“Ini aneh.” Ucap Febi, ia meletakkan beberapa lembar foto di atas meja bundar, “Gue udah ngelacak hampir satu Jakarta, tapi gak nemuin foto Gita selain dari cctv rumah sakit.”
Olla mengambil salah satu foto, “Mungkin lo kurang teliti.”
Febi menatap malas ke arah Olla, “Lo ngeremehin kemampuan gue?”
“Bukan ngeremehin, tapi kan semua orang bisa ngelakuin kesalahan.”
Febi menghela napas panjang, ia mengambil remote kecil dan menyalakan salah satu layar yang berukuran besar, “Gue udah masuk ke sistem rumah sakit Citra Medika. Gue dapet data kondisi Vivi sama Fiony. Vivi dijadwalkan untuk operasi transplantasi Jantung lusa karena Dilated Cardiomyophathy. Gue gak tahu apa itu artinya.”
Olla mengangguk, ia menepuk pundak Febi, “Gapapa, kita bukan anak kedokteran jadi wajar kalo gak tahu.”
“Dan Fiony masih koma setelah operasi.”
Olla menarik salah satu laci meja, mengambil berkas warna cokelat lalu ia letakkan di atas meja, “Gue udah dapet laporan dari polisi. Fiony kena perdarahan otak karena box es krim. Kayaknya kepalanya kebentur box es krim. Posisinya juga gak pake seatbelt.”
Febi mengusap bawah dagunya, “Kasihan banget. Tapi kita gak perlu khawatir soal Vivi, tingkat keberhasilan operasi transplantasi jantung itu sekitar 95%, jadi kemungkinan besar Vivi berhasil.”
“Em, guys, gimana kalo kita khawatirin soal keselamatan kita sendiri?” tanya Zee, ia melihat kotak peringatan eror di layar komputernya dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Febi menoleh, bola matanya membulat sempurna, ia menarik kursi Zee ke belakang, “Apa yang lo lakuin?”
Zee menggeleng, “Gue cuma ngawasin cctv, gue gak pencet apa-apa.”
“Sial.” Gumam Febi, ia beralih mengganti posisi Zee, jari tangannya menari-nari di atas keyboard, mencoba menghentikan kotak informasi yang terus menerus menampilkan pemberitahuan ada seseorang yang mencoba masuk ke dalam sistemnya.
Olla berjalan menghampiri Febi, “Gimana?”
“Lagi gue usahain.”
“Di sini juga ada.” Ucap Zee, ia menunjuk beberapa komputer yang menampilkan kotak informasi yang sama.
Febi berdecak sebal, kedua tangannya mengepal, tidak mungkin ia bisa mengurus beberapa komputer sekaligus, “Sial. Sial. Kita udah ketahuan sama Gita.”
“Plan B?” tanya Olla.
Febi terlihat pasrah, kepalanya mengangguk, “Ya, plan B.”
“Zee, ambil gunting.” Titah Olla.
Zee mengambil gunting yang bentuknya hampir sama seperti gunting rumput lalu ia berikan kepada Olla, “Ini.”
Olla tersenyum miring, menggenggam gunting besar itu, “Gue udah lama pengen gunain ini.”
“Cepet, La. Kita gak punya waktu banyak.” Febi mencabut kabel dari stop kontak, “Zee, ambil tas, masukin semua berkas ke dalam tas. Kita pergi 5 menit lagi.”
“I-iya.” Zee mengeluarkan semua berkas dari dalam laci, pandangannya tanpa sengaja berhenti ke salah satu rekaman cctv, “Guys, ada orang di depan.”
Febi langsung menoleh, “Mana?”
Zee menunjuk layar yang merekam cctv yang terdapat di depan ruko mereka, “Itu.”
Febi memicingkan matanya, ia bukan hanya melihat satu orang saja, tapi ada beberapa laki-laki dengan pakaian formal dan juga seorang perempuan. “Itu Gita. Mereka udah di sini.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Endless Pain
Teen Fiction"If you're going through hell, keep going." - Winston Churchill. Cerita tentang Vivi dan Chika.