10.

916 159 45
                                    

Chika menghela napas lega begitu melihat Vivi berlari ke arahnya. "Oh, thank God, akhirnya lo inget kalo gue masih di sini."

Vivi tertawa kecil, "Lama, ya."

"Banget. Gila, lo. Gue nunggu di sini hampir 15 menit." Chika menyodorkan botol minum kepada Vivi, "Pergi ke mana, sih?"

"Ketemu seseorang." Vivi meneguk air minum itu kemudian berjalan bersama Chika menuju kantin.

"Here we go again." Gumam Chika.

Vivi menoleh, keningnya berkerut, "Apa?"

"Sampe kapan lo mau terus ngumpetin sesuatu, Vi?"

"Katanya lo gak maksa gue buat cerita?"

Chika menghentikan langkahnya, ia menatap ke arah Vivi, "Kayaknya gue harus cerita dulu, deh, biar lo juga cerita."

Vivi mengibaskan tangannya, menarik Chika agar kembali berjalan menuju kantin, "Ngobrol bikin laper. Gue gak tertarik."

"Dasar." Chika mendengus sebal, tidak punya pilihan selain mengikuti Vivi.

Beberapa orang yang menyadari kedatangan mereka berdua pasti mengira kalau mereka berdua adalah sepasang kekasih. Dan seketika mereka menjadi pusat perhatian, tapi sayangnya mereka tidak menyadari hal itu dan fokus memilih menu makan siang mereka.

"Weh, bos besar akhirnya turun takhta." Celetuk Flora begitu melihat Vivi menggandeng tangan Chika.

Chika menoleh, ia menyikut lengan Vivi, "Temen lo manggil, tuh."

"Gak usah diladenin, capek juga diem sendiri."

"Kenapa temen-temen lo manggil lo 'bos besar'?" Tanya Chika.

Vivi menggeleng, "Otak mereka emang dibawah rata-rata, jadi kayak gitu."

Bos besar adalah panggilan khusus dari teman-temannya Vivi yang tahu kalau Vivi memiliki kartu kredit berwarna hitam yang tidak akan pernah habis sampai kapanpun, dan hanya segelintir orang yang mengetahui hal itu.

Kebanyakan orang lain menganggap Vivi manusia seperti mereka, karena Vivi selalu menggunakan beat yang sudah lama dan sering mogok, dan juga mengenakan pakaian seadanya.

"Oh ya, tadi ada temen lo nyamperin gue, lo disuruh buka hape. Katanya ditelfon gak bisa." Ucap Chika.

"Hape gue mati. Bukan mati habis baterai, tapi mati yang beneran mati. Gak bisa dinyalain lagi."

"Trus sekarang lo komunikasi pake apa?"

Vivi mengeluarkan ponsel Nokia 5300 yang memiliki 3 warna yang berbeda dengan warna merah yang lebih dominan, "Ini."

Chika mengerutkan keningnya, mengambil ponsel dari tangan Vivi, "Ini bukannya pernah lo gunain waktu SMA?"

"Lo masih inget?"

Chika mengangguk, "Ya, iyalah. Hape lo rusak, trus lo ganti pake ini. Gue pikir udah lo buang ini."

Vivi tertawa kecil, "Ternyata ingatan lo kuat juga, ya."

"Gak mungkin soal elo, gue lupain." Chika mengembalikan ponsel itu kepada Vivi kemudian berjalan menuju salah satu kedai mie ayam, meninggalkan Vivi yang terdiam karena ucapannya.

Vivi mengerjap, apakah ia tidak salah dengar? Secara tidak langsung Chika mengatakan kalau selalu mengingat dirinya. Oh tidak, jantungnya terus berdetak tidak beraturan. Seharusnya Mamahnya menyuruh dirinya untuk mengecek jantungnya, bukan jiwanya.

"Vi, diem-diem bae. Napas napa?" Goda Flora.

Vivi menoleh, ia menghampiri meja yang berisi teman-temannya, mengeluarkan dompetnya dan memberikan selembar uang seratus ribuan, "Nih, beli jajan di kantin Fakultas Ilmu Bahasa, sana."

Endless PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang