Vivi duduk di salah satu kursi yang berada cukup jauh dari keramaian manusia, menatap nanar ke sekumpulan orang yang sedang berdansa di tengah-tengah ruangan diiringi lagu yang nyaman di telinga.
Semua orang bahagia. Atau seharusnya semua orang bahagia. Ini hari pernikahan Gracia dan Vino setelah ditunda dua kali karena beberapa rentetan kejadian tidak mengenakkan yang terjadi di keluarganya. Mulai dari kecelakaan yang dialami Lala dan sekarang kecelakaan yang dialami Vivi. Tapi untunglah semua berjalan lancar dan pernikahan bisa berlangsung meriah.
Semua orang ditemani oleh pasangan masing-masing, bahkan anak kecil yang baru menginjak kelas 1 SD sudah berani bergandengan tangan dengan lawan jenis sepantaran. Sedangkan Vivi duduk sendirian di kejauhan dan ditemani oleh botol air minum karena ia tidak boleh makan atau minum sesuatu kecuali mendapat ijin dari Mamahnya.
Vivi berdecak sebal, mengayunkan kakinya yang tidak mampu menyentuh lantai karena ia terlalu pendek, "Gue udah di pernikahannya kak Gre sama kak Vino, tapi lo gak dateng, Chik."
Bukan hanya Chika saja yang tidak hadir, tapi Fiony juga tidak bisa hadir karena masih belum sadar dari koma. Padahal Vivi sempat berangan-angan kalau nanti ia akan datang bersama dengan Chika dan Fiony, kemudian ia akan melihat pertunjukan perebutan bunga yang dilempar oleh Gracia.
Sungguh malang sekali nasibnya.
Vivi menghembuskan napas panjang, kepalanya mendongak, "Dear life, when I say 'can my day get any worse?' it was a sarcasm, not a challenge."
Vivi menunduk, tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Orang-orang akan melihat dirinya sebagai pemenang karena tidak ada yang mampu mengalahkan dirinya lagi, tapi ia melihat dirinya sebagai seorang pecundang. Ia sudah tidak memiliki apa-apa selain jahitan di dadanya, hidupnya ditopang oleh jantung orang yang sudah melukai teman-temannya.
"Mau makan sesuatu?"
Vivi menoleh, Veranda duduk di sebelahnya, Mamahnya terlihat sangat cantik hari ini dengan balutan gaun selutut, "Aku gak laper."
"Kamu sakit?" Veranda menyentuh kening Vivi kemudian ia menggeleng pelan, "Kamu gak sakit."
Vivi mengerucutkan bibirnya, masih mengayunkan kedua kakinya, "Aku emang gak sakit."
"Trus kenapa sedih? Tadi ditanyain Gre sama Vino, mereka khawatir sama kamu."
"Aku setiap hari sedih, Mah. Aku cuma--hari ini aku gak punya energi buat nutupin kesedihanku." Jawab Vivi.
Veranda tersenyum tipis, menggenggam tangan Vivi, "Kamu pasti bisa ngelewatin ini."
"Aku tahu." Kepala Vivi kembali menunduk, menatap kedua kakinya, "Tapi gak akan sama lagi."
"Kamu pernah berada di posisi ini dan kamu bisa cari jalan keluar sendiri. Sekarang kamu kembali berada di posisi ini, Mamah percaya kamu bisa nemuin jalan keluarnya."
Vivi sangat paham hal itu, seburuk apapun pilihan yang ia buat, pasti ia tidak akan bersedih dalam kurun waktu yang lama. Tapi mengingat kalau ia harus bertemu dengan orang baru lagi kemudian memperkenalkan diri lagi kemudian terbuka lagi dan akhirnya bercerita lagi. Ia sudah lelah dengan itu semua.
Veranda menepuk pundak Vivi sekali, "Ayo senyum. Kasihan Gre sama Vino jadi sedih."
Vivi menoleh, ia memaksakan bibirnya membentuk senyuman yang canggung, "Nih, udah."
"Nah, gitu dong. Anak Mamah memang pinter." Veranda mencubit pipi Vivi dengan gemas, ia tertawa kecil kemudian menunjuk ke depan, "Mamah ke sana dulu, ya. Takut Papahmu kecantol janda."
Vivi mengangguk, "Iya."
Vivi melihat Mamahnya yang menjauh dari dirinya, pandangannya beralih menatap gelang hitam yang melingkar di pergelangan tangannya. Ia menyentuh gelang itu, janjinya sudah terpenuhi. Ia sudah datang ke pernikahan Gracia dan Vino, tapi sekarang ia tidak tahu harus mengembalikan gelang ini kepada siapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Endless Pain
Teen Fiction"If you're going through hell, keep going." - Winston Churchill. Cerita tentang Vivi dan Chika.