22.

717 124 64
                                    

"Sumpah, ya. Kalian itu ke mana aja coba? Papah aja udah dateng 2 jam yang lalu." Omel Fiony saat melihat kakaknya dan calon pacar kakaknya yang baru saja datang ke Bandung.

Vivi mengusap telinganya yang terasa gatal, "Macet Fio, astaga bawel banget, sih."

Vivi melirik ke dalam pagar rendah halaman rumah Kakek Neneknya, ada sebuah mobil milik Papahnya yang terparkir di dalam. Ia tidak punya keinginan untuk masuk ke dalam rumah dan menemui kedua orang tuanya yang mungkin masih berdebat kecil di dalam kamar. Tugasnya sekarang hanya menjemput Fiony dan membawa pulang ke Jakarta.

Sebuah bayangan hitam muncul dari salah satu kamar di lantai dua, Vivi bisa mengetahui kalau itu bayangan Mamahnya, kemudian ada bayangan lain yang menghampiri Mamahnya. Di kamar itu orang tuanya beradu pendapat, entah cerita apapun yang diucapkan Kinan, ia harap masalah orang tuanya selesai malam ini juga.

"Fio," panggil Vivi.

Fiony yang hendak membuka pintu mobil, langsung berjalan ke samping Vivi, "Apa?"

"Masuk, gih. Tanya Opa atau Oma."

Fiony mengerutkan keningnya, "Hah? Aku? Kenapa gak kak Vivi sendiri aja?"

Vivi mengambil tas kain yang berisi ponsel Iphone terbaru lalu ia perlihatkan kepada Fiony, "Iphone 12 Pro Max."

Kedua bola mata Fiony berbinar, mulutnya sedikit terbuka, "B-buat aku?"

"Kalo kamu mau masuk."

"Aku masuk!" Seru Fiony, mengambil seribu langkah kembali masuk ke dalam rumah untuk melaksanakan perintah Vivi demi satu ponsel yang ia inginkan.

Chika menoleh, "Lo beli hape cuma buat nyuap Fio?"

Vivi meletakkan tas berisi ponsel itu di atas dashboard, kepalanya mengangguk pelan, "Ya."

Chika mengerjap, "Lo beli Iphone 12 Pro Max buat nyuruh Fiony nyari tahu soal orang tua lo?"

"Iya, Tamara."

Chika menggaruk pipinya yang tidak gatal, "Gue gak paham, kenapa lo lebih milih ngeluarin duit 20 juta daripada tanya langsung?"

"Dalam pengalaman gue, ngeluarin duit lebih mudah daripada ikut campur masalah orang lain. Percaya, deh, lo gak pengen tahu masalah apa aja yang ada di keluarga gue, keluarga besar gue."

"Serumit itu, kah?"

"Inget soal kematian kak Lala? Lo pikir orang tuanya cuma diem-diem aja trus ikhlas gitu?" Vivi melepas seatbelt dan menurunkan sandaran kursi, "Gak, mereka mungkin ngelakuin yang lebih fatal."

Chika mengerutkan keningnya, "Apa? Ngelakuin apa?"

Vivi memejamkan matanya, menjawab pertanyaan Chika sambil berusaha tidak tertidur, "Bantai keluarga sopir truknya."

"B-bantai? Keluarga lo, keluarga mafia?"

Vivi menoleh, "Bantai dalam artian yang halus. Kehilangan pekerjaan, kehilangan sekolah, finansial yang tersendat, dan lain-lain."

"Itu cara keluarga lo bales dendam?" Tanya Chika.

"Itu cara orang kaya bales dendam tanpa turun tangan. Jadi lo jangan pernah macem-macem sama orang kaya yang koneksinya di mana-mana, ntar tahu-tahu Tante Aya dipecat dari kerjanya trus lo sama Kiti gak bisa sekolah lagi."

Chika bergidik ngeri, mengusap kedua lengannya, "Ih, gue mending hidup sederhana tanpa masalah daripada kayak gitu."

"Tapi tenang aja," Vivi menepuk dadanya dua kali, "selama ada gue di sini. Lo gak akan kenapa-kenapa."

Endless PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang