tidak enak telah membawa-bawa mertuanya dalam urusan mereka. Prabu Drupada melihat menantu-menantunya menunduk melanjutkan bicaranya.

 Prabu Drupada melihat menantu-menantunya menunduk melanjutkan bicaranya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Aku tahu aku sebetulnya tidak ada urusan dengan perang ini. Kehadiranku disini adalah akibat ikatan pernikahan putri-putriku dengan Pandawa, namun demikian ada urusan yang belum terselesaikan antara resi Durna dan aku. Biarlah dalam perang ini urusan ini kami selesaikan sampai tuntas."

Mendengar ini Prabu Kresna berkata ,"Baiklah paman Prabu, untuk esok hari paman yang menjadi senopati."

"Baiklah, besok aku yang menjadi senopati. Untuk senopati pendamping aku ingin didampingi oleh putraku Drestajumena."

Keesokan harinya perangpun dimulai. Prabu Drupada segera mencari resi Durna.

"Yayi Kumbayana (nama lain dari resi Durna) kita bertemu lagi."

"Kakang Sucitra (nama kecil Prabu Drupada), saat aku datang ke istanamu kau tolak aku hanya dengan alasan tata krama padahal saat itu aku hanya ingin melepas kangen denganmu."

"Yang berlalu biarlah berlalu. Pulanglah yayi ke Sokalima. Yayi membela pihak yang salah."

"Kau kira aku anak kecil ?" seru resi Durna sambil menyerang Prabu Drupada. Prabu Drupada mengelak dan balik menyerang dengan kerisnya. Pertempuran kedua orang sepuh ini berjalan seru. Ternyata walaupun mereka sudah berumur tapi ketangkasan keduanya tidak kalah dengan satria-satria muda.

Akibat tangannya cacat, resi Durna keteteran juga menghadapi serangan-serangan Prabu Drupada, terutama karena Prabu Drupada merapal ajian sakti Lembu Sekilan yang membuat dirinya seolah-olah memiliki tameng. Hal ini membuat pukulan-pukulan resi Durna selalu meleset dan tidak bisa melukai tubuh lawan. Terdesaknya resi Durna membuat ia harus memutar otak. Ia teringat pada pusaka panah Simbarmanyura pemberian gurunya, resi Ramabargawa. Begitu mendapat kesempatan, ia lalu mementangkan dan melepaskan panah itu. Gugurlah Prabu Drupada dengan dada tertembus panah Simbarmanyura.

Melihat ayahnya gugur, Drestajumena menangis memeluk jenazah ayahnya tercinta.

"Ayah, jangan tinggalkan aku. Aku ingin ikut bersamamu, ayah." Tangisnya.

Melihat Drestajumena menangis, Prabu Kresna tidak tega. Ia memeluknya.

"Jangan menangis adikku. Paman Prabu Drupada gugur sebagai kusuma bangsa. Ia sekarang berada di surga. Tabahlah cah bagus (anak tampan)."

Mendengar kata-kata Prabu Kresna, hati Drestajumena sedikit tenang. Ia meminta Patih Drestaketu untuk membawa jenazah ayahnya ke perkemahan. Setelah itu ia berlari mengejar resi Durna.

Dengan penuh kemarahan ia menantang sang resi.

Dengan penuh kemarahan ia menantang sang resi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Paman Durna, lawanlah aku !" teriaknya.

"Kau anak bayi, aku tidak akan melawanmu. Suruhlah Pandawa keluar melawanku."

Drestajumena mencabut pedangnya dan menyerang Durna. Serangan-serangannya sangat cepat. Ia memang terkenal tangkas dan trengginas, licin seperti belut. Resi Durna awal-awal keteteran juga. Tapi resi Durna adalah murid Ramabargawa seperti halnya resi Bisma. Perlahan-lahan ia memukul balik Drestajumena.

Melihat Drestajumena terdesak, Prabu Kresna memerintahkan Werkodara membunuh gajah yang bernama Hestitama.

"Aswatama mati !!" teriak Werkodara berbohong. Teriakannya ini disahut berkali-kali oleh prajurit Pandawa. Mendengar teriakan-teriakan ini Durna menghentikan serangannya. Ia berjalan seperti orang linglung.

"Arjuna, benarkan Aswatama mati ?" tanyanya pada Arjuna.

"Iya rama resi." Kata Arjuna pelan.

"Aku tidak percaya !" teriak Durna. "Aswatama anakku, benarkah kau telah gugur ? Jangan tinggalkan ayahmu, nak. Apalah artinya hidupku tanpamu." Kata Durna berlinang air mata.

"Puntadewa, ngger, kau tidak pernah berbohong. Katakan padaku siapa yang mati itu ?" kata Durna sambil memegang tangan Prabu Puntadewa.

"Hestitama yang mati." Kata Prabu Puntadewa lirih. Suaranya nyaris tidak terdengar. Telinga tua Durna mendengarnya seolah-olah Aswatama yang mati. Tubuhnya langsung limbung. Berita kematian putra keakungannya benar-benar menghancurkan jiwanya. Ia pun ambruk terduduk di tengah medan laga.

Melihat Durna yang sudah lunglai, Drestajumena dengan cepat mengayunkan pedangnya menebas leher Durna. Kepalanya langsung jatuh berguling terpisah dari raganya. Durnapun gugur. Melihat ini Arjuna marah. Ia segera mendekati Drestajumena. Gerakan Arjuna tidak terlepas dari pandangan mata Srikandi.

"Apa yang ingin kangmas lakukan ?" tanyanya sambil mencengkram tangan suaminya.

"Bagaimana mungkin Drestajumena memenggal kepala orang yang sudah jatuh tidak berdaya ?" kata Arjuna marah.

"Bila Drestajumena tidak melakukan itu, siapa yang akan melakukannya ?" tanya Srikandi. "Apakah kangmas mau melakukannya ? Tidakkah kangmas ingat putra kita Abimanyu gugur akibat siasat licik paman Durna ?"

Arjuna terdiam.

"Sudahlah kangmas. Sudah takdirnya paman Durna untuk gugur di tangan Drestajumena. Kalaupun Drestajumena tidak melakukannya, aku yang akan melakukannya untuk membalas kematian ayahku !" kata Srikandi dengan sorot mata penuh kemarahan. Sejurus kemudian tangisnya pun pecah. Ia memeluk dan menangis di dada sang suami.

Melihat istrinya menangis, hati Arjuna luluh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Melihat istrinya menangis, hati Arjuna luluh. Ia memeluk erat istrinya.

"Ayo kita pulang sayang, kita harus mengurus jenazah rama Prabu Drupada." Katanya lembut sambil mengusap air mata istrinya. 

Wanita PilihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang