Bagian 7

48 33 2
                                    

Lisa agak bingung, siapa perempuan super cantik yang umurnya sekitar tiga puluhan sedang membantu bibi menata ruang tamu. Ia memberikan senyum, Glen dan Rio masuk tanpa menyapa siapa pun. Sebentar, ia ingat, perempuan ini yang waktu itu digandeng papa Rio saat Tante Hana bunuh diri. Jadi, sekarang beliau sungguhan tinggal di sini.
Lisa mematung di ambang pintu, menelisik pergerakan mama baru Rio. Bahkan netra Lisa tidak bisa berhenti mengikuti tangan wanita itu memindahkan keramik mahal ke lemari kayu super elegan, memastikan keramik perfeksionis di tempatnya.
“Eh Nak Lisa. Ayo masuk.” Bibi membuyarkan lamunan.  Lisa mengangguk, duduk di kursi ruang tamu. Mama baru Rio masih fokus pada koleksi keramik super mahal itu.
“Bibi bikinin minum, dulu.”
“Enggak usah, Bi, nanti Lisa ambil sendiri kalau haus,” tolak Lisa. Bibi kembali membantu mama baru Rio memindahkan keramik.
Sepertinya beliau tidak terlalu suka dengan kedatangannya. Hanya senyum di awal saat masuk. Sekarang tidak peduli dengan siapa yang bertamu. Tahu begini ia tidak akan ikut dengan mobil Glenn tadi.
“Kita belajar di teras, ayo.” Rio memegang beberapa buku.
“Kenapa gak di atas?” sela mama barunya. Rio menarik tangan Lisa keluar. Tidak menjawab pertanyaan beliau. Bibi malah tak lepas pandang saat Rio menggandeng tangan Lisa.
Mereka duduk di teras, tempat lebih aman dari gangguan Glenn. Kamar mereka sama-sama di atas. Yang ada Glenn merecoki waktu berduanya dengan Lisa. Rio membuka halaman yang dilipat. Benar, itu PR yang dikumpulkan besok. Ia serius mendengarkan Lisa mengerjakan soal sambil mengoceh. Mana mungkin Rio memerhatikan tangan Lisa menunjuk soal dan menulis rumus, ia melihat wajah Lisa yang sama seperti waktu bertemu.
Alasan Rio membawa gadis itu ke rumahnya bukan untuk belajar. Sekolah reot itu menjadi tempatnya menerima ilmu sekarang. Banyak hal soal Lisa yang belum ia tahu. Ane, Joana, dan Valery misalnya. Mereka membuli habis-habisan Akbar dan Lisa, mengatakan kalau Lisa pembunuh. Hal paling menarik sekarang.
“Yang perlu kamu liat itu soalnya, buka aku, Rio.”
“Aku udah ngerti, kok. Males aja ngerjain sendiri. Ada lo, ngapain gue capek nulis,” jawab Rio.
“Ya terus dengan kamu liatin  aku kayak gitu, dua belas soal ini bakal selesai?” tanya balik Lisa. Rio diam, tersenyum tetap melihat Lisa yang menyalin tulisan ke buku tulis.
Mamanya melihat dari dalam. Senyum itu pertama kali dilihat selama di rumah ini.
“Nak Lisa itu satu-satunya orang yang bikin Nak Rio tersenyum. Kenapa gak dari dulu mereka bertemu, jadi Nak Rio gak perlu stres sampai mabuk-mabukan gara-gara Nyonya Hana dan Tuan Wijaya.”
“Rio sering mabuk?” tanya nyonya baru.
“Iya. Nak Glenn yang sering bawa Nak Rio pulang tengah malam. Gak pernah yang namanya senyum apalagi ngomong sama orang.”
***
Belajar serius hanya sepuluh menit di awal. Sepanjang satu jam lebih, Lisa mengerjakan tugasnya, sekalian tugas Rio dan Akbar. Mereka satu kelas, jadi tinggal menyalin. Akbar pulang pukul sebelas malam, belajar di tempat kerja hal yang mustahil, toko roti Ane tidak pernah sepi, jadi Akbar kesulitan mengatur waktu.
“Udah selesai, aku pulang,” pamit Lisa sambil memasukkan buku.
“Gue ke kamar mandi dulu. Setelah ini gue anter.”
Posisi sendirian seperti ini lagi. Rasanya ingin cepat pulang. Glenn bahkan tidak tampak sejak mereka masuk rumah. Rio malah ngacir masuk beralasan ke kamar mandi.
“Tante lihat, Rio gak lepas senyum sama kamu. Ayo minum dulu.” Mama baru Rio menyodorkan gelas berisi jus jeruk.
“Terima kasih, Tante.” Lisa semakin gugup.
“Nama Tante, Karin. Lisa, Tante selalu gagal buat sekadar natap mata Rio. Sering ngerasa gagal jadi seorang ibu.”
Lima belas menit Lisa bercengkerama dengan mama baru, Tante Karin. Sebelum Rio datang menariknya tanpa peduli sedang mengobrol. Juga tanpa pamit.
Mobil keluar gerbang. Rio belum membuka suara, sebenarnya antara memang sifatnya yang jarang ngomong atau marah karena Tante Karin duduk bersamanya di teras.
“Glenn itu anaknya Tante Karin?” Ia mencoba mengisi keheningan.
“Iya.”
“Jadi kamu sama Glenn sekarang saudara?”
“Iya.”
“Tante Hana sama Tante Karin-“
“IYA. Mama meninggal karena Tante Karin nikah sama papa. Padahal mereka belum cerai. Puas? Itu ‘kan yang kamu mau tanyain dari awal. Soal gue ngediemin Glenn, gue pindah sekolah karena itu. Gue stres, mama sama papa selalu berantem, sampai mama bunuh diri. Lo tau? Otak gue nyuruh gue buat bunuh diri juga. Tapi lo, alasan gue gak ngelakuin itu.”
Mobil menepi, mata Rio merah menatap Lisa di sampingnya.
“Maaf, aku cuma mau kamu berubah.”
“Maksud lo jadi fake person.”
“Tante Karin bilang, ada yang harus kamu ketahui soal kebenaran.”
“Jangan jauh-jauh ke masalah gue, Lis. Lo belum jujur kenapa satu sekolah manggil lo dengan sebutan pembunuh. Lo bunuh siapa???”
“Aku turun sini aja. Aku bisa pulang sendiri. Terima kasih.” Lisa mengalihkan topik pembicaraan.
“Fuck! Lo aja gak mau jawab! Salah kayaknya gue beruntung kenal sama lo.” Rio membuka kunci pintu. Lisa sesenggukan keluar dari mobil.
Rio berkaca-kaca melihat punggung Lisa semakin menjauh. Bagaimana, otaknya benar-benar panas dengan banyak kenyataan di luar perkiraan. Ia tidak sepintar Glenn yang gampang meluluhkan hati wanita, mati rasa hatinya terhadap semua orang. Bahkan untuk membuat Lisa tersenyum saja gagal.
***
“Mama denger Rio sering mabuk dulu, bener?” tanya mama langsung saat Glenn menyendok suapan pertama makam malam.
“Mama tahu dari siapa, Rio orangnya baik, kok. Gak bener berita itu.”
“Glenn, sekarang bukan waktunya membela Rio. Mama musti perbaikin hubungan ini, dia butuh sandaran. Kamu harus jujur soal adik kamu.”
“Dia putus asa. Gak pernah dipeduliin sama Tante Hana dan papa. Bahkan telepon dari sekolah aja, papa gak angkat. Tapi sejak kenal Lisa, dia gak mau lagi, Ma. Lisa kayaknya yang bawa pengaruh besar.”
“Kamu cari dia ya sekarang. Dari siang tadi belum pulang. Mama udah hubungin tapi gak ada respons.”
Glenn mengangguk. Beberapa minggu punya keluarga utuh, sifat papa sudah tampak. Ternyata pria itu jarang pulang karena urusan kantor. Tugasnya mencari Rio sekarang, pantas anak itu menjadi sangat dingin dan pemarah. Selesai makan, Glenn pergi mencari Rio. Lisa sudah memberitahu kalau tadi terjadi cekcok dan sekarang tidak bersama Rio. Glenn menjemput Lisa, mencari di tempat yang biasa Rio datangi.
“Kamu alasan aku tetap bertahan dalam kondisi terburuk sebagai pembunuh saat ini.” Lisa langsung menahan mata pisau saat Rio sudah siap menancapkan benda itu menuju perutnya.
Glenn mematung di belakang mereka. Sepertinya benar, ada ikatan batin antara Rio dan Lisa. Harapannya pupus, bukan, lebih tepatnya harus mengalah untuk mendapatkan hati Lisa. Lisa saja tahu tempat ini, jembatan kumuh yang jarah dilalui orang. Lihat, mata pisau itu merembes darah dari jari Lisa.
Rio melepaskan pisau, langsung memeluk Lisa. Ia tahu gadis itu akan datang. Padahal sudah jelas semua salahnya, membentak, mengumpat, dan membuat gadis ini sesenggukan keluar dari mobil. Tetapi lihat, hatinya tulus, mengambil risiko.
***
Pagi ini Rio langsung masuk mobil Glenn. Padahal ada satu jam lebih untuk sampai sekolah. Juga bisa untuk memesan taksi online. Badannya terasa pegal, lagi pula Glenn tidak ada pekerjaan, biar saja menjadi supir antar jemput sekolah sekarang. Glenn juga heran saat membuka pintu mobil. Rio memejamkan mata sambil melipat kedua tangan di belakang leher. Tak banyak bicara juga, mobilnya segera membaur di jalan raya.
“Lo kalau mau bunuh diri, tengah malem kek. Yang orang bener-bener gak tahu. Berhasil, kalau masih jam tujuh malam, di jembatan, itu namanya caper.”
Rio tetap memejamkan mata, tidak merespons.
“Atau beli racun, campurin sendiri ke makanan-“
“Gue emang caper sama Lisa, puas lo,” saut Rio. Telak, Glenn diam.
Sampai di depan sekolah. Joana mematung di sana. Gara-gara Rio, semalam acara nge-date dengan Joana gagal. Pasti gadis SMA itu mengomel, berujung ngambek. Malas sekali menghadapi seperti ini. Rio turun dari mobil, Glenn juga ikut turun, mau tidak mau mendekati Joana. Benar saja, muka cemberut sudah ditunjukkan.
“Kenapa cemberut, sih? Cantiknya hilang, deh. Liat matahari juga redup gara-gara kamu cemberut,” goda Glenn.
“Dua jam aku kayak orang bingung gak punya temen semalam, Glenn.”
“Maaf, ada urusan mendadak semalam. Aku janji nanti malam kita beneran jalan, ya. Aku jemput. Oke.”
***
“Ane, kamu dipanggil ke ruang BK sekarang,” kabar salah seorang siswa. Seluruh kelas mendadak diam. Valery dan Joana menatap bersamaan, Ane menggeleng. Perasaan tidak melakukan kesalahan.
Biasanya jika Ane dipanggil, Joana dan Valery akan ikut juga. Kali ini hanya dirinya. Sepanjang jalan masih berpikir kesalahan apa. Sampai di ruang BK. Ada Rio duduk menyilangkan kaki. Bu Riva menatap layar gawai serius.
“Saya melakukan kesalahan apa, ya, Bu?” tanya langsung Ane.
“Lihat ini.” Bu Riva menyodorkan gawai. Ane menerima sambil melihat video. Berisi rekaman dirinya sedang menumpahkan air mineral ke Lisa tempo hari.
“Lisa lagi yang kamu buli. Sekarang ibu tidak ada toleransi, Ane. Kamu di skors, Ibu sudah mengirim video itu ke papa kamu, sekaligus memberitahu untuk tiga hari ke depan, kamu sekolah di rumah.”
“Ngaco nih video, Bu. Siapa orangnya. Ngaco banget ngada-ngada bikin video gini,” protes Ane.
“Gue, kenapa?” saut Rio santai.
Bulan lalu Akbar yang melapor ke BK, sekarang Rio. Mereka ini sadar gak sih kalau seorang pembunuh seperti Lisa pantas diperlakukan kayak gitu. Ah, ngedumel sendiri tetep aja papa bakal marah, apalagi kesalahannya sama. Keluar dari ruang BK. Rio tidak berbicara, ekspresinya juga sama, judes. Mana mau wanita deket, lihat wajahnya aja takut. Belum genap satu bulan sekolah di sini, sudah berani melapor ke BK.
“Lo tuh gak tahu soal Lisa. Konyol banget ngelaporin gue ke BK,” cutah Ane. Rio tidak merespons, tetap berjalan.
“Gak ngerti gue, kenapa Akbar, lo, entah nanti siapa lagi belain Lisa.”
Rio berjalan cepat meninggalkan Ane yang masih mengoceh tidak terima diskors tiga hari. Tidak cukup untuk seorang pembuli dihukum dengan skors tiga hari. Hukuman Ane barusan termasuk paling ringan.
Akbar datang saat pelajaran ketiga baru dimulai. Surat izin pagi tadi memberitahu kalau ada urusan penting. Tetapi Lisa datang seperti biasa ke sekolah. Mungkin bangun terlambat karena pulang larut dari toko roti Ane.
Jangan lupa cewek pendiam di sebelahnya. Mira, sepanjang di sekolah Mira tidak bicara sama sekali. Pantas saja teman-teman yang lain menjauh, bisa dibilang terlalu pelit, meminjam apa pun dari Mira dalam hitungan detik akan diminta kembali. Rio yang belum mendapat buku cetak waktu itu, hanya boleh melihat halaman buku milik Mira. Menyentuh sedikit, cewek rambut pendek itu akan menarik agak jauh dari sentuhan. Semoga nanti jodoh Mira memiliki tingkat kesabaran seluas samudera menghadapi kepelitan Mira
Sudah kembali memerhatikan guru menjelaskan di papan, membicarakan Mira tidak akan habis. Untung Akbar mau meminjamkan buku cetak dan memilih bergabung dengan Gana, teman sebangku.
“Gue nitip Lisa. Beberapa hari ke depan kerjaan gue gak bisa ditinggal karena acara wedding. Gue cuman percaya sama lo,” kabar Akbar. Bel istirahat baru saja berbunyi.
“Iya,” jawab singkat Rio.
“Maaf gue salah nilai lo. Adik-adik bisa makan enak karena lo.”
Akbar melirik Mira, biasanya dia pergi dari kelas saat istirahat, tetapi mata cewek itu melirik Rio, persis orang menguping. Akbar langsung pergi, sebenarnya masih ada hal penting lagi yang ingin dibahas dengan Rio. Bisa bahaya jika Mira mendengar. Jadi Akbar memilih pergi, pasti Rio juga menguntit dari belakang, selalu itu yang dilakukan Rio.
Lorong sepanjang kelas sebelas agak sepi. Rio berjalan santai di samping Akbar. Mereka menuju kelas Lisa, memastikan Ane tidak mengotori seragam Lisa untuk sekian kali.
“Mira gak bisa diremehin, dia bisa jadi serigala berbulu domba. Banyak aib yang dia sebar secara gak langsung ke Ane, Joana, dan Valery.”
Rio menyodorkan ponsel dan menunjukkan pesan WA, nomor itu tidak disimpan, foto profil wajah Mira. Akbar membaca pesan  agak panjang itu.
“Gue ilfeel,” tukas Rio.
Mira menulis ungkapan perasaan. Jika Rio tidak keberatan Mira ingin mengikat hubungan dengan Rio. Dia pikir pantas seorang yang baru kenal, langsung menyatakan perasaan tanpa tahu sifat sebenarnya.
“Pantes dia manyun sambil ngelirik lo, waktu gue bilang nitip Lisa. Cemburu hahahaha.”
“Gak lucu.”
“Haduh, sumpah, heran gue sama Lisa bisa kenal sama orang gak pernah senyum dan irit ngomong kayak lo,” kesal Akbar.
***
Bel pulang baru berdering. Hari ini Ane tidak beraksi apa-apa karena sudah kena skors tiga hari. Hanya panggilan pembunuh masih melekat pada Lisa. Akbar langsung pamit pergi ke toko roti. Banyak yang harus dikerjakan untuk acara wedding. Joana malah sudah bercengkerama dengan  Glenn di depan mobil. Lisa menolak ikut pulang dengan Rio dan Glenn. Hari ini adik-adik jadwal membayar uang bulanan, Lisa harus mengurus itu.
Mobil seperti tadi pagi, hanya berdua dengannya Glenn tanpa bicara sepanjang jalan. Ponsel terus bercelenting, ia tidak peduli. Palingan juga Mira yang masih memohon untuk jadi pacar. Ia melemparkan gawai ke dasbor mobil, memilih menutup mata.
Lampu merah dengan banyak mobil di depan. Jika begini bisa memakan waktu setengah jam hanya terjebak di lampu merah. Untuk kedua kalinya puntung rokok dibuang di luar jendela. Glenn mengambil satu batang utuh lagi.
“Papa, katanya di luar kota ada kerjaan. Lah kenapa bonceng wanita?” Glenn jelas melihat sang papa jarak dua mobil di depan. “Kok lo diem aja? Lihat, tuh.” Tunjuk Glenn.
“Mati rasa gue sama dia. Udah biasa kayak gitu.”
“Gak bisa gue liat mama diginiin.” Glenn mengeluarkan ponsel.
“Tugas lo cukup jaga perasaan Tante Karin. Mau seratus bukti lo kasih, jawabannya sama, rekan kerja. Bullshit,” ucap Rio sambil memejamkan mata. Sudah hafal dengan tindakan papa. Ujung-ujungnya pertengkaran hebat dan sama-sama selingkuh.
***
Pak Wilson, pemilik toko roti sekaligus ayah Ane datang. Tentunya bersama Ane. Hal aneh, Ane memakai seragam toko, dan celemek cokelat. Mata dan hidungnya sembab, seperti bekas menangis.
“Untuk acara wedding beberapa hari nanti, Ane akan menjadi karyawan juga. Perlakukan sama seperti yang lain. Ini hukuman dia.” Pak Wilson menyerahkan Ane pada Aji, manager toko yang usianya baru menginjak dua puluh tiga tahun.
Sepanjang dua jam papanya mengomel di rumah, dan hukuman Ane akhirnya menjadi karyawan toko di salah satu pusat perbelanjaan. Tempat yang sama seperti Akbar bekerja. Rasanya malu sekali, setelah menghina Akbar tempo hari, sekarang dirinya juga memakai celemek dan seragam cokelat.
“Ayo Nona Ane,  Nona bisa bergabung dengan karyawati lain untuk mengolesi glaze pada donat.”
Dapur kotor toko roti penuh dengan kue-kue baru matang dari oven. Sesak dan panas, hanya kipas angin di pojok ruang yang menyala, tidak terlalu mempan untuk mendinginkan ruangan. Perempuan paruh baya mendekati Ane, mengajari cara menghias donat yang sudah berlumur glaze.
Yang lain menata tiga sampai empat donat, Ane masih setengah jadi menghias permukaan. Ruangan yang benar-benar panas membuatnya tidak betah. Mereka melihati aneh kemudian berbicara dengan temannya. Pasti membicarakan berita soal dirinya yang dihukum karena membuli teman di sekolah.
“Tante aku ke kamar mandi dulu, ya,” pamit Ane.
“Iya Nona, di sebelah sana,” jawab wanita itu menunjuk arah kamar mandi.
Yang dilakukan di kamar mandi sebenarnya menghubungi Joana dan Valery. Mengirim pesan WA agar tidak mengganggunya selama tiga hari. Tidak lama papanya pasti datang meminta ponsel agar dirinya fokus membantu.
“Anak Pak Wilson lambat banget, masak baru dapet satu donat dari tadi.”
Tak sengaja mendengar ucapan itu tepat keluar dari kamar mandi.
“Apaan maksud lo. Kalau bukan karena ancaman papa, ogah gue panas-panasan di tempat sempit kayak gini. Gue bisa ya depak lo kapan aja. Lo kalo masih butuh kerjaan di sini jangan asal ngomong. Gaji lo gak cukup buat beli sepatu gue-“
“Nona, maafin dia, ya. Ayo Nona sama saya saja.” Wanita paruh baya langsung menyentuh pundak Ane. Semua orang beralih pandang karena Ane mengomel dengan kata-kata kasar.
“Aji mana!” teriak Ane.
“Nona saya minta maaf atas nama dia. Banyak yang harus kita kerjakan, ayo,” rayu wanita itu lagi.
“Aji!”
“Iya Nona.” Aji berlari karena suara Ane terdengar sampai depan.
“Lo nyari karyawan yang bisa jaga omongan. Gue gak mau tau, lo pindahin nih orang ke cabang lain. Gedeg gue dengernya,” omel Ane. Ia langsung pergi ke bagian dapur bersih. Di sana menata roti untuk pelanggan toko hari ini.
“Ane.” Akbar kaget melihat Ane memakai seragam toko.
“Mana, gue aja yang nulis pesanan. Gedeg gue di dapur sana.” Ane langsung menyaut buku kecil dan bulpoin yang dipegang Akbar.
Akbar menatap Aji yang saja keluar dari dapur. Melihat Ane mendatangi meja yang baru berpenghuni.
“Kamu ikutin Nona Ane.”
“Baik, Pak.”
Akbar bergegas sambil merapikan topi. Belum satu jam anak pemilik toko sudah merepotkan orang lain. Sudah benar menghias donat glaze sekarang berpindah posisi sesuai keinginan. Benar saja, Ane kebingungan mencatat nama roti yang kebanyakan bahasa Jepang.
Masuk pukul tujuh malam. Akbar memindah box berisi kue ke mobil yang akan mengantar ke tempat wedding. Acara malam henna untuk pengantin wanita malam ini. Memindahkan box kue sebanyak tujuh ratus dari lantai tiga pusat perbelanjaan ke lantai dasar tempat parkir. Sangat menguras tenaga harus naik turun. Sedang perempuan membersihkan dapur kotor. Membuat adonan kue akan dilanjutkan besok pagi, setelah ini akan menata donat ke mika untuk segera dikirim malam ini juga di tempat berbeda.
Makan malam datang. Karyawati makan terlebih dahulu sambil menunggu laki-laki selesai mengangkut box roti. Makanan sudah dipanaskan. Melihat makanan yang tersedia Ane memutar bola mata, tidak tertarik dengan menu, ia ngacir ke kamar mandi. Kembali menghubungi Joana dan Valery. Papanya lupa tidak mengambil gawai.
Di depan toko sudah berjajar mika persegi berisi donat cantik, siap diantarkan. Tiba-tiba semburat karyawati keluar dari dapur. Mereka  membawa piring masih berisi setengah porsi.
“Dua oven terbakar, api besar langsung menyambar kompor.” Salah seorang memberitahu.
“Cari air cepat!!” Aji mengambil kaleng di dapur bersih. Panik keluar toko meminta air ke toko lain. Pengunjung pusat perbelanjaan mengelilingi toko. Api mulai muncul di bagian atas. Pekerja perempuan langsung memindah mika donat ke lokasi agak jauh.
Akbar celingukan, satu orang tidak terlihat. Ane. Aji dan para karyawan laki-laki lain sibuk estafet air memadamkan api. Mereka lupa kalau anak Pak Wilson tidak ikut keluar. Akbar nekad masuk dapur, yang lain meneriaki tindakannya.
“Ane!!”  teriak Akbar. Ane bermuka panik di depan kamar mandi. Api memenuhi sekitar karena over ketiga ikut terbakar.
Akbar mencari celah dari sambaran api, berusaha menuju tempat Ane berdiri. Wajah Ane memerah kepanasan. Akhirnya Akbar tiarap di lantai, meraih kaki Ane dan menyuruhnya tiarap juga.
“Cepet! Api makin gede, lo mau mati kepanggang di sini!” gertak Akbar melihat Ane jijik untuk tiarap.
Akbar dan Ane ngos-ngosan. Dada pengap karena tidak ada udara bersih. Ane mulai lambat, Akbar melepas topi dan memakaikan pada Ane karena api melulur kaki meja. Beberapa perabotan sudah habis, dan jatuh menimpa Akbar dan Ane yang masih tiarap.
Melihat Ane susah menghirup udara dan napasnya sudah berjarak, Akbar langsung berdiri mengangkat tubuh Ane. Tangannya tersambar api, tidak peduli yang penting Pak Wilson memastikan anaknya baik-baik saja.
Boom!
Oven keempat meledak. Suara riuh dari luar meneriaki namanya. Ia bersiap lari menerobos api yang baru saja keluar dari oven keempat.
“Bar, gak bisa napas,” keluar Ane.
Oke, Akbar menggendong tubuh Ane memejamkan mata langsung berlari menabarak api. Panas mengenai kulit sekian detik. Akhirnya keluar dapur kotor. Benar saja, Pak Wilson berkaca-kaca melihat anaknya lemas di gendongan Akbar. Pak Wilson meraih tubuh Ane. Mata anak gadisnya terpejam.
“Ane....” Sang papa menepuk pipi Ane, tidak ada respons.
Tanpa peduli toko yang mulai rata oleh api, Pak Wilson mengangkat tubuh Ane membawa keluar dari pusat perbelanjaan agar segera mendapat oksigen dan di tangani medis.
Akbar mematung, mengatur napas yang tersengal. Biar saja manager toko dan yang lain berestafet air memadamkan toko.
***

KESAN TEMU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang