"Saat-saat yang paling menyakitkan dan melegakan dalam hidup adalah saat di mana nyawa kita berada di ambang batas kematian." Vivi menegakkan tubuhnya, mengambil beberapa magnet berbentuk bundar lalu ia gabungkan dengan magnet lain di atas meja.
"Mengapa?"
Vivi melirik ke perempuan yang duduk di seberang meja lalu kembali fokus dengan magnetnya, "Itu saat di mana kita akhirnya bisa melepaskan beban dan bisa pergi dengan damai."
Siang ini Vivi terpaksa datang menemui seorang psikolog atas usulan Mamahnya yang khawatir dengan dirinya. Ia sudah mengatakan kalau dirinya baik-baik saja, tapi Mamahnya tetap memaksanya. Jadi ia datang sebagai bentuk formalitas saja, setelah itu ia bisa segera pergi dari tempat ini.
Vivi menggeser magnet yang sudah ia bentuk menjadi lingkaran, mengeluarkan satu magnet lingkaran berukuran besar dengan lubang di tengah, "Aku penasaran, kenapa kak Gaby mau gantiin kak Boby."
"Kamu lebih nyaman sama Boby?"
Vivi menggeleng, ia tersenyum tipis, "Aku bakal mastiin ini pertemuan terakhir. Setelah ini aku gak akan ke sini lagi."
"Kenapa kamu gak mau ke sini?" Gaby membuka berkas yang bertuliskan nama Vivi di atasnya, "Di sini tertulis kamu melewatkan semua sesi dari awal pertemuan."
"I'm not crazy, okay." Vivi menjatuhkan magnet berukuran besar itu ke magnet yang lain dan membuat magnet itu langsung hancur, "I'm fine."
Gaby menutup berkas itu, fokus ke Vivi, "Orang-orang yang datang ke sini, mereka bukan orang gila. Mereka ke sini karena mereka butuh bantuan."
"Jadi nanti aku keluar bakal dapet dana bansos sama sembako?" Tanya Vivi sambil sesekali tertawa.
"Vi, aku di sini buat bantu kamu."
"Ya, aku tahu, tapi aku gak butuh bantuan siapa-siapa. Aku gapapa, aku baik-baik aja." Vivi menoleh saat mendengar bunyi alarm yang menandakan sesinya sudah selesai, senyumnya melebar, "Time out, aku harus pergi. Terima kasih atas waktunya."
"Sebagian besar orang yang mengaku baik-baik saja, mereka tidak benar-benar baik-baik saja." Ucap Gaby.
Vivi memasukkan semua magnet ke dalam tasnya, "Aku termasuk sebagian kecil orang yang memang baik-baik saja."
"Kamu gak mau bicara soal Mira? Soal Lala? Apa yang kamu rasain ke mereka berdua?"
Gerakan tangan Vivi terhenti, ia menatap Gaby sebentar, "No, I don't want to talk about it."
"Kamu bisa cerita apa yang terjadi sama Mira."
Vivi tersenyum miring, "Sorry, I don't remember."
"Bagaimana dengan Lala? Kejadian itu baru terjadi dua hari yang lalu, mustahil kamu tidak mengingatnya."
"Ya, tapi aku gak mau cerita soal itu. Lagipula sesi sudah habis, kak Gaby punya pasien yang benar-benar membutuhkan pertolongan kak Gaby." Vivi beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju pintu.
"Aku masih di sini kalau kamu berubah pikiran."
"Thanks, but I'll pass." Ucap Vivi terakhir sebelum keluar dari ruang itu.
Vivi melihat jam tangannya, ia melewatkan kelas siangnya demi datang ke sesi bicara yang tidak penting. Entah apa alasan yang akan ia berikan saat masuk kelas nanti, kalau ia berbicara jujur pasti ia akan mendapat tatapan aneh dari teman-temannya.
Meskipun tanpa ia mengatakan kalau ia baru saja mendatangi ruang konsultasi, pasti teman-temannya juga tetap tahu tentang hal ini, karena ruang konsultasi ini berada di gedung fakultas Psikologi. Dan kebanyakan mahasiswa yang berada di ruang ini untuk mendapatkan semacam bantuan pencerahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Endless Pain
Teen Fiction"If you're going through hell, keep going." - Winston Churchill. Cerita tentang Vivi dan Chika.