"Mah, Pah, aku pergi dulu." Vivi mengambil susu kotak di dalam kulkas, berpamitan kepada kedua orang tuanya yang sedang sarapan bersama.
"Gak sarapan dulu?" Tanya Veranda.
Vivi menggeleng, menyambar dua lembar roti dari dalam plastik, "Chika ngajak sarapan di kantin."
"Jangan jajan sembarangan."
Kinan tersenyum penuh arti, memiliki ide untuk membalas apa yang sudah dilakukan Vivi semalam terhadap dirinya, "Vivi, mah, gak pernah jajan makanan sembarangan. Dia cuma beli mainan, ya, kan, Vi?"
Vivi membulatkan kedua bola matanya, "Papah!"
Veranda menatap tajam ke arah Vivi, mengulurkan tangannya, "Mana hapenya? Mamah mau cek saldo tabunganmu."
"Aku udah telat, Mah."
"Kamu kelas siang, Mamah tahu. Cepet sini."
Vivi mengerucutkan bibirnya, memberikan ponselnya kepada Veranda, "Itu 600 ribu buat bayar motor semalem."
Veranda melihat saldo tabungan Vivi yang sebenarnya masih banyak, tapi Vivi sedikit boros jika sudah berhadapan dengan mainan, "Semalem beli apa aja?"
"Cuma magnet sama slime sama lego."
"Ya ampun, Vi. Minggu kemarin beli mainan, sekarang beli mainan lagi, kamu mau buka toko mainan di rumah?" Tanya Veranda.
"Mainanku diambil sama Freya, cuma dikasih 2 juta sama Tante Shania buat ganti."
"Dan langsung kamu habisin buat beli mainan?"
Vivi hanya menundukkan kepalanya sambil memakan satu lembar roti, tidak tahu harus menjawab apa lagi. Ia sudah ketahuan, Mamahnya melarang dirinya untuk membeli mainan lagi dan dirinya melanggar. Sudahlah, setelah ini pasti semua mainannya akan dibuang.
Veranda mengembalikan ponselnya Vivi, "Uang servis motor nanti biar Papah yang ganti."
"Uhuk!" Kinan mengusap air di sudut bibirnya, "Kok jadi Papah?"
Veranda menoleh, "Bayar uang servis atau beli motor baru buat Vivi?"
"Yaudah iya, nanti Papah transfer. Kalo inget."
Vivi tersenyum lebar, menyimpan ponselnya kemudian mengecup pipi Veranda, "Makasih, Mah. I love you."
"Jangan beli magnet lagi, bahaya." Ucap Veranda.
Vivi mengangguk, "Oke, hari ini aku gak akan beli magnet."
"Bukan cuma hari ini."
"Iya, Mamah, iya. Aku pergi dulu." Vivi berlari kecil keluar dari dapur, berdiri di depan tangga sebelum berteriak memanggil adiknya, "Fio, ayo! Gue tinggal baru tahu rasa lo."
"Bentar, ya ampun. Aku gak nemuin hapeku. Kak Vivi lihat hapeku gak?"
Vivi tidak menjawab pertanyaan Fiony, ia langsung berjalan keluar rumah. Merasa tidak ada jawaban dari Vivi membuat Fiony langsung curiga, sudah pasti ketiadaan ponsel di dalam kamarnya itu salah satu akal-akalan Vivi.
"Kak Vivi! Balikin hapeku!" Teriak Fiony sambil menuruni tangga dengan cepat, ia menoleh ke arah dapur untuk berpamitan kepada orang tuanya, "Mah, Pah, aku berangkat dulu."
"Hati-hati. Belajar yang rajin."
"Kak Vivi!" Panggil Fiony, menarik ujung baju Vivi, "Mana hapeku?"
Vivi mengenakan helmnya, "Kasih tahu dulu namanya siapa."
"Gak, siniin hapeku."
"Satu nama, hape dibalikin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Endless Pain
Teen Fiction"If you're going through hell, keep going." - Winston Churchill. Cerita tentang Vivi dan Chika.