"Kak Vivi udah jauh lebih baik daripada sebelumnya, mungkin itu karena ada kak Chika." Fiony meletakkan gelas berisi air putih di atas meja. "Atau setidaknya itu yang aku tahu. Mamah sama Papah juga keliatan seneng waktu kak Vivi sedikit terbuka."
"Gimana sama kamu sendiri? Apa yang kamu rasain sekarang?"
Fiony mengangkat kedua bahunya, "Much better, I guess."
"Jadi kamu senang saat ada perubahan terhadap Vivi?"
Fiony mengangguk, "Aku pikir semua orang juga seneng waktu liat anggota keluarganya lebih terbuka."
"Kalo kamu? Apa kamu terbuka dengan keluargamu sendiri?"
Fiony terdiam sebentar, kedua tangannya masih menggenggam erat gelas itu, perlahan kepalanya menggeleng, "Gak."
"Kenapa? Kamu menginginkan kalau Vivi terus terang kepada kamu atau orang tuamu, tapi kenapa kamu sendiri tidak terus terang?" Tanya Gaby.
"Aku gak tahu."
Ini bukan pertama kalinya bagi Fiony mengunjungi Gaby untuk konsultasi, sejak kejadian yang menimpa Mira dan membuat keluarganya sedikit tergoncang, ia disuruh Mamahnya untuk menemui psikolog dengan harapan jiwanya dapat perlahan pulih.
Selama 6 tahun terakhir, hanya dirinya saja yang menjadi murid teladan bagi Gaby. Apapun yang ia rasakan dan sulit ia ungkapkan pada keluarganya, akan ia salurkan kepada Gaby. Ia sadar kalau ia perlu berterus terang kepada keluarganya, tapi ia rasa Gaby adalah seseorang yang tepat untuk mendengarkan ceritanya.
"Apakah kejadian itu masih menganggumu?"
"Ya."
"Apa kamu mau menjelaskan hal apa yang mengganggumu?"
Fiony memutar gelas yang terletak di antara kedua telapak tangannya, "Aku masih inget teriakan histeris orang-orang. Suara sirine ambulan dan mobil polisi. Waktu itu aku kecil, jadi aku bisa nerobos ke depan. Apa yang aku lihat waktu itu gak akan pernah bisa aku lupain. Darah, tubuh, semuanya. Aku cuma bisa berdoa agar aku amnesia dan ngelupain kejadian itu."
"Yang sebenernya pengen kamu lupain kejadian itu atau perasaan saat melihat kejadian itu?"
Fiony menatap ke arah Gaby, "Dua-duanya."
"Kenapa kamu pengen lupain itu?"
"Setiap kali inget kejadian itu, kepalaku rasanya mau pecah. Suara teriakan terus berputar-putar dikepalaku. Bayangan tentang darah dan tubuh kak Mira. Seolah-olah hal itu mencekikku sampai aku gak bisa napas."
"Seperti sedang tenggelam?"
"Ya."
"Kalau kamu tenggelam, apa kamu akan berusaha untuk naik ke permukaan?"
Fiony menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, "Apapun yang dilakuin, itu reflek. Seseorang kalau tenggelam maka secara tidak sadar akan menggerakkan seluruh tubuhnya untuk berusaha naik ke permukaan, tapi sebenarnya gerakan-gerakan itu hanya membuat tubuhnya semakin tenggelam dan terus tenggelam."
"Kalau kamu sendiri?"
"Aku akan tenang dan rileks sehingga tubuhku akan naik ke permukaan."
"Jadi kamu sadar?"
"Ya."
"Kalau begitu kenapa kamu tidak memberi tahu apa yang kamu rasakan? Apakah ada sesuatu yang mengganjal?"
"Sebenarnya gak, aku cuma ngerasa kalau ini belum tepat waktunya."
"Kenapa?"
Fiony menundukkan kepalanya, "Kak Vivi baru aja jatuh dari tangga, tangan kirinya retak dan sekarang dia di rumah. Selama ini Papah sama Mamah selalu fokus sama kak Vivi karena kak Vivi udah ngelewati dua kejadian yang hampir sama dan mereka khawatir kalau kak Vivi ngelakuin sesuatu yang buruk."
KAMU SEDANG MEMBACA
Endless Pain
Teen Fiction"If you're going through hell, keep going." - Winston Churchill. Cerita tentang Vivi dan Chika.