Kematian hanya sebuah fase yang menarik sekaligus menakutkan. Fase yang nantinya akan membuka gerbang kehidupan, yang menurut orang-orang, selanjutnya setelah kematian. Tidak ada yang benar-benar tahu apakah ada kehidupan setelah kematian atau tidak, hanya orang-orang yang sudah mengalami kematian yang bisa mengetahui hal itu.
Tapi tidak ada orang yang bisa kembali setelah berada di fase kematian, sehingga hal itu akan selamanya menjadi misteri.
Lima hari berlalu sejak kejadian naas yang menimpa 3 perempuan yang seharusnya masih memiliki waktu yang lebih lama. Tidak ada perubahan yang signifikan selain satu orang meninggal, satu berada dalam koma, dan satunya lagi masih dalam keadaan belum sadar. Semua usaha sudah dikerahkan, tapi inilah hasil terbaik yang bisa mereka capai.
Kinan berjalan masuk ke sebuah ruangan sambil membawa kotak bekal makanan. Istrinya sedang hamil muda, kejadian ini membuat Veranda terguncang dan bisa jadi mereka akan kembali mengalami keguguran seperti dulu. Jadi sebagai suami, ia akan terus berada di samping Veranda dan memastikan semua kebutuhan Veranda terpenuhi.
Veranda duduk di kursi sebelah kanan ranjangnya Vivi, melihat keadaan anak pertamanya yang tidak jauh berbeda dengan anak keduanya maupun dengan anak tetangganya. Tangannya sedari tadi menggenggam tangan kanan Vivi sambil mengajak Vivi berbicara.
"Sayang," Kinan menyentuh pundak Veranda, memperlihatkan bekal makan yang ia bawa, "sarapan dulu, yuk."
Veranda menggeleng, ia masih menggenggam tangan Vivi, "Aku mau di sini."
"Tapi kamu belum makan, lho."
"Aku mau di sini."
Kinan menghembuskan napas panjang, meletakkan kotak bekal di atas meja kemudian duduk di samping Veranda, menggenggam tangan Veranda sekaligus tangan Vivi, "Vivi, kamu harus bangun biar Mamahmu mau makan. Kamu harus bangun, Vi."
"Mamah di sini, Vi. Mamah gak akan pergi lagi."
Kinan meraih tangan Veranda, "Kamu makan dulu, ya. Biar aku yang jaga Vivi."
"Aku gak mau pergi."
"Kamu makan di sini aja. Ayo." Kinan menarik Veranda perlahan, mengajaknya agar duduk di sofa yang tersedia. Mengambil kotak bekal dan ia berikan kepada Veranda, "Ini. Broccoli and baby corn stir-fry ala Kinan."
Veranda menatap kotak bekal makanan, "Harusnya aku gak pergi. Harusnya aku--"
"--hei," Kinan berjongkok di depan Veranda, kedua tangannya menyentuh paha Veranda, "ini bukan salahmu. Jadi jangan nyalahin diri kamu sendiri."
"Tapi aku yang pertama kali pergi. Aku juga yang nolak tawaran Vivi buat pulang ke rumah."
Kinan menarik kursi menggunakan kakinya lalu meletakkan bekal makanan di atas kursi itu, "Semua yang terjadi itu bukan salah siapa-siapa. Lagipula nyalahin diri sendiri gak akan mengubah apa-apa. Semua udah terjadi."
"Aku takut." Lirih Veranda, air matanya mulai menetes. Padahal ia sudah sering menangis, tapi seolah-olah air matanya tidak pernah kering.
Kinan mengusap pipi Veranda dengan lembut, "Jangan takut. Jangan nangis. Aku di sini. Aku gak akan pergi atau ngelepas kamu pergi. Aku udah janji sama Vivi."
"Kenapa kamu biasa aja? Apa kamu gak sedih atau marah?"
"Tentu saja aku sedih. Mereka anakku, anak kita. Tapi kita harus kuat, untuk Vivi dan untuk Fio." Kinan mengambil kotak bekal dari atas kursi lalu ia berikan kepada Veranda, "Sekarang makan dulu, ya."
Veranda mengangguk kecil, "Ya."
Kinan tersenyum, ia kembali duduk di samping Veranda, "Kamu masih mual?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Endless Pain
Dla nastolatków"If you're going through hell, keep going." - Winston Churchill. Cerita tentang Vivi dan Chika.