Satu hal yang dilihat Chika saat ia membuka kelopak mata adalah wajah Vivi yang masih tertidur. Senyumnya terbit, melihat wajah Vivi dari jarak sedekat ini membuatnya entah mengapa merasa senang dan tenang. Biasanya kalau mereka sangat dekat seperti ini, Vivi langsung mendorong tubuhnya agar menjauh, tapi sekarang ia bisa menghabiskan ribuan detik untuk memandangi wajah lugu Vivi.
Kepalanya sedikit terangkat, ada Christy yang tertidur di belakang punggung Vivi. Rumahnya kosong, Aya sedang ada urusan di luar kota sehingga mau tidak mau Christy harus ikut dengan dirinya. Lagipula semalam Christy mudah sekali untuk tertidur setelah makan pizza dalam takaran yang sangat banyak bagi anak kecil.
Chika menyibakkan selimutnya dengan hati-hati agar tidak membangunkan Vivi dan Christy, tapi ia merasakan sebuah tangan melingkar di perutnya, menahan dirinya agar tidak pergi ke mana-mana. Ia menoleh ke belakang, kedua mata Vivi masih terpejam dan ia mendengar dengkuran halus dari Vivi. Mungkin Vivi reflek memeluknya.
“Vi, lepas, ya. Gue mau turun.” Bisik Chika sambil perlahan menyingkirkan tangan Vivi dari tubuhnya.
Vivi semakin mengeratkan tangannya, menarik Chika agar kembali berbaring, “Jangan pergi. Jangan pergi. Jangan pergi.”
Chika mengerutkan keningnya, menggerakkan tangannya di depan wajah Vivi, “Ngigo?”
“Jangan pergi.” Suara Vivi terdengar sangat pelan hampir tidak bisa terdengar, beberapa saat kemudian air mata menetes dan membuat Chika semakin bingung.
“Vi,” panggil Chika, ia menepuk pipi Vivi pelan, mencoba membangunkan Vivi yang sepertinya sedang mimpi buruk.
“Jangan pergi. Jangan pergi. Jangan pergi. Jangan pergi.”
Chika menghadap ke arah Vivi, memeluk tubuh Vivi dan tangannya mengusap punggung Vivi dengan lembut, “Gue di sini. Gue gak akan pergi.”
Chika tidak tahu apa yang ada di mimpi Vivi saat ini, tapi ia bisa mengira-ngira seperti apa mimpi yang dimiliki Vivi. Kematian Mira, Lala, mengalami kecelakaan, hampir kehilangan dirinya, dipermainkan oleh orang lain, itu semua bisa membuat seseorang menjadi gila. Jadi kalau Vivi tidak berubah seperti orang gila saat hari biasa, itu berarti Vivi menjadi gila saat menutup mata atau saat tertidur.
Ia juga menyadari satu hal. Ia sudah menyakiti Vivi, ia melakukannya meskipun ia berjanji untuk menjaga Vivi, tapi ternyata yang ia lakukan malah sebaliknya. Ia membohongi Vivi selama beberapa bulan terakhir yang mengakibatkan Vivi mendapat donor jantung dari Gita.
Dirinya dan Vivi jauh lebih dekat daripada sebelumnya, tapi ia merasa hubungan mereka sedikit renggang. Mungkin karena Vivi sudah mengatakan kalau tidak lagi percaya kepada dirinya, mungkin itu juga alasan Vivi semakin urung untuk mengungkapkan apa yang dirasakan selama ini.
“Maaf, Vi.” Lirih Chika, ia mengecup puncak kepala Vivi cukup lama. Ia merasa bersalah atas apa yang ia lakukan terhadap Vivi selama ini dan ia tidak tahu harus melakukan apa supaya semuanya kembali seperti semula.
Tok. Tok. Tok.
Veranda mengetuk pintu kamarnya Vivi, “Vivi, bangun. Ada Flora di bawah. Kamu harus olahraga hari ini.”
Chika menarik tubuhnya, ia mengusap pipi Vivi, “Hei, bangun. Dicariin Flora.”
Vivi mengerjap beberapa kali, matanya memicing, kepalanya mendongak, “Chika?”
“Sana bangun, ada Flora.”
Vivi melepaskan tangannya dari tubuh Chika, ia mengusap kelopak matanya dan bingung karena separuh wajahnya basah, “Gue ngiler?”
Chika mengangguk, “Iya, lo bikin bendungan di bantal.”
“Gapapa, ntar beli bantal baru.” Vivi meregangkan kedua tangannya ke atas, ia menoleh ke samping dan melihat Christy yang masih tertidur di sebelahnya. Ia langsung memeluk tubuh Christy dan mengecup pipi Christy berkali-kali, “Bangun, Kiti. Bangun.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Endless Pain
Novela Juvenil"If you're going through hell, keep going." - Winston Churchill. Cerita tentang Vivi dan Chika.