Prolog

259 56 9
                                    


Sekali lagi.

Suara tamparan itu merasuk ke gendang telinga. Rio memicingkan mata. Menyesal sekali mengintip pertengkaran kedua orangtuanya. Ini yang ketiga kali ia melihat papa menampar mama dengan rasa tidak berdosa. Mereka tidak ada yang mau mengalah. Mereka pikir baik untuk anak SMA melihat adegan seperti di sinetron? Apa mereka tidak bosan memainkan drama hampir setiap malam. Menyebalkan, kenapa juga air mata harus menetes melihat mama meringis kesakitan karena tamparan papa. Padahal selama ini mamanya itu juga egois, tidak mau mengalah.

"Mas! Aku juga ingin punya uang sendiri!"

"Jadi kamu ngerasa kurang dengan uang yang selama ini aku kasih!!"

"Mau sampai subuh kalian bertengkar?" Rio sengaja lewat dengan gelas air putih menuju dapur. Mereka diam sejenak. Tatapan mereka beralih ke Rio.

"Kamu liat! Rio aja lebih dewasa daripada kamu!"

"Jadi kamu nyalahin aku! Sikapku kayak anak kecil gitu!" bentak mama.

Rio berusaha tidak mendengar mama dan papa yang saling membentak. Bibi duduk di meja dapur dengan sesenggukan, mungkin perempuan lebih merasakan semuanya dengan hati.

"Bibi tidur aja. Gak penting dengerin mereka, gak ada gunanya."

Rio keluar dari dapur, mereka masih adu bentak.

"Buat apa sih kalian saling bentak! Gak ada nyaman-nyamannya rumah ini! Lagian ini juga udah jam dua belas lebih! Mau tidur aja gak bisa!" Dia menatap mama dan papa datar.

"Rio! Kamu sadar bicara apa!" Sepertinya papa tidak terima dengan pernyataannya.

"Sadar! Memang 'kan? Bibi aja juga gak bisa tidur gara-gara kalian? Apa sih yang kalian masalahkan, ha? Bangga punya uang sendiri-sendiri? Kapan aku punya Mama yang bisa ambil rapor semesteran kayak anak-anak lain. Kapan juga aku punya Papa yang nganter surat izin ke sekolah kalau anaknya sedang sakit di rumah."

Lengang sesaat di antara mereka. Sepertinya perkataan Rio bisa dipahami mereka.

"Tanya Mamamu! Kalau aja gak ngotot kerja juga, gak akan seperti ini." Papa kembali emosi. Sepertinya terkaan Rio salah. Pikiran papa berbeda dengannya. Sebelum mamanya membalas tudingan papa, ia berlalu naik ke kamar.

***

Jika boleh mengulang waktu, ia tidak ingin bersekolah di tempat ini. Gelarnya saja sekolah internasional, buktinya tidak ada satu pun siswa yang mau mendekat. Kabarnya sih, dia terkenal dengan raja dingin dan acuh. Apa pun yang terjadi dia tidak peduli. Sekalipun sekolah geger dengan teror bom, dia tetap jalan lurus. Atau mungkin karena anak-anak di sini takut dengan Rio. Pemilik cacatan panggilan orangtua terbanyak, hampir setiap hari beradu pukul di kantin dengan berbagai kalangan, bahkan hampir setiap minggu masuk ruang bimbingan.

"Rio, Miss Ovio calling you," kabar salah satu temannya saat ia baru menaruh tas.

"Say! Rio is absent." Ia kembali mengambil tasnya dan pergi.

"You want absent today? Follow me!"

Miss Ovio sudah di depan pintu. Rio memalingkan mukanya, malas berhadapan dengan wali kelasnya itu. Jika seperti ini mau tidak mau ia harus ikut Miss Ovio ke ruang kepala sekolah. Inilah hal yang paling menjengkelkan.

KESAN TEMU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang