Oh ya, sebelum baca part ini, tolong baca part sebelumnya, ya. Soalnya ada yang baru ditambah di bagian akhir.
"Aku gak tahu kalo Papah beneran bisa masak." Vivi duduk di kursi meja makan, melihat Kinan yang berdiri di belakang kompor yang menyala.
Kinan menoleh sekilas, menaikkan satu alisnya ke atas kemudian kembali memasak, "Papah dulu pengen ikut master chef, tapi gak jadi."
"Kenapa gak jadi?"
"Mending ngelamar Mamahmu daripada ikut master chef."
"Mending ngelamar Mamahmu daripada ikut master chef." Vivi mencibir, menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "Heleh, Mamah pergi aja Papah cuma diem. Basi, pah. Basi."
Kinan terkekeh pelan, "Papah gak berani kalo Mamahmu udah kayak gitu."
"Tapi kalo gini terus, bisa-bisa Mamah beneran pergi."
Kinan mematikan kompor, mengambil satu piring dan menuangkan kwetiau buatannya ke atas piring lalu ia letakkan di atas meja, "Papah tahu."
"Papah tahu, trus Papah diem aja?"
"Ya, mau gimana lagi?"
"Papah ternyata egois, ya." Gumam Vivi.
Kinan mengerutkan keningnya bingung, "Hah?"
"Papah egois!" Tegas Vivi, telunjuknya ia arahkan ke wajah Vivi, "Papah gak pernah serius kalo ada cek-cok sama Mamah. Papah selalu berusaha buat lari dari apapun yang jadi permasalahannya Papah. Papah itu gak cuma egois, tapi pengecut juga."
Kinan menatap tajam ke arah Vivi, "Language, young lady."
"Aku gak liat mobil Papah di depan, itu berarti Papah belum ambil mobil di hotel."
"Kamu sendiri yang bilang buat gak ambil kalo cuma sendirian."
Vivi mendorong kursi ke belakang lalu ia berdiri, "Itu tantangan, kalo Papah gak tahu."
"Maksudnya?"
"Maksudnya, ini masalah Papah sama Mamah. Harusnya Papah sendiri yang berani buat tanggung jawab, tapi yang Papah lakuin sekarang cuma duduk diem di rumah."
"Hah?"
Vivi mengusap kasar wajahnya, "Aku pikir ini sedikit menarik waktu liat Papah diem aja setelah berantem sama Mamah. Padahal harusnya Papah berusaha yakinin Mamah buat gak pergi. Aku gak tahu apa yang diributin, tapi reaksi Papah malah ngebuktiin kalo sikap yang diambil Mamah itu bener. Mungkin ada yang belum diceritain sama Papah ke aku."
"Kenapa kamu ngomong itu semua ke Papah?"
"Karena aku pengen Papah jujur soal diri Papah sendiri. Aku udah berusaha biar Mamah balik lagi ke sini, tapi Papah sendiri? Apa yang udah Papah lakuin selain bikin Mamah pergi?"
Kinan menatap Vivi sebentar, ia menurunkan lengan kemeja yang terlipat, "Papah mau ambil mobil."
Setelah mengucapkan itu Kinan langsung pergi dari hadapan Vivi, meninggalkan putri sulungnya sendirian di rumah dengan satu piring berisi kwetiau. Vivi melihat punggung Papahnya yang semakin menjauh, helaan napas panjang keluar dari bibirnya. Ia menjatuhkan pantatnya di atas kursi, menyandarkan punggungnya di sandaran, memejamkan matanya.
Vivi tidak mengerti, mengapa hanya dirinya saja yang peduli terhadap keberlangsungan keluarga ini? Ia juga tidak mengerti mengapa Papahnya tidak berusaha untuk menghubungi Mamahnya, menjelaskan semuanya dan meminta agar Mamahnya pulang ke rumah? Kenapa Papahnya hanya diam-diam saja seolah tidak terjadi apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Endless Pain
Novela Juvenil"If you're going through hell, keep going." - Winston Churchill. Cerita tentang Vivi dan Chika.