Bagian 9

36 31 2
                                    

Pertengkaran itu sampai malam. Semuanya dibahas, bahkan soal Rio yang sering mendapat ulah, dan Glen bertahun-tahun hidup di jalanan. Mamanya sangat marah karena mengungkit keburukan anak-anak. Bibi berkali-kali mengusap bawah mata dengan lengan bajunya. Hening seperti sebelumnya lebih baik. Mama terus mengejar meminta papa mengerti dengan orang-orang rumah, sebagai respons, papa sibuk memikirkan semua profit kantor. Sudah, tidak ada habisnya.

***

Masih pukul  tujuh pagi, mobil hitam yang semalam terparkir di garasi susah tidak ada. Bibi mencuci sayuran sambil melihat Karin melamun di kursi meja makan. Terlihat tertekan, matanya merah dan berkantung, rupanya semalam tidak tidur. Perawakan kurus yang biasa dibalut gaun indah, pagi ini memakai baju tidur bekas semalam.

“Ibu minum dulu, ya.” Bibi menyodorkan segelas air putih.

“Makasih, Bi. Anak-anak udah turun? Cepet bikin sarapan, walaupun mereka gak pernah sarapan.”

“Iya, Bu. Saya antar ke Nak Rio dan Nak Glen, ya,” tawar bibi.

“Enggak usah. Saya saja yang naik panggil mereka. Rio juga waktunya sekolah.”

Glen turun tangga menggulung lengan kemeja. Agak jauh Rio dengan muka judes memasang jam tangan. Mereka turun hampir di jam yang sama.

“Gue berangkat sendiri, ojol udah di depan. Lo temenin Tante Karin aja,” ucap Rio tanpa menoleh dan langsung menuju pintu.

Glen meletakkan kunci mobil di meja makan. Kosong, itu yang terlihat dari tatapan sang mama.

“Ma, aku sama Rio ada di samping Mama. Udah jangan pikirin papa, ya.”

“Mama jadi tahu, Hana stress gara-gara ini.”

“Glen gak akan biarin Mama stress. Ayo, Glen anter ke kamar. Mama harus istirahat.”

Bibi berkaca-kaca di dapur. Baru tahu kalau Glen sangat perhatian. Petir semalam mendatangkan lebih dalam sunyi sekarang. Terulang pada nyonya baru rumah ini.

***

“Glen mana?” tanya Joana langsung saat Rio turun dari motor ojol.

“Lo punya smartphone ‘kan? HP lo aja smart, masak lo enggak?” judes Rio langsung pergi.

“Ihh!” kesal Joana.

Terlihat Akbar baru masuk kelas, artinya Lisa sudah aman di kelasnya juga. Rasa kesal masih belum terbalaskan soal kemarin. Makanan empuk itu sudah datang dan berlagak membaca buku di bangku, padahal iris matanya meniti tiap perlakuan teman-teman di kelas. Tidak tunggu lama, dan tidak peduli dengan reaksi teman sekelas, Rio langsung membanting tasnya ke depan Mira. Kelas mendadak hening, pandangan beralih padanya.

“Gue gedeg sama tingkah lo!” sarkasnya langsung.

Mira mendongak, menatapnya polos seperti tidak terjadi apa-apa.

“Gue colok mata lo! Sok polos—“

“Udah men, tenang dulu.” Akbar merangkul pundak Rio.

“Gue cukup tahan sama semua whatsapp lo yang murahan!”

“Kalau ada masalah bicara baik-baik,” jawab Mira. Sangat lembut.

“Sikap gue kurang baik apa, ha! Jangan sembunyi di balik penampilan lo yang culun, padahal sifat lo kayak iblis!”

“Men, cewek.” Akbar meraih tas Rio. Menyuruh teman sebangkunya pindah tempat ke samping Mira. “Lo duduk di sini sama gue.” Akbar menarik tangan Rio.

Kelas bergemuruh membicarakan sikap Rio barusan. Mereka tidak kaget kalau Mira sering mendapat labrakan dari berbagai kalangan. Mira memang berpenampilan culun, semua guru mengenalnya karena Mira sumber informasi semua murid. Makanya, tidak ada yang mau duduk sengat Mira sampai Rio datang.

KESAN TEMU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang