“HEI!!” Seseorang menuruni tangga dalam satu kali lompatan, menahan tangan Gita sebelum pisau itu merobek perutnya Vivi.
Gita menoleh, ia tersenyum tipis, “Anda ternyata.”
“Lepasin anak saya.” Tegas Kinan, mencengkeram pergelangan tangan Gita sampai pisau lipat itu terjatuh ke bawah.
Vivi tidak bisa berdiri dengan tegak, pandangannya memburam bersamaan dengan rasa terbakar di dadanya. Jantungnya kembali bermasalah. Ia tidak tahu apakah itu benar-benar Kinan atau hanya halusinasinya saja. Kepalanya terasa berat, semua benda yang ia lihat seolah-olah bergerak-gerak. Suara-suara menggema di kepalanya.
Tangannya mencengkeram dada kirinya yang terasa sakit dan sesak secara bersamaan, meringis menahan sakit, urat disekitar lehernya mencuat keluar. Ia benar-benar kesakitan. Kalau bisa ia lebih baik mati daripada tersiksa seperti ini. Ia teringat ucapan Feni setelah ia kembali dihidupkan dengan mengirimkan listrik sekuat tendangan kuda. Ia juga teringat kalau ia mungkin tidak akan berhasil melewati kondisi ini.
Lantas mengapa kalau ia tidak berhasil? Ia akan mati, dan bukankah itu lebih baik daripada hidup dengan penderitaan yang tidak pernah berakhir ini? Ia juga bisa menghabiskan waktu bersama Mira dan Lala, dan mungkin Chika juga berada di sana, menunggunya mengembalikan gelang hitam ini.
Tidak, ia tidak boleh mati. Ia sudah membuat pernjanjian dengan Chika untuk bertemu di pernikahan Gracia dan Vino. Mungkin memang ia tidak akan bertemu Chika lagi, tapi ia tetap harus datang ke pernikahan itu dengan membawa gelang hitam itu. Ia harus memenuhi janji itu walaupun hanya dirinya saja.
“Lepasin anak saya.” Kinan menarik tangan Gita menjauh dari Vivi.
Seiring dengan lepasnya Gita dari Vivi, tubuh Vivi oleng ke depan. Kalau saja Gita tidak sigap menahan tubuh Vivi, pasti kepala Vivi akan mencumbu tanah. Entah karena reflek atau memang Gita sudah menunggu tubuh Vivi untuk jatuh, yang jelas Gita sudah menyelamatkan wajah Vivi dari operasi plastik.
“VIVI!!”
Gita menoleh, ia masih menahan tubuh Vivi, “Anda ingin mengurus anak anda atau mengurus saya?”
“Dua-duanya.” Kinan menggendong Vivi dengan kedua tangannya, dua orang polisi datang dan menahan Gita, “Saya tidak akan melepaskanmu setelah tahu apa yang kamu buat ke keluarga saya.”
Gita tersenyum mengejek, kedua tangannya diborgol di depan tubuhnya, “Dan saya tidak akan melepaskan anda setelah apa yang anda perbuat terhadap saya. Saya tunggu anda mengunjungi saya di penjara. Saya akan dengan senang hati menceritakan semuanya, kalau anda lupa mengapa saya melakukan ini semua.”
Polisi itu membawa Gita keluar dari tempat itu. Ternyata Kinan tidak datang sendirian setelah mendapat telfon dari Flora sehingga hal ini membuatnya berhasil menaklukkan Gita sekaligus menyelamatkan nyawa anaknya. Mana mungkin Kinan datang tanpa persiapan, ia tahu siapa Gita dan apa yang sudah dilakukan Gita selama ini.
Kinan tidak bisa melepaskan pandangannya dari Gita, “Saya akan menunggu kamu di ruang sidang.”
“Em, permisi, om. Di sini ada manusia dan lagi sekarat juga.” Ucap Olla, ia mengangkat tangan kanannya ke ataa, menunjuk dirinya dan Zee yang tergeletak seperti orang mati.
Zee mengangguk, ia tidak bisa menggerakkan kedua tangannya, “Tangan saya patah, dua kali jatuh dari tangga.”
Kinan menoleh, “Ambulan sedang perjalanan ke sini. Kalian tunggu aja. Om mau bawa Vivi dulu. Kasian anaknya mau mati.”
“Siap, om.” Olla mengacungkan ibu jarinya ke arah Kinan yang sudah berlari keluar demi menyelamatkan nyawa Vivi, lagi.
Flora mengerjap, menggaruk pipinya pelan, “Dan gue ditinggalin. Mana bokap gue belum dateng pula.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Endless Pain
Teen Fiction"If you're going through hell, keep going." - Winston Churchill. Cerita tentang Vivi dan Chika.