"Hei-hei, kalian siapa?!" Teriak Zee saat samar-samar melihat bayangan dua orang menerobos masuk ke dalam rumahnya.
Ia hendak mengambil sapu atau tongkat atau apapun yang bisa ia gunakan untuk mempertahankan diri, tapi seseorang membekap mulutnya dan mendorong tubuhnya sampai membentur tembok. Matanya memicing, kini ia bisa melihat siapa dua orang yang berani masuk ke dalam rumahnya.
Febi meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya, "Ssstt, jangan berontak. Kita gak akan ngapa-ngapain elo."
Olla berlari kecil masuk ke dalam kamar yang sepertinya milik Zee, ia mengambil tas ransel warna hitam, memasukkan beberapa pakaian, satu buah ponsel dan laptop, kemudian segera berlari keluar.
"Gue bakal lepasin lo, asal lo jangan teriak. Kalo lo teriak, gue bakal pukul elo. Oke?"
Zee mengangguk, ia tidak punya pilihan selain menuruti ucapan Febi. Ia juga tidak mengerti apa yang sedang terjadi, tiba-tiba dua orang yang tidak ia kenal menerobos masuk ke dalam rumahnya dan mengambil barang-barangnya layaknya perampok.
"Apa-apaan ini?" Tanya Zee setelah bibirnya terbebas dari tangan Febi.
Febi tidak menghiraukan pertanyaan Zee, ia malah mengeluarkan ponselnya, "Lo tinggal di sini sama siapa?"
Zee menarik lengan Febi agar menghadap ke arahnya, "Ada apa, sih?"
Febi menghela napas panjang, menyimpan kembali ponselnya sebelum sempat ia gunakan, "Nyawa lo terancam. Lo harus ikut kami."
Zee mengerutkan keningnya, "Ikut kalian? Kenapa? Gue bahkan gak kenal kalian berdua."
"Lo harus ikut, sebelum Vivi sadar dan nyari elo." Ucap Olla.
"Ayo." Febi menarik tangan Zee agar ikut dengannya.
Zee menepis tangan Febi, ia mundur ke belakang dua langkah, "Gue gak pergi. Lagipula gue gak ngelakuin apa-apa."
"Itu masalahnya!" Tegas Olla. "Lo--"
Febi mengangkat tangan kanannya, meminta agar Olla untuk tenang dan membiarkan dirinya yang mengurus Zee, "Gita nawarin sesuatu ke elo, kan?"
"Waktu pameran? Ya. Gue cuma disuruh diem aja, dan dia ngasih gue duit."
"Well, sebenernya lo gak cuma diem. Tawaran itu ada jaminannya."
"Jaminan? Apa?"
"Nyawa lo." Jawab Febi, "Lo inget kecelakaan beberapa hari yang lalu? Itu semua rencananya Gita, tapi dia terlalu pinter sampai mutar balik fakta. Kalau Gita ketemu Vivi, habis nyawa kita semua."
"A-apa maksudnya? Kecelakaan itu direncanain? Kak Chika meninggal. Fio koma. Kak Vivi juga pasti terluka." Zee tertawa getir, kepalanya menggeleng, "It's not a joke, guys."
"Lo sekarang ikut apa enggak?"
"Gak, gue di sini."
Olla mengusap kasar wajahnya, "Kenapa lo ngeyel, sih?"
"Karena nyokap gue di sini!" Pekik Zee, ia menatap tajam ke arah Olla, setelah beberapa tarikan napas dalam, nada suaranya mulai tenang, "Nyokap gue sakit dan gue gak bisa pergi."
"Sakit?"
"Ayo gue tunjukin." Zee berjalan menuju salah satu kamar yang berada di depan kamarnya, terlihat seorang wanita tua berbaring di kasur sambil menatap layar tivi yang menyala dengan tatapan kosong.
Zee menoleh ke arah Febi dan Olla sekilas, "Tenang aja. Nyokap gue gak akan tahu kalian di sini."
Febi melihat beberapa botol obat berjajar rapi di atas meja, "Nyokap lo sakit apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Endless Pain
Teen Fiction"If you're going through hell, keep going." - Winston Churchill. Cerita tentang Vivi dan Chika.