Bagian 15

39 23 4
                                    

Akbar mencoba berkali-kali melakukan panggilan video call dengan Lisa. Tersambung, tetapi sama sekali tidak direspons. Glen fokus pada map dan mencari rumah sakit terdekat, ketemu, dua kilo meter lagi rumah sakit umum .
Mendadak panggilan masuk banyak dari teman-teman sekolah menanyakan kabar yang langsung tersebar di berbagai stasiun TV, identitas Rio jelas diberitakan di sana. Tidak ada waktu untuk membalas pesan atau panggilan masuk yang berjibun. Akbar hanya akan mengangkat telepon dari Ane, Joana, Tante Karin, dan ibunya. Atau langsung sigap jika Lisa merespons balik semua pesannya tadi.
Sampai di pelataran rumah sakit. Glenn mengangkat tubuh Rio, beberapa suster berlari membawa brankar sambil mengabari suster lain di UGD. Sedang Akbar langsung mengurus surat pendaftaran agar Rio cepat ditangani medis.
Tante Karin histeris melihat wajah Rio penuh luka dan tubuhnya berlumur darah. Joana juga berusaha keras menahan air mata, tidak ingin menambah beban mamanya karena menangis juga. Depan UGD masih ramai, polisi beberapa kali masuk membawa laporan kecelakaan tunggal Rio.
“Boleh aku minta whatsapp Lisa?” pinta Ane.
“Iya.” Akbar pasrah tidak menepati janjinya kepada Lisa. Mungkin jika nomor baru yang menghungi akan segera direspons.
Ane duduk di kursi tunggu depan ruang UDG. Di sampingnya Glenn menunduk lesu sambil menenangkan mamanya. Tante Nia juga ikut berusaha menghubungi Lisa, hasilnya sama dengan Akbar tidak ada respons.
Tanpa pikir panjang Ane mengirim beberapa video yang memperlihatkan Rio terkapar bersipah darah di pelukan Glenn dan Akbar. Tanpa ada tulisan apa pun. Hanya satu pesan itu saja. Ane tidak melakukan panggilan  video atau lainnya. Itu akan membuat Lisa berpikir kalau teman-temannya berusaha membujuk agar kembali.
Whatsapp itu cepat berubah centang biru. Triknya berhasil, dari tadi Lisa aktif hanya tidak ingin merespons orang-orang yang membuatnya goyah dengan keputusan pergi ke Sumba itu.
HAne juga mengirim beberapa foto mobil Rio yang ringsek menabrak pembatas jalan, serta garis polisi sudah melintasi area kecelakaan. Sekian detik Lisa langsung menelepon balik. Ane menjauh dari semua orang.
“Ne, lo gak lagi berusaha bujuk gue ‘kan?” todong Lisa langsung.
“Garis polisi gak bisa direkayasa, Lis. Rio kritis sekarang, kita gak tau dia bakal bertahan hidup atau berhenti berjuang karena udah gak lagi yang diperjuangin di dunia ini.”
“Gue gak tau, Ne, harus apa.”
“Ya terserah. Lo kan maunya mulai hidup baru di Sumba. Gue gak berhak maksa lo untuk temuin kita sekarang, oh lupa, lo kan nanti bisa temuin makam Rio.”
Ane langsung mematikan sambungan telepon secara sepihak. Instagram Ane mulai ramai, banyak teman yang menghubungi lewat DM. Bahkan Bu Alma juga menghubunginya. Wartawan di lokasi kejadian tadi meliput dan Ane memblokade sambil marah-marah. Enak saja mau menyorot tubuh Rio yang bisa dibilang tidak pantas dijadikan konsumsi publik. Mungkin acara marah tadi diliput juga membuat semua teman juga pihak sekolah memburu informasi darinya.
“Rio proses pindah ke ruang ICU. Kita berdoa aja semoga alam bawah sadarnya ingat kalau ada keluarga yang nunggu dia buat kembali.”
“Ada masalah apa sebenarnya dengan Rio? Boleh kami tahu.”
“Iya, dia sedang tidak baik-baik saja secara mental sejak tadi pagi. Terima kasih semuanya mohon maaf.” Glen menggenggam tangan Joana kembali ke ruang UGD. Mereka menemui beberapa wartawan di sekitar ruang UGD yang mendesak mencari informasi untuk siaran langsung.
“Glenn anter Mama sama Bi Nia ke rumah Mira. Dia harus tanggung jawab atas postingan di akun Rio,” pinta mamanya. Glenn mengangguk. Surat somasi baru saja diantar salah satu polisi.
“Papamu udah di depan, kita ke sana bareng-bareng. Ane sama Joana kalian di sini jagain Rio sampai dia dipindah ke ICU.”
“Iya Tante.”
***
Setelah mendapat kabar kecelakaan dan membuat Rio kritis, papanya langsung meninggalkan banyak klien di pertemuan besar dengan para manajer perusahaan. Saat ini mobil hitam membawa mama, BI Nia, dan dirinya sampai di depan rumah Mira.
“Kamu tenang dulu, gak akan selesai kalau main marah-marah,” papa mencegah tangan mama yang tak srantan membuka pintu mobil.
“Bisa tenang gimana sih, Mas? Rio kritis kita gak tau dia selamat atau enggak,” bentak mama kesal.
“Iya tahu Karin. Sini biar aku yang langsung kasih somasinya. Aku gak yakin kamu kuat sama ucapan mereka yang bikin tambah emosi.”
Glen dan Bi Nia mengikuti langkah papa agak cepat.
“Saya pikir tidak perlu basa-basi baik hati untuk membahas masalah ini. Semua sudah jelas dalam surat somasi ini. Dalam dua hari tidak ada pertanggungjawaban dari Mira, terpaksa kami akan membawa kasus ini ke kepolisian, dan kita akan beradu di meja pengadilan.” Papa memberikan  surat somasi itu tepat di dada papa Mira.
“Ada dua hal yang kami tuntut, UU ITE dan penyebab kecelakaan anak kami. Ingat dalam dua hari,” tambah mama.
Orangtua Mira hanya berdiri sambil membuka surat somasi yang tertuju pada Mira. Tidak peduli apa respons mereka papa dan mama langsung pergi, malas berlama-lama di rumah orang yang sudah membuat hidup orang lain berantakan, tidak hanya Rio, kepahitan hidup Joana juga berasal dari rumah ini.
Malam hari, jalanan agak lengang, ponsel Glenn tetap terhubung dengan kondisi di rumah sakit. Rio sudah dipindah ke ICU. Tinggal menunggu perkembangan dan kabar baik para dokter. Terakhir, dokter mengatakan Rio mengalami fraktur vertebra atau tulang belakangnya patah.
***
Instagram Mira diserang setelah Ane membuat video pernyataan bersama Akbar. Dalam video tersebut Ane menceritakan pagi hari pertengkaran antara Lisa dan Rio karena postingan foto di akun pribadi Rio. Berlanjut Rio ke sekolah langsung menyerang Mira dan membuat gadis itu pingsan. Setelah itu tidak ada kabar dari Rio sampai sore hari. Seluruh keluarga mencari keberadaan Rio karena ponsel Rio dibuang di pagar besi sekolah, dan kecelakaan itu terjadi. Ane juga menunjukkan foto pada akun Rio, foto itu tidak pernah diunggah Rio. Mira meretas dan mengunggah foto itu sendiri. Akbar juga menunjukkan hasil ct scan tulang belakang Rio yang patah. Kemungkinan Rio mengalami kelumpuhan, atau lebih buruk jika alam bawah sadar Rio tidak bertahan, dalam minggu-minggu ini nyawa Rio akan melayang. Soal kepergian Lisa ke Sumba juga dijelaskan Akbar. Dari awal Lisa tidak mengatakan kalau ke Sumba untuk menghindari Rio dan mulai hidup baru. Itu karena Lisa merasa dikhianati Rio dengan postingan foto tersebut.
Kolom komentar Ane langsung dipenuhi hujatan untuk Mira. Mereka langsung menyerang akun Mira, ratusan DM masuk memakin dengan berbagai bentuk hewan. Itu yang dirasakan Lisa dulu ketika dinyatakan tersangka sebagai pembunuh Theo.
Valery mendadak menonaktifkan semua akun media sosial, sepertinya juga diserang dengan buntut kasus Mira. Unggahan terakhir akun instagram Valery tadi siang ketika Mira pingsan, dan dahinya berdarah karena Rio.
***
Lisa menyaksikan semua berita itu, juga foto-foto para wartawan yang memperlihatkan Glen dan Joana sedang bersama polisi di lokasi kecelakaan. Disusul Ane marah pada salah satu reporter yang menerobos Joana dan Akbar menutupi tubuh Rio. Satu lagi, baru saja Ane dan Akbar membuat video dan menunjukkan kondisi Rio terbaring di ruang ICU, foto ct scan tulang belakang Rio pada slide kedua instagram Ane.
Kenapa ceroboh sekali percaya begitu saja dengan akun yang lama tidak aktif milik Rio. Sekarang ia naik taxi dan memakan waktu enam jam hingga sampai di rumah sakit esok pagi. Di dalam taxi air matanya tidak bisa berhenti, melihat semua yang Ane kirim berkaitan dengan kondisi Rio sekarang. Lihat Tante Karin yang sudah membayar pidananya dulu sangat terpukul sampai wajah ayunya hilang, bahkan papa Rio berjaga di depan ruang ICU, Joana dalam keadaan hamil tidak peduli akan stress dan berbahaya bagi kandungannya. Sementara dirinya, bodoh sekali tidak memikirkan apa yang Rio lakukan jika meninggalkan kota ini dengan masalah yang belum selesai.
Hidungnya sembab, matanya sekarang mengarah keluar jendela. Hujan deras menyamarkan tangisnya yang sesenggukan. Panggilan video dari Ane. Langsung ia mengangkat.
“Lo jangan bawa emosi juga, ya. Kita stay nunggu Rio di sini.”
“Maafin aku, Ne....”
“Harusnya Mira yang ngomong gitu ke kalian berdua. Udah, jangan nangis ya, tenangin diri lo, siap gak siap keadaan Rio sekarang bukti kalau dia gak bisa kehilangan lo, Lis.”
Bahkan Lisa tidak bisa berkata-kata saat Ane memperlihatkan Rio terbaring dengan banyak alat medis di tubuhnya.
***
Sampai di pelataran rumah sakit tepat pukul sembilan pagi. Ibunya menyambut, Lisa langsung memeluk ibunya meminta maaf membuat semua menjadi tidak terkendali. Tidak lama Lisa langsung mengikuti ibu ke ruang ICU. Kursi depan ruang terjaga Glen, Joana, Ane, Akbar, Tante Karin, dan Om Wijaya.
Lisa meminta gaun protektif pembesuk pada perawat yang berjaga. Suster mengingatkan Lisa untuk tidak bertindak yang membuat detak jantung Rio tidak stabil seperti kemarin. Suster juga menemani Lisa di dalam ruang.
Ia duduk di samping kursi dekat layar monitor sinyal EKG. Matanya sudah panas ingin melepas semua air mata sekarang. Sepuluh menit pertama ia hanya menangis sesenggukan di samping Rio yang terbaring belum sadarkan diri. Beberapa kali suster mengelus pundaknya yang berguncang keras. Sungguh, sinyal EKG yang  berbunyi agak lambat, menandakan detak jantung Rio seperti itu.
“Kalau aku boleh minta, aku aja yang kecelakaan kemarin, Rio... aku kehilangan percaya diri karena hukum yang menjerat kemarin, sekarang kamu mau ninggalin aku juga? Jangan runtuhkan semuanya, Rio.”
“Kamu juga korban dari Mira, sayang.” Tante Karin berdiri di belakangnya. Lisa langsung menghambur memeluk sambil sesenggukan.
“Harusnya Lisa gak egois berangkat ke Sumba, Tante. Maafin Lisa.... Lisa yang bikin Rio marah pagi itu, Lisa juga gak mau dengerin penjelasan dari Rio.”
“Enggak Sayang, kamu jangan nyalahin diri kamu sendiri kayak gini.”
Lisa semakin erat memeluk tubuh wanita super baik itu. Tidak bisa mengungkapkan semua isi hatinya yang hancur melihat Rio terbaring dengan bantuan alat medis. Berkali-kali maaf keluar dari mulut Lisa, ia sadar jika membicarakan semuanya dari awal, mungkin kecelakaan ini tidak terjadi.
***
Keluarga Mira datang ke rumah sakit. Papa langsung maju paling depan, wajah mereka menahan malu. Apalagi keponakan mereka sendiri dirawat baik oleh keluarga ini. Glen juga berdiri di samping papanya, rasa kesal terhadap keluarga Mira tidak bisa ditahan. Mama dan Bi Nia tetap duduk di kursi panjang depan ruang ICU.
“Kami ingin meminta maaf untuk apa yang terjadi sama Rio,” ucap mama Mira pertama kali.
“Maaf aja emang cukup buat adik saya bangun?” sahut Glen cepat.
“Saya agak keberatan dengan tuntutan kalian, Mira bilang dia tidak ada hubungan dengan kecelakaan Rio,” bela papa Mira.
“Oh, jadi anak Tuan yang terhormat ini tidak merasa bersalah setelah meretas akun Rio?” beber Glen masih tidak terima.
“Kalau saja Lisa tidak menunjukkan postingan itu pada Rio, mungkin kecelakaan ini tidak terjadi,” kata Mira tanpa rasa bersalah.
Akbar langsung menyambar kerah seragam Mira, bisa-bisanya masih melakukan pembelaan.
“Gue cukup sabar ngadepin semua tingkah lo. DENGER! Pertama lo bikin kakak gue dibuli satu sekolah karena postingan instagram lo. Kedua lo unggah foto Joana sama Glen yang seharusnya mereka berdua aja yang tahu. Ketiga lo ngehack akun Rio dan posting foto berdua sama Rio waktu pantas seni dan itu karena Bu Alma masangin kalian di acara drama sekolah, sementara lo tahu kalau Lisa sama Rio pacaran. Masih bisa ya lo bilang seandainya Lisa gak nunjukkin foto itu ke Rio dan—“
“Anak saya tidak pernah—“
“Cukup, Om! Saya selama ini diam karena Lisa melarang saya bertindak. Kali ini Mira keterlaluan membuat Rio diambang hidup atau mati.” Akbar memotong cepat pembelaan papa Mira.
“Udah Akbar, Om tidak menerima permintaan maaf keluarga Handoko. Om sama Tante Karin sepakat untuk mencari keadilan lewat jalur hukum.” Om Wijaya melepas tangannya dari kerah seragam Mira.
Untuk apa mereka ke rumah sakit jika masih ngotot kalau Mira bukan penyebab kecelakaan Rio. Apa keluarga itu tidak pernah tahu kelakuan anaknya sebagai akun lambe di sekolah.
Akbar dan Ane pamit untuk mengantar Ane pulang, dua hari ia menemani keluarga Lisa dan Rio di rumah sakit. Glenn dan Joana juga pamit pulang karena perut Joana terasa kram dan harus istirahat.
“Bu, Ibu pulang bareng Ane aja. Adik-adik pasti nungguin Ibu di toko.” Lisa menyuruh ibunya pulang juga. Ibu menurut karena tiga anaknya lagi dititipkan pada penjaga store perlengkapan rumah tangga.
Di depan ruang ICU tersisa tiga orang. Dari wajah dua orangtua itu sangat kelelahan karena semalam tidak menikmati tidur.
“Om Wijaya sama Tante Karin bisa istirahat juga, biar Lisa yang jaga di sini.”
“Enggak, Lisa, Tante masih kuat jaga Rio.”
“Lisa bener Karin, ayo kita makan dulu, aku lihat dari semalam gak ada makanan masuk. Iya emang kita udah cerai, sekarang kita runtuhin ego masing-masing untuk Rio.”
Tante Karin mengangguk dan pergi bersama mantan suaminya itu.
Lisa duduk di kursi besi panjang itu sendirian. Ia menyandarkan punggung sambil bernapas kasar. Di depannya kaca bening memperlihatkan isi ruang ICU. Ranjang besar dengan banyak alat medis mengelilingi tubuh kekasihnya.
Dua suster datang dan masuk memeriksa layar EKG, satu suster lain mengganti tabung oksigen. Hatinya tidak putus berdoa agar Rio membuka mata. Dokter datang berbaik hati memintanya ikut masuk menggunakan gaun protektif. Ia berdiri persis di samping Rio, dokter sedang menempelkan stetoskop di dada Rio.
Hal ajaib, sepertinya gerakan stetoskop membuat Rio terangsang, matanya terbuka perlahan. Dokter mengeluarkan napas panjang dengan ujung bibir ditarik ke atas. Lisa pun sama air matanya pecah tetapi senyum itu semakin lebar.
Dokter memeriksa mata Rio dengan senter kecil, menanyakan apakah kepalanya pusing. Rio menggeleng. Dokter membuat pukulan kecil di lutut Rio, Rio tidak merasakan pukulan itu. Suster mengangguk dan mencatat hasil pemeriksaan.
“Kalian bisa mengobrol sekarang, ingat, obrolan ringan saja, ya,” kata  dokter mengingatkan. Para petugas  itu keluar. Lisa menyeret kursi dan duduk  di samping ranjang.
Belum ada pembicaraan  di antara mereka. Tidak berbicara mungkin memperburuk keadaan Lisa langsung memeluk Rio sambil sesenggukan. Sekian menit ruang ICU hening hanya diisi tangis Lisa. Rio mengelus punggung Lisa.
“Aku udah gak papa, jangan nangis dong,” ucap Rio pertama kali.
“Maafin aku, Rio.” Lisa bangkit.
“Gak ada yang perlu disalahin apalagi minta maaf,” jawab Rio sambil mengusap air mata Lisa. Melihat Lisa sebagai orang pertama setelah dirinya sengaja menabrakkan mobil adalah hal paling diharapkan.
“Tapi dokter tadi cek lutut kamu—“
“Kenapa? Kamu gak mau punya cowok cacat?”
“Bukan gitu, Rio. Kalau boleh minta aku aja yang lumpuh. Aku bodoh banget percaya gitu aja sama postingan itu.” Tangis Lisa semakin pecah, sampai kantung matanya membengkak.
Rio berusaha duduk bersandar, meraih tubuh Lisa untuk memeluknya.
“Ini aku yang sakit, tapi kamu yang nangis terus loh.”
“Ihh....”
“Aku juga salah, kalau gak sengaja nabrak pembatas jalan mungkin aku bisa temenin kamu jalan-jalan. Jangan nangis, lagi.” Rio mengusap seluruh ari mata Lisa dengan tangan kosong. Mereka berdamai.
Lisa mengabari semua orang kalau Rio sudah siuman dan dipindah ke ruang rawat inap. Sekarang makan yang hilang beberapa hari perlahan membaik. Orang yang pertama datang Glenn dan Joana. Wajah mereka sudah bersemangat melihat Rio dan Lisa bercanda bersama.
***
Tiga minggu setelah kejadian itu. Glenn mendorong kursi roda Rio ke meja makan. Kamar Rio dipindah juga ke lantai dasar. Lihat Papanya juga ikut sarapan pagi ini.
“Papa sama Mama rencananya mau rujuk, kalian gak keberatan ‘kan?” kabar mama pagi ini.
Semua orang menoleh tidak percaya.
“Beneran?” Malah Joana paling antusias, dirinya akan mempunyai orangtua lengkap.
“Iya. Papa ngaku salah selama ini mikirin gimana caranya bahagia sama wanita lain. Padahal kebahagiaan itu di depan mata Papa sendiri. Papa juga gak mau kejadian Rio terulang. Maafin Papa juga sering kasar sama Glenn sama Rio.”
Keluarga kecil itu kembali dengan formasi lengkap tinggal menunggu cucu lahir. Ini kali pertama rasanya senang melihat mama dan papa bersama.
“Mama udah buat surat izin ke Bu Alma. Hari ini kamu fisioterapi sama Lisa.”
“Yes,” lirih Rio, tetap terdengar semua orang di meja makan.
“Dah Ma, nikahin aja mereka berdua. Lihat Rio paling bahagia kalo jadwal fisioterapi. Giliran sekolah aja alasan banyak banget,” beo Glenn.
“Jangan kompor, deh,” bela Rio tidak terima. Padahal semua yang dikatakan  Glenn benar.
***
Mama mengantar Rio ke rumah sakit. Lisa sudah di depan ruang dokter, mengantre dahulu sebelum Rio datang.
“Udah Mama urus untuk sidang nanti. Udah ada Lisa.”
“Lisa nanti telepon Tante, ya.”
“Siap Tante.”
Namanya pergi sesuai jadwal, hari ini sidang putusan untuk Mira. Setelah fisiologi nanti mereka akan menghadiri sidang yang digelar pukul sebelas siang. Lisa mendorong kursi Rio, sekarang bertemu langsung dengan dokter. Dokter mengizinkan untuk fsioterapi menggunakan pararel bar di taman rumah sakit.
Tidak lama Lisa membawa Rio ke taman itu. Taman khusus untuk fsioterapi. Berukuran tidak besar berisi alat-alat terapi pemulihan. Ada dua orang yang juga diizinkan terapi di taman, mereka berusia lansia. Memang fsioterapi dianjurkan untuk orang-orang pasca struk.
“Kita latihan jalan di pararel bar aja, ya.” Tunjuk Lisa pada pararel bar. Alat dengan besi pegangan panjang sekitar tiga meter.
Lisa membantu Rio berdiri, agak kualahan karena tubuhnya lebih kecil dari Rio. Rio sendiri malah salah tingkat melihat Lisa memercing menahan berat. Lisa mendongak ke atas menatap mata Rio. Tatapan mereka terkunci saling melihat bayangan masing-masing. Tiga detik berlalu, mata mereka masih terkunci.
“Jangan lihatin lama-lama ntar klepek-klepek,” goda Rio. Lisa langsung mengarahkan pandangan ke arah lain. Pipinya memerah terlihat malu.
“Ayo berat, nih,” kilah Lisa.
Terhitung dua jam mereka menghabiskan waktu di tempat ini. Mata Rio berusaha mencuri pandang pada Lisa yang masih menunjukkan sikap salah tingkah.
“Gak boleh duduk, nih?”
“Boleh kok.”
Lisa kembali membopong Rio ke kursi roda. Yang tadinya mendung menjadi panas membuat sinar matahari sangat menyengat kulit. Sudah dua jam akhirnya Lisa kembali ke ruangan dokter untuk pemeriksaan terakhir hari ini.
Beberapa bagian belakang Rio menjalani terapi taping atau Kinesio Taping adalah plester elastis yang berguna untuk menyembuhkan secara alami bagian tubuh yang cedera. Alat ini digunakan dengan cara menyangga dan menstabilkan otot serta sendi. Namun, tanpa membatasi geraknya. Fungsi alat ini untuk mempercepat pemulihan cedera, membantu mengatasi peradangan di dalam kulit, serta meningkatkan frekuensi.
“Hari Kamis kembali untuk terapi Ultrasound terapeutik. Kita akan lihat sejauh mana perkembangan pasca kecelakaan kemarin,” jelas dokter. Sepertinya perkembangan Rio cukup baik, ya karena setiap terapi ditemani Lisa itu salah satu faktanya.
“Kita coba sekarag tanpa kursi roda.” Dokter mengambil walker untuk orang dewasa. Rio mengikuti perintah dokter.
Perlahan ia turun dari ranjang, pertama kali tangannya kuat memegang besi walker. Setiap pagi kalau Glenn atau mamanya belum ke kamar ia berusaha sendiri ke kamar mandi dengan berjalan menggunakan kursi meja belajar. Apalagi setelah berjalan  di pararel bar tanpa duduk selama hampir satu jam, mudah saja menjalankan walker ini.
Masih belum percaya perkembangan Rio secepat ini, dokter melakukan satu tindakan kecil lagi. Kaki Rio diangkat dan ditekuk secara perlahan, dokter melakukan beberapa kali di kaki kanan.
“Sakit?”
“Sedikit.”
“Sepertinya sudah biasa berlatih berjalan, ya?”
“Iya Dok, saya sungkan mau membangunkan orang rumah kalau tengah malam.”
“Mungkin beberapa minggu lagi kamu bisa berjalan dengan kruk, tidak pakai kursi roda lagi.”
Mendengar itu Lisa langsung tersenyum. Harusnya semua orang mendengar perkembangan Rio yang diluar dugaan. Dokter awalnya mengatakan bisa berjalan dalam kurun empat sampai lima bulan, tetapi bulan kedua masa pemulihan dokter membolehkan memakai kruk untuk berjalan.
Setelah keluar dari ruang dokter. Lisa mendorong kursi roda ke kantin rumah sakit. Perutnya lapar karena sebelum pukul tujuh sudah mengantre di depan ruang dokter.
“Nanti kita jalan-jalan bareng lagi, duh gak sabar deh hari kamis,” ungkap Lisa.
“Aku heran aja sama kamu, yang sakit aku yang nangis sampai kantung mata tebal kamu. Yang ngejalanin terapi aku dan yang yang gak sabar kamu.”
“Kapan sih Rio kamu peka. Kalau gak benerr sayang tuh aku gak mungkin kayak gini.”
“Jadi makin gak meleyot deh, kalau kamu bilang gitu.”
Orang-orang di kantin rumah sakit juga melihat Rio dengan tatapan kasihan, sama saat pertama masuk sekolah, sepanjang mamanya mendorong kursi roda semua mata melihat dengan tatapan kasihan. Sudah agak terbiasa melihat tatapan tersebut, mau bagaimana lagi ini juga ulahnya yang sengaja membuat mobil menabrak pembatas jalan. Sebenarnya ingin menabrak truk atau mobil lain, bagaimana jika terjadi korban jiwa, masalahnya akan semakin rumit jadi ia membelokkan mobil ke pembatas jalan.
Lisa datang membawa dua mangkok soto ayam.
“Mira gimana, ya? Apa dia tetep posting seenak jidat?” Lisa mengambil topik obrolan.
“Stop mikirin orang lain. Biarin dia mau lakuin apa, ntar jadi salah paham lagi antara kita.”
“Iya maaf. Aku gak bakal bahas dia lagi.”
“Foto itu yang ambil Valery, dia sengaja cari momen di mana aku harus pegang tangan Mira di panggung. Makan berdua sebenarnya di kantin banyak orang, pas aku baru duduk dan makan, eh dia duduk juga. Gak tahu secepat apa Valery ambil foto kita itu, padahal tahu dia duduk di sampingku, aku langsung berdiri nyari tempat duduk lain,” jelas Rio soal foto dua foto yang dianggap Mira.
“Kalau aku ngadu ke Akbar atau Ane, mungkin mereka bakal jelasin dua foto itu. Bodoh banget ya aku,” sahut Lisa agak lesu.
“Ya emang bodoh, tiba-tiba beli tiket aja ke Sumba,” celetuk seseorang dari belakang. Akbar dan Ane bergandeng tangan di sana.
“Kalian udah ditungguin sama Om Wijaya, malah pacaran di sini,” sungut Ane.
“Emang kalian doang yang boleh pacaran?” timpal Rio.
“Udah, yuk, jalan macet bisa telat nanti ke persidangan.” Akbar mengangkat mangkok soto dari tangan Rio dan mendorong kursi rodanya.
“Eh anjir gue belum selesai makan, untung gue lumpuh kalau enggak udah melayang nih sepatu,” protes Rio.
Ane juga menarik tangan Lisa. Padahal soto mereka baru beberapa suap.
Ruang persidangan mencekam. Sekarang Mira membaca pembelaan di depan hakim, isinya kalau dirinya tidak ada sangkut pautnya dengan kecelakaan Rio. Lawyer keluarga Rio langsung menyela menjelaskan sangkut pautnya foto yang membuat Lisa pergi ke Sumba dan Rio marah. Hakim menerima bukti beberapa postingan foto di akun Rio, dan penjelasan kalau Lisa baru saja menjalani pelatihan.
“Terdakwa saudari Mira Handoko, pertama melakukan pelanggaran berdasarkan UU ITE pasal 30 ayat 1 yang berbunyi Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain. Maka saudari Mira terbukti meretas akun media sosial Rio, kemudian membuat kesalahpahaman antara Rio dan Lisa sehingga menyebabkan Rio kecelakaan. Berdasar undang-undang tersebut saudari Mira Handoko dikenai hukuman enam tahun penjara.
“Kedua pihak saudara Rio Dewa meminta ganti rugi selama biaya kecelakaan dan perawatan sebesar dua ratus juta rupiah.”
Hakim mengetuk palu tanpa menunggu pernyataan lain mengenai kasus tersebut. Sama seperti Lisa karena umur mereka belum cukup untuk menjalani hukuman jeruji besi makan pelatihan akan diberikan  sesuai kesepakatan.
Lega, akhirnya Mira menerima imbas dari kelakuannya sendiri. Sebenarnya mama tidak meminta ganti rugi atau pidana dari pihak Mira, tetapi papa kekeh karena keluarga Handoko tidak pernah memberi sandang pangan cukup kepada Joana. Nantinya uang itu akan ditujukan pada Joana, Joana berhak menerima uang tersebut sebagai haknya yang tidak diberikan selama ini oleh keluarga Handoko.
***
Sesuai janji dokter, hari Kamis hanya pemeriksaan sederhana mengangkat kaki dan berjalan menggunakan walker. Dokter memberi izin memakai kruk untuk berjalan. Pulang dari rumah sakit mama langsung membeli kruk untuk Rio.
Lisa pun ikut sampai rumah Rio. Hanya ada bibi di dalam, tampaknya semua orang sedang sibuk sampai tidak ada gelak tawa atau suara mengobrol dari penjuru mana pun.
“Mama pergi dulu, ya,” pamit mamanya setelah ganti seragam kantor.
“Iya, Ma.”
Lisa memilih duduk di sofa ruang tengah. Bibi memberinya segelas jus jeruk. Rio merebahkan tubuhnya dan menaruh kepalanya di paha Lisa. Lisa menyambut dengan memainkan rambut Rio yang mulai panjang.
“Kita ketemu dua minggu lagi, ya, Kamis depan Akbar harus ikut papa Ane grand opening toko, jadi yang ambil rapor adik-adik aku.”
“Jadi terapi hari Kamis nanti gak ditemenin kamu, dong?”
“Sementara sama Tante Karin atau Joana dulu.”
“Kalau ketemunya lama, kangennya jadi numpuk nih.”
“Kan bisa video call.”
“Jangan suka ngilang dong kalau video call.”
“Kadang adik-adik ngerecokin, Rio.”
“Gak enak deh kalau gak bisa jalan sendiri gini. Aku jadi gak bisa ke rumah kamu.”
“Bentar lagi juga bisa, kok, sabar.”
***
Malam hari, Rio diam-diam naik tangga dengan satu kruk. Padahal saat makan malam papa menegur karena ia hanya memakai satu kruk ke meja makan, rasanya kaki kiri sudah lebih baik untuk berjalan jadi ia memakai satu kruk untuk menyangga kaki kanan.
Ia naik ke kamarnya, masih lengkap seperti terakhir ia lihat. Fotonya dengan Lisa juga tegak di meja belajar. Malah buku-buku tebal pelajaran ia masukkan laci sampai tidak terlihat, ya, PR setiap hari menumpuk dan ia malas sekali mengerjakan.
Balkon kamarnya menjadi tempat paling menenangkan. Dari balkon jalanan komplek terlihat jelas tidak ada kendaraan lewat. Lampu-lampu rumah juga banyak yang dimatikan, angin malam menerpa wajahnya.
“Gue curiga dan ternyata bener suara orang naik tangga itu lo.” Glenn berdiri di sampingnya. “Sejauh yang gue lewatin, gue jadi tahu kalau papa masih punya hati buat kita,” tambah Glenn.
“Kenapa gak dari dulu aja, ya, gue nekad nabrak pembatas jalan, dan kritis jadi mama sama papa kembali.”
“Lo gak mikir kita ribut nyari lo, kita panik, negatif thinking. Ane sampai marah-marah sama wartawan, mama sampai gak makan, Bi Nia ninggalin tiga anak kecil, Lisa nangis tiga hari tiga malam nungguin lo di depan ICU.”
“Lisa cinta banget berarti sama gue.”
“Kalo gak cinta, ngapain dia mutus perjalanan ke Sumba demi balik liat keadaan lo. Lo emang gila, sih, bikin semua orang udah pasrah. Ane sama Akbar belain sampai dapet panggilan orangtua gara-gara bolos sekolah. Lo gak kasihan sama anak gue yang ikutan kram nangisin lo di dalem perut.”
“Emang iya?”
“Gue berdoa aja, deh, supaya anak gue gak nekad kayak lo.”
“Hahahaha.”
Obrolan mereka berhenti, suara hewan malam samar mengisi. Kakak beradik itu menikmati udara malam sambil menghabiskan batang rokok.
“Glenn,” panggil Rio.
“Hmm.”
“Gue rese gak sih?”
“Banget.” Glenn menoyor pundak Rio agak keras. Tanpa keseimbangan Rio langsung terjatuh membuat gitar di pojok balkon pecah tertimpa tubuhnya.
“Hahaha sorry-sorry.” Glenn tertawa sambil menarik tangan Rio.
“Asem lo, udah tahu kaki gue rapuh, main toyor-toyor aja. Yang rese kayaknya lo, deh.”
Mereka membicarakan banyak hal soal kehidupan yang semakin membaik. Tentang masa sulit yang dilewati sampai titik di mana mama dan papa rujuk. Hal yang selalu diimpikan Rio dan Glenn, memiliki orangtua lengkap.

Pagi ini Rio mencoba tidak memakai kruk, ia berjalan perlahan sambil merambat di tembok, semua orang di meja makan langsung membeo. Bibi yang dari dapur menuntunnya sampai meja makan.
“Oke oke, berjalan pake kruk itu lebih sudah, Ma, Pa. Lagian udah bisa berdiri sendiri kok, tinggal latihan  jalan aja.”
“Ya tapi kata dokter kan masih dalam pemulihan,” cetus mamanya.
“Mama, aku bosen kalau lama-lama gak bisa gerak sesuai hati.”
“Oke terserah kamu deh, yang penting kamu bahagia udah.”
***
Dua minggu berlalu. Hari ini Rio mengabari Lisa kalau jadwal terapi pukul dua siang, dokter ada operasi pagi hari. Tetapi pukul satu siang Rio meminta Losa menemuinya di kafe modern dekat rumah sakit. Rio sudah stand by di meja tengah kafe.
“Ayo, Rio. Nanti kita terlambat,” panik Lisa melihat jam tangan pukul setengah dua.
“Duduk dulu, ini jus jeruk kesukaan kamu.” Rio menyodorkan gelas jus jeruk yang es batunya sudah mencair.
Lisa langsung meneguk jus jeruk cepat. “Ayo.”
“Iya sabar.” Rio mengambil kruk.
Jarak ke rumah sakit hanya tiga ratus meter, jadi tidak masalah jika berjalan santai. Tiba-tiba rintik hujan turun sekian menit menjadi deras. Rio melepas jaket dan memayungkan pada Lisa.
“Kamu gimana? Nanti sakit.”
“Gak papa, Lis. Kamu iket rambut dulu biar gak pusing kepala kena air hujan,” saran Rio.
Lisa menitipkan jaket untuk payung kepada Rio. Ia mencari kuncir rambut di tas kecil yang ia bawa. Kalau keadaan seperti ini hal sekecil kuncir rambut tidak ketemu.
“Lama ah kamu, ayo,” gemas Rio. Ia langsung menggendong Lisa dan membelah jalan raya, agak sepi karena pengendara menepi.
“Rio!” Lisa kaget melihat kruk yang baru saja di pakai Rio di tinggalkan begitu saja di pinggir jalan. Rio membuka pintu mobil dan memasukkan Losa terlebih dahulu.
“Kamu bisa jalan? Bisa lari?”
“Iya dong.”
“Kok bisa? Bukannya kata dokter.”
“Aku belajar berjalan di rumah, naik turun tangga sama Joana. Papa selalu dampingin aku kalau lari di halaman. Selama dua minggu ini aku berusaha keras untuk suprise-in kamu. ”
“Terus kruknya?”
“Ya aku cuman pura-pura pakai itu supaya kamu percaya kalau hari ini terapi.”
“Rio, aku seneng banget akhirnya kamu bisa jalan. Aku gak percaya secepat ini bahkan dokter salah diagnosis kamu.”
“Satu lagi aku mau kasih sesuatu buat kamu.”
“Apa?” Lisa sudah tersenyum tidak sabar. Rio mengambil dua kertas ukuran persegi panjang kira-kira dua puluh lima sentian.
“Tiket liburan ke Sumba.”
“Beneran? Sumba? Kita berdua?”
“Iya Sayang.”
Lisa girang langsung memeluk Rio. Gagal pergi ke Sumba karena Rio kecelakaan sekarang Rio membeli dua tiket trip ke Sumba berdua.
“Kita pergi besok, hari ini kita ke Bi Nia kita izin.”
“Aku gak bisa ngungkapin betapa senengnya. Kamu udah normal dalam dua bulan, sekarang kita ke Sumba. Kamu coba sentuh ini.” Lisa meraih tangan Rio dan menempelkan di dadanya. Irama jantung Lisa berdegup cepat.
***
Hanya membawa dua tas tidak besar. Mereka melewati garbarata bersama penumpang lain dengan tujuan Sumba. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari hari ini dan nanti mereka di Sumba beberapa minggu. Sengaja agak lama untuk sama-sama memenangkan diri setelah banyak kejadian menimpa. Pesawat mulai mengudara, Lisa menempatkan kepalanya di bahu Rio. Tangan mereka saling menggenggam, setelah badai pasti pelangi datang.
***

KESAN TEMU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang