13.

847 160 36
                                    

"Apa masih sakit?" Tanya Chika sambil meletakkan plastik berisi es batu di atas pergelangan kaki Vivi.

Vivi menggeleng, "Gak terlalu."

Setelah adegan mereka berciuman tadi di ruang studio yang kebetulan sudah sepi karena semua mahasiswa, kecuali Vivi, memilih untuk beristirahat di rumah masing-masing, Flora datang sambil membawa plastik berisi es batu yang didapatkan dari warung makan depan kampus.

Chika melihat pergelangan kaki Vivi yang membengkak, "Kok bisa kesleo?"

"Karena gue jatuh."

"Kok bisa jatuh?"

"Karena gue gak hati-hati."

"Kok bisa gak hati-hati?"

Vivi menatap malas ke arah Chika, tanya jawab seperti ini tidak akan pernah mencapai titik temu. Chika akan terus menanyainya dengan mengulangi jawabannya sampai nanti Chika menemukan pertanyaan yang lebih menarik.

"Karena lo ngusir gue dan bikin gue kepikiran terus." Jawab Vivi.

"Kok bisa gue ngusir elo?"

Vivi mencubit pipi Chika dengan gemas, "Tanya sama diri lo sendiri. Kenapa lo ngusir gue?"

Chika mengerucutkan bibirnya, "Soalnya gue pikir lo pembunuh, kan gue takut sendiri, mana Mami gak ada di rumah, gue juga gak bisa bela diri. Adanya cuma sapu doang."

"Kalo diliat-liat, muka lo kayak pantat ayam, ya."

Chika memegang pergelangan kaki Vivi yang membengkak dengan sekuat tenaga. "Bilang apa tadi?"

Vivi memejamkan matanya, menahan sakit di kakinya, "A-ampun."

"Dasar." Chika mendengus sebal, membenarkan posisi plastik berisi es batu di atas pergelangan kaki Vivi.

"Aduh, sakit banget." Vivi pura-pura mengusap air matanya.

Chika pindah menjadi duduk di sebelah Vivi, "Lo jatuh dari kapan?"

"2 hari yang lalu."

"Apa ada kaitannya sama kejadian waktu SMP?" Tanya Chika.

"Chik, gue gak yakin mau bahas soal itu sekarang."

Chika menoleh, "Kenapa?"

Vivi mengambil plastik berisi es batu dari kakinya lalu ia letakkan di atas meja, ia melihat kakinya yang sedikit lebih baik daripada sebelumnya, "I'm not ready. Not yet."

"Listen to me," Chika menarik dagu Vivi agar mau menatap dirinya, "you have to let someone to help you."

"I don't need any help. I'm fine."

"Gak usah pura-pura lagi. Lo gak baik-baik aja, gue tahu."

Vivi menghela napas panjang, "Lo beneran pengen tahu?"

Chika mengangguk, "Ya, gue udah skip kelas gue, lari dari kantin fakultas hukum sampai ke sini. Gue pengen denger lo cerita, gue gak mau lo mundur lagi."

"Ceritanya panjang, gue takut lo bakal bosen."

"Apa lo pernah liat gue bosen waktu sama lo?" Vivi menggelengkan kepalanya sebagai jawaban dari pertanyaan Chika. "Karena gue nyaman sama elo, jadi gue gak pernah bosen."

Vivi tersenyum tipis, kepalanya mendongak, "Itu terjadi beberapa beberapa bulan sebelum lo pindah. Gue punya tetangga, namanya Mira, seumuran sama gue, orangnya asik, suka bercanda, suka naik motor walau masih SMP, suka beli kinder joy tapi cuma diambil mainannya, suka main magnet, cita-citanya jadi arsitek, tapi sayangnya dia jarang cerita soal kondisinya. Waktu itu gue gak sadar, kalo dia jarang cerita."

Endless PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang