"Diem aja? Gak mau peluk atau cium gitu?"
Vivi gelagapan, ia meletakkan botol air minum sebelum jatuh ke bawah. Ia berdiri di depan Chika, kehilangan kata-kata. Ia sempat berpikir untuk melupakan Chika dan menerima kenyataan kalau Chika sudah pergi, tapi sekarang orang itu berdiri tepat di depannya dengan tubuh dan jiwa orang yang sama. Perasaannya tidak bisa digambarkan saat ini, ia bahagia sekaligus bingung.
Chika mengulum bibirnya, tersenyum melihat reaksi Vivi yang menurutnya sangat menggemaskan, "Yakin, diem aja?"
Vivi menggaruk pipinya pelan, "Gue--elo--em, gue--anu--gue...."
"Lo kenapa?" Chika melipat kedua tangannya ke depan dada, menunggu Vivi berani mengucapkan satu kalimat kepada dirinya.
"Gue, gue," Vivi menggantungkan kalimatnya, ia benar-benar tidak tahu harus mengucapkan apa. Pikirannya campur aduk, ia tidak bisa memikirkan satu hal yang benar.
Chika tertawa kecil, ia meraih tangan Vivi kemudian ia tarik untuk kembali duduk, "Duduk aja dulu, kalo pergi nyimpen batu kecil."
"Gue gak kebelet berak." Ketus Vivi, ia menarik tangannya.
"Akhirnya ngomong juga." Goda Chika, tangannya menusuk-nusuk pipi Vivi yang menggembung.
Vivi memalingkan wajahnya ke samping, "Bodo. Males ngomong sama hantu."
"Hantu?" Chika mengangkat kakinya lalu menghentakkan ke bawah, "Gue napak."
"Banyak hantu yang napak."
"Tapi gak ada yang secantik gue."
Vivi menoleh, "Lo jadi hantu, ngeselin lo gak ilang-ilang, ya."
"Gue bukan hantu, Vi."
"Buktiin."
Chika tersenyum miring, ia mendekatkan wajahnya, "Yakin? Lo pengen gue buktiin sekarang juga?"
Vivi membulatkan kedua bola matanya, ia mendorong tubuh Chika ke belakang, "Gak, makasih."
Chika menarik tangan Vivi, melepas gelang hitam yang melingkar nyaman di pergelangan tangan Vivi, "Lo jaga janji lo."
"Lo enggak."
"Kok bisa? Gue di sini."
Kepala Vivi menoleh ke samping, berlawanan dengan posisi duduk Chika, ia memainkan ujung jari-jari tangannya, "Lo pergi."
Chika terdiam sebentar, ia mengenakan gelangnya kembali, "Gue tahu kalo lo--"
"--lo pergi." Potong Vivi cepat.
"Vi, dengerin gue dulu."
Vivi menoleh, kedua bola matanya berkaca-kaca, "Apa yang harus gue dengerin selain kenyataan kalo lo pergi?"
"Vi, gue--"
Vivi beranjak dari kursinya, ia hendak berjalan meninggalkan Chika tapi langkahnya terhenti, ia berbalik, "Gue pengen ngasih tahu lo sesuatu yang mungkin gak pernah lo sadari selama lo pergi. Setiap gue buka mata dan liat gelang itu, gue langsung kepikiran tentang elo."
"Ya, karena ini punya gue dan kita punya janji, kan?"
Vivi menggeleng, "Gak, bukan itu maksud gue. Setiap gue keinget sama elo, hati gue rasanya sakit banget. Kayak ada yang sengaja ngegores pake silet. Berdarah terus menerus dan gak akan pernah sembuh."
Chika berdiri, melangkah ke depan satu langkah, "Please, Vi."
Vivi mengangkat tangan kanannya ke depan, ia mundur, menjaga jarak dengan Chika, "Lo pergi dan rasanya sakit, bahkan sampe sekarang masih kerasa sakit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Endless Pain
Teen Fiction"If you're going through hell, keep going." - Winston Churchill. Cerita tentang Vivi dan Chika.