Dua setengah bulan berlalu. Cepat rasanya karena di tempat pelatihan mengerjakan banyak hal. Hari ini Lisa bisa kembali ke rumah, masanya dipercepat karena tidak ada catatan buruk selama menjalani pelatihan. Segera ia mengurus berkas dan mengambil ponsel di kantor penjagaan. Pakaiannya sudah dikemas rapi karena hanya membawa lima pasang dan tidak ada barang merepotkan lainnya.
Halte bus yang sudah tidak berfungsi menjadi pijakan pertama setelah keluar dari tempat pelatihan. Ia membuka ponsel dan mengaktifkan paket data, penasaran selama ini apa saja yang menunggu di sana. Ratusan pesan dari Rio, setiap hari rupanya mengirim pesan berisi curhatan di sekolah. Akbar hanya mengabari beberapa kali, adiknya ini tidak ingin bersikap berlebih seperti Rio.
Masih membaca semua pesan selama dua bulan dari Rio, hatinya berbunga melihat beberapa foto selfie Rio yang kirim. Mengerjakan matematika sendiri, foto pernikahan Joana dan Glenn, membantu mamanya di dapur, dan masih beberapa lagi. Tetapi menginjak bulan Agustus tidak ada pesan pesan masuk. Pesan terakhir tanggal 31 Juli. Mungkin Rio bosan mengirim pesan tanpa ada balasan, Lisa tetap tersenyum melihat tingkah Rio pada foto-foto yang dikirim.
Nomor whatsapp tanpa nama masuk, mengirim video berdurasi tiga menit tertanggal 16 Juli. Lisa membuka potongan video tersebut, Rio menggandeng tangan Mira naik panggung dengan irama romantis. Apa-apaan ini, dadanya langsung sesak. Kembali membuka pesan Rio di tanggal 16 Juli, foto itu diambil di atas panggung sambil memegang microphone bertulis ‘calon bupati nih mau pidato' panggung itu persis pada video.
“Halo, Bar, di mana?” Lisa tak srantan langsung menghubungi Akbar.
“Di sekolah, kok bisa telepon?”
“Iya sama petugas dikasih kesempatan main HP. Rio mana?” tanya Lisa langsung.
“Tadi dipanggil Bu Alma, gak tau kayaknya masalah lagi sama Mira.”
“Oh.”
Tanpa menunggu Akbar menjelaskan lagi, Lisa langsung menutup telepon. Air matanya benar-benar tidak bisa ditahan. Kenapa Rio dengan mudah menggenggam tangan Mira. Ya, mungkin itu hanya latihan untuk acara apa, tetapi setidaknya menghargai perasaannya.
Lisa memesan ojek online pergi ke salah satu coffee shop terlebih dahulu, hatinya tidak tenang setelah melihat Rio dan Mira, ditambah Akbar bilang Rio dipanggil Bu Alma karena bermasalah dengan Mira. Huuh ayolah pikirkan sesuatu yang positif tentang Rio.
Sampai di coffee shop, setelah affogato datang Lisa masih menatap luar jendela dengan perasaan ingin menangis. Sudah lupakan, mungkin ia yang berlebihan menanggapi video tersebut. Ia membuka instagram, siapa tahu unggahan foto di sana menghibur hatinya saat ini yang tidak terima dengan video barusan.
Baru saja laman terbuka, tiga foto dalam satu postingan membuatnya langsung menangis, bukan tidak sengaja kalau ini. Apalagi postingan itu jelas di akun Rio. Berkali-kali ia mengusap air mata, dadanya semakin sesak.
Affogato itu utuh, tidak selera lagi meminum kopi dengan ice cream vanila kesukaannya. Rio sendiri yang menembaknya sebelum pembacaan pledoi, bahkan menemainya sampai petugas menjemput. Apa yang ia lihat sekarang? Dari awal memang salah terlalu berharap kepada Rio yang secara kasta jauh lebih tinggi darinya.
Meminta penjelasan dari Akbar pun rasanya percuma, yang ada Akbar membela kalau Rio tidak seperti itu. Ia sudah melihat semuanya sendiri, jadi tidak perlu penjelasan apa pun lagi. Sampai satu jam tanpa menyentuh affogato hatinya sudah mulai stabil, ia meninggalkan coffee shop dan langsung pulang ke rumah.
Selama perjalanan pulang, beberapa kali matanya panas ingin menangis, sebisa mungkin menahan, tidak ada gunanya menangis untuk hal yang bertepuk sebelah tangan. Lima belas menit berjalan, sampai di gang menuju rumah.
Menjelang petang jadi tidak ada orang yang melihat. Sehari penuh ini ia menahan tangis agar tidak lepas saat bertemu orang-orang di rumah. Ibu kebetulan masih berusaha membuka kunci pintu rumah, baru pulang dari toko.
“Bu.” Lisa menjajari posisi ibunya. Langsung memeluk.
“Lisaa, kamu sudah pulang kenapa gak bilang? Ibu bisa jemput kamu.” Ibu bahagia sekali memeluk Lisa erat.
“Lis ....”
Akbar baru pulang juga dari sekolah. Dia pulang sendiri tanpa Ane atau Rio. Lisa juga langsung memeluk Akbar. Untung saja Lisa sudah menyusun air mata agar tidak tumpah, lihat mereka bahagia sekali.
***
Pukul sembilan malam. Lisa duduk di kursi kayu luar rumah, senyap, rasanya tenang sekali menikmati udara malam sendiri.
“Lo gak ngabarin Rio?” tanya Akbar ikut duduk di samping Lisa.
“Enggak. Aku belum siap. Kamu jangan kabarin siapa pun, ya, termasuk Ane.”
“Kenapa?”
“Aku cuman pingin mereka terbiasa tanpa aku. Aku tadi udah ngomong sama ibu, paling seminggu lagi aku berangkat ke Sumba. Pelatihan anak di sana lagi butuh alumni buat bantu-bantu. Lumayan gajinya bisa buat kita pindah kota juga. Kita tinggalin kota ini.”
“Lo yakin mau berangkat ke Sumba secepet ini tanpa ngabarin Rio?”
“Iya, Bar. Aku rasa kita udah cukup ngerepotin mereka. Kita harus berdiri sendiri.”
“Gue gak yakin kalau lo gak ngabarin Rio deh, lo gak lagi patah hati ‘kan? Atau gara-gara gue tadi bilang Rio dipanggil Bu Alma karena masalah sama Mira?” Akbar memberondong. Sepertinya Akbar curiga dengan sikap Lisa yang tidak mau mengbari Rio.
“Iya, aku mau Rio pun terbiasa tanpa aku. Aku gak mau ngebebanin dia dengan masalah ekonomi kita.”
Sampai larut, Lisa banyak bercengkrama dengan Akbar. Pembicaraan mereka banyak mengarah untuk masa datang, sebisa mungkin menghindari membahas Rio dan keluarganya. Walau keras kepala, akhirnya Akbar mau meninggalkan kota ini setelah lulus SMA dan kuliah di tempat baru, atau mengikuti Lisa ke Sumba.
***
Pagi ini Lisa pergi ke konter membeli nomor ponsel baru. Semua yang berhubungan dengan orang lama ia tinggalkan, menyisakan nomor Akbar dan beberapa nomor penting berkaitan dengan pekerjaan barunya di Sumba. Uang dari Akbar bisa digunakan untuk membeli beberapa potong pakaian baru yang murah-murah saja. Uang itu harus cukup setidaknya untuk satu bulan di tempat baru.
Sekarang ia masuk tukan potong rambut di ujung gang sekolah, rambutnya setara dengan pinggang, kali ini akan dipangkas sejajar bahu. Rio pernah bilang dia suka gadis berambut panjang yang tergerai, baik ia akan memotongnya agar perkataan itu cepat hilang juga dari ingatannya. Yang ia masuki bukan salon mewah seperti yang dipilih perempuan lain. Tukang potong rambut seharga lima ribu. Harganya yang murah itu jadi agak antre dengan anak-anak sekolah dasar.
Sepulang dari memangkas rambut, ia pergi ke toko baju laki-laki untuk membelikan Akbar kaus. Beberapa kaus adiknya itu sudah rusak karena terlalu sering dipakai. Tidak ada salahnya membeli satu potong untuk dipakai bekerja di toko Ane.
Deretan baju di ujung menarik, Lisa berniat untuk memilih di sana. Tiba-tiba Glenn dan Joana muncul dari balik ruang ganti. Oh sial, langsung saja ia memalingkan badan dan keluar dari toko. Sekalipun mereka berdua sudah menikah, tetap mereka adalah orang lama yang akan merusak kehidupan barunya nanti.
Berjalan sambil mempercepat langkah karena beberapa ruko lagi adalah toko milik Tante Karin, ia juga tidak mau bertemu dengan wanita super baik itu. Rasa bersalah sebenarnya memenuhi relung, karena bantuan Tante Karin yang membayar pidana puluhan juta itu dirinya mendapat hukuman ringan, karena Tante Karin juga memberi ibunya pekerjaan yang gajinya lebih dari cukup untuk menghidupi keluarganya.
Sekarang masuk toko baju lain, terlihat agak ramai memang. Tanpa banyak berpikir ia mengambil satu potong paling dekat dengannya dan langsung membayar di kasir.
Tidak terasa pukul dua siang, pasti sekolahnya baru selesai pelajaran. Ia buru-buru pulang, jika masih keluyuran di luar banyak temannya yang tahu apalagi sampai Mira memergokinya asyik menikmati udara panas kota ini, pasti fotonya akan terpampang di laman instagram dan menjadi konsumsi seluruh murid. Jangan lupa dengan caption membuat darah mendidih saat membacanya.
***
Hari ketiga setelah bebas, kali ini agak siang Lisa pergi ke tempat travel, pukul sepuluh baru bisa menyusur jalan karena beberapa data harus diselesaikan dan dikirim ke Sumba. Fix, tiga hari lagi ia berangkat ke pulau itu.
Saat di mini market tiba-tiba Ane di rak makanan ringan mengambil beberapa bungkus camilan sambil bermain gawai. Ia langsung beralih ke deretan bumbu masak berpura-pura memilih aneka bumbu instan. Tujuannya ke mini market hanya membeli minum, setelah Ane keluar akhirnya bisa bernapas lega dan berdiri di antrean agak panjang kasir.
Dari pintu masuk tiba-tiba Rio datang dan menunjuk rokok di belakang kasir. Lisa langsung keluar dari antrean menuju deretan bahan mentah berpura-pura memilih sayur. Ada apa dengan hari ini dalam satu waku bertemu dengan dua orang.
Setelah membayar air minum, Lisa celingukan di depan mini market was-was semisal Ane atau Rio melintas. Aman, ia berjalan santai seraya membuka tutup botol air mineral.
Langkahnya kembali terhenti, persis di depannya Rio menuntun Joana memasuki toko perlengkapan bayi. Kandungan Joana terlihat besar karena memakai celana, mungkin Glenn sedang memantau kantor bersama Tante Karin jadi Rio yang menemani saudara iparnya belanja kebutuhan bayi.
Lisa kembali ke jalan yang dilalui tadi, tidak ingat kalau hari ini Minggu, semua orang bebas pergi ke mana pun tanpa harus bolos sekolah. Baik, sekarang menunda acara pergi travel dulu, besok saja hari Senin. Kali ini tidak mau bertemu dengan banyak orang
***
“Lis, lo gak mau pikirin lagi soal Sumba?” tanya Akbar pagi ini. Lisa sudah bersiap mencari tiket travel bus.
“Iya, Bar. Nanti kalau kamu lulus cepet nyusul ke sana sama ibu dan adik-adik, aku yang urus semua biayanya.”
“Iya iya, ujian aja belom. Satu tahun lagi, Lis.”
Lisa tahu sebenarnya Akbar mengarah pada mengapa tidak mengabari Rio kalau dalam beberapa hari ke depan berangkat. Secepatnya ia mengalihkan topik membicarakan kuliah Akbar.
Setelah Akbar dan adik-adik pergi sekolah, ibu juga berangkat ke toko Lisa mengunci pintu rumah. Hari aman untuk berkeliaran di jalan, semua temannya sekolah bahkan akan menjadi hari paling menyebalkan karena tugas menumpuk juga ektrakurikuler padat hari ini.
“Untuk hari Rabu ke Sumba ada?”
“Tiket bus sampai hari Minggu sudah penuh, kami punya penawaran lain. Tiket pesawat tersedia untuk hari Kamis, dan tiket minibus juga tersedia siang ini, fasilitas minibus antara lain AC, hanya memuat lima orang termasuk supir, dan makan full tiga kali sampai kota tujuan. Jadwalnya pukul setengah satu siang.”
Baiklah, ia mengambil travel minibus dengan harga tiga puluh persen lebih mahal dari tiket bus. Yang penting cepat sampai di Sumba.
Sekarang ia pergi ke tempat ibu untuk memberitahu keberangkatannya sekalian berpamitan. Tidak akan bertemu Rio atau Glen karena hari Senin harus hadir lebih awal di sekolah untuk upacara. Rasanya lega sekali. Keluar dari agen travel ia berjalan santai sambil melihat padatnya kendaraan.
Glen dan Joana membeli pecel di salah satu tenda pinggir jalan, ia kaget langsung menepi dan berjalan menunduk sampai di depan mini market. Tenggorokannya kering niat hati ingin sekadar membeli minum, tidak, kemarin sudah bertemu Ane dan Rio hampir bersamaan. Siapa lagi yang akan ditemui kalau masuk sana.
“Kalau ngendap-ngendap tuh pakai topi.”
Seseorang memakaian topi di kepalanya. Ia menoleh. Rio berseragam putih-putih sepertinya berangkat terlambat karena mengantar Joana dan Glenn, buktinya kunci mobil ada di tangan Rio.
“Kenapa gak bilang kalau keluar dari pelatihan? Gue bisa jemput.”
“Emang penting ya, buat kamu?” jawab Lisa. Kalau bertemu seperti ini hatinya akan luluh dan rasa itu tidak butuh waktu lama akan tumbuh.
“Lo nanya penting atau enggak? Menurut lo?” nada Rio tinggi.
Glen dan Joana tampak mendekat sambil tersenyum melambai girang melihatnya bersama Rio.
“Siang ini aku berangkat ke Sumba. Kita gak bisa terus kayak gini, aku mau semuanya cukup sampai sini.”
“Apaan sih, lo?! Gak ada berangkat ke Sumba.”
“Kamu gak punya hak buat ngatur aku harus pergi ke mana. Jalanin hidup kita masing-masing.”
“Gue berjuang mati-matian bela lo, lindungin lo, berusaha ngebebasin lo dari persidangan. Dan sekarang lo ninggalin gue gitu aja? Gak waras lo, Lis.” Rio mengerutkan dahi sambil emosi, tangannya menggenggam lengan Lisa.
“Lo mau ngapain di Sumba?” Glen menyela.
Ini akan menjadi pertengkaran panjang, pengguna jalan lain sudah mengalihkan pandangan pada dirinya.
“Jawab gue sekarang! Lo keluar tanpa ngabarin gue. Sekarang mau Sumba juga gak ngabarin gue? Lo punya masalah apa sama gue??” cecar Rio. Joana serius memerhatikan Lisa rupanya ingin tahu alasan ke Sumba.
“Masalahnya ada di kamu, Rio! Gak ada satu hari pun di tempat pelatihan mengeluh karena ingin cepat keluar dan ketemu kamu. Setiap hari pikiranku bukan ibu atau adik-adik tapi kamu! Hampir tiga bulan aku nahan semua ceritaku buat kamu, ada gak sih orang gak waras kayak aku yang mikirin orang lain, sayang sama orang lain melebihi sayang ke keluarga sendiri!” Lisa mengeluarkan ponsel, membuka sesuatu dan langsung menunjukkan pada Rio “Kurang jelas apa posting-an instagram kamu! Kamu dansa sama Mira, kamu makan berdua sama dia. Masih aku masalahnya? Aku emang gila karena masih cinta sama kamu, Rio!”
Rio mengambil gawainya di saku, membuka akun instagram miliknya. Tiga tahun akun itu tidak pernah mengunggah apa pun, bulan lalu postingan itu muncul. Foto-fotonya dengan Mira.
“Terima kasih semua kebaikan keluarga kalian Glenn. Aku mau memulai hidup baru di Sumba.” Lisa langsung pergi. Rio masih tidak percaya berkali-kali me-refresh akun instagram itu.
Punggung Lisa sudah hilang di ujung jalan. Glen ikut melihat posting-an akun instagram Rio di gawai Joana.
“Gue percaya sama lo, kejar Lisa, Rio.” Joana menepuk pundak Rio.
Tubuh Rio benar-benar terguncang. Banyak yang ia lalui dengan gadis itu sampai hubungannya resmi berpacaran. Ia langsung masuk mobil tanpa memedulikan Joana dan Glen berusaha menenangkan. Tujuannya hanya Mira. Masih pukul setengah tujuh jadi sekolah belum memulai pelajaran.
Sampai di sekolah, mobil ia memarkir di pinggir jalan seenaknya tidak peduli jika ada mobil lain akan masuk lewat pagar besi. Wajahnya merah padam dengan napas naik turun, langkahnya lebih cepat menuju kelasnya. Semua murid sedang di teras kelas menunggu upacara dua puluh menit lagi. Sangat kebetulan.
BUGH!
Hantaman itu langsung ke wajah Mira yang berdiri di dekat kursi pualam. Kesabarannya sudah habis tidak peduli siapa yang dihadapi sekarang. Akbar yang juga di teras kelas bersama Ane langsung meraih tubuh Rio. Sedang Mira tersungkur di lantai sambil meringis hidungnya keluar darah. Seketika riuh murid-murid lain mengerubungi.
“Tahan men, cewek yang lo gampar,” tahan Akbar.
“Diem lo! Kenapa lo gak bilang kalau Lisa udah keluar dan siang ini berangkat ke Sumba! Anjing!” Rio mendorong dada Akbar dengan mata melotot.
Akbar membeku, Lisa berangkat hari ini juga bahkan tanpa menunggu dirinya pulang sekolah.
“Lo kalau emosi—“
“Lo juga diem!” Rio memotong Ane yang akan memaki.
Rio mengangkat kerah Mira ke atas, gadis sok cupu di depannya gelagapan karena tercekik baju. Satu tangan Rio menunjukkan postingan foto di akun milik pribadinya.
“Gue gak perlu ngomong panjang-panjang soal ini. Lo murah!”
“Itu akun instagram lo sendiri, Rio,” teriak Valery dari belakangnya. Rio langsung melempar Valery dengan gawai di genggamannya. Jidat Valery berdarah dan gawai Rio pecah.
“Gara-gara lo cewek yang gue sayang ninggalin gue! Lo hack akun gue dan posting foto sialan itu! Gak sekalian lo bunuh gue sekarang, bangsat!!! Gue mati-matian berjuang buat lepasin Lisa dari semua tuduhan pembunuh dan bayar pidana dia karena gue cinta, gue sayang sama dia! Lo dengan sikap sampah dan lancang posting foto yang bikin dia sampai pergi ke Sumba!! Lo yang gue bunuh sekarang!”
Cekikan Rio semakin kuat, wajah Mira memerah dan napasnya berjarak. Teman-teman yang melihat bersiuh meneriaki Rio karena kelewatan. Akbar langsung memeluk tubuh Rio dari belakang dan menjauhkan dari Mira. Di sana Mira pingsan dengan hidung mengalir darah.
***
Pukul satu siang, Lisa sudah setengah jam perjalanan dengan duduk di kursi paling belakang. Dari tadi Akbar menelepon pasti Rio mengintrogasi di sekolah. Mobil ini hanya diisi lima penumpang dengan tujuan Nusa Tenggara Timur semua. Satu bapak-bapak duduk di depan dengan supir. Remaja usia SMP dan neneknya di kursi tengah dan terakhir di dirinya.
Masuk kota baru, hujan mengguyur deras kota ini jadi laju mobil agak dilambatkan. Satu-satunya yang ia dekap adalah topi pemberian Rio tadi. Harusnya Rio mengejar setidaknya menjelaskan kalau foto itu salah walaupun jelas terunggah di akun pribadi Rio. Ah, sudahlah tidak akan habis kalau memikirkan foto itu yang penting sekarang mereka tidak akan masuk dalam kehidupan barunya.
***
“Rio udah ketemu?” Glenn menelepon Akbar.
“Belum. Ini gue sama Ane masih nyari di sekitaran rumah lama kalian,” kabar Akbar menyurutkan Glenn dan Joana.
“Yaudah kabarin lagi nanti.”
Glen menutup sambungan telepon. Sampai pukul lima sore Rio tidak bisa dihubungi semenjak kejadian Mira. Pihak sekolah memanggil mamanya untuk bertanggungjawab atas perbuatan Rio karena melukai dua orang. Sekarang mama juga mencari Rio bersama Bi Nia.
“Sayang kamu di rumah aja, ya, sama bibi. Aku gak mau kamu lelah,” rayu Glen kepada Joana.
“Enggak. Aku gak bakal tenang kalau Rio belum ketemu. Dia stres kayaknya gara-gara Mira.”
“Yaudah kita bawa mobil aja.”
“Nyari pakai mobil susah, Sayang. Pake motor aja aku bisa kok posisiin perut.”
“Aku gak mau bayi kita kenapa-napa. Udah ayo pake mobil aja. “
Selama perjalanan Glen berusaha menghubungi teman-teman punk yang mungkin bisa membantu mencari Rio. Anak itu akan melakukan hal nekad seperti bunuh diri karena masalah ini. Buktinya kata Akbar di sekolah pagi ini Rio hampir menghabisi nyawa Mira dan melempar ponsel sampai dahi Valery berdarah.
Ditambah nomor HP Rio sama sekali tidak aktif. Melacak melalui seri HP Rio juga tidak ada gunanya, gawai Rio dibuang begitu saja di dekat pagar sekolah. Mau melapor polisi juga ditolak karena belum 24 jam dinyatakan hilang. Terlebih Rio membawa mobil sport, kemungkinan lain bisa saja Rio mengejar travel Lisa.
“Halo Ma, ini Joana sama Glenn nyari di tempat biasa Rio datangi sama Lisa”
“Kabarin Mama kalau ada info lebih.”
“Iya, Ma.”
Glen menuju jembatan penyeberangan yang tidak berfungsi, terakhir Rio akan bunuh diri di sini. Hasilnya nihil, tidak ada tanda-tanda Rio atau mobilnya di sini. Hari sudah petang, jalanan semakin macet. Secara bergantian mamanya dan Akbar terus menelepon saling memberi kabar.
Rumah markas bekas tempatnya dulu bersama Rio dan yang lain kosong tidak ada siapa pun di sini. Glen menghela napas kasar, putus asa mencari adiknya itu.
“Halo, Ne?”
“Glen kita lagi ngejar mobil Rio. Dia tahu kita buntutin sekarang dia ngebut. Gue share loc sekarang. Cepet nyusul.”
***
Jalan perbatasan kota memang sepi karena bukan jalan utama. Hanya beberapa kendaraan melintas, kebanyakan tangki-tangki besar dan truk pengangkut kayu. Mobil Ane berusaha sejajar dengan mobil sport Rio.
“Rio! Stop!” teriak Ane. Tetap kaca mobil Rio tidak turun yang ada cowok sedang emosi itu menambah kecepatan menyalip deretan truk tebu.
BRAAAKK
Akbar dan Ane langsung menepi segera berhambur saat tahu mobil Rio menghantam pembatas jalan. Di belakang mobilnya, Ane menjerit saat tahu asap mulai keluar dari kap mobil Rio. Dalam keadaan hamil Joana berlari secepatnya menghampiri Rio.
Glen membuka pintu mobil, Rio terjepit kursi dan tubuhnya berlumur darah. Akbar membantu mengeluarkan Rio dari sana. Ane menguatkan Joana agar tidak histeris melihat seragam Rio berubah berwarna merah segar di sekujur tubuh.
“Rio!!!” Joana semakin histeris melihat tubuh Rio dibaringkan di tepi jalan.
Seketika jalan ramai beberapa polisi datang memasang garis batas di sekitar mobil. Jalan juga macet karena posisi mobil separuh jalan.
Sebagian wajah Rio penuhi pecahan kaca depan mobil yang pecah, juga darah segar terus mengalir dari patahan kaca halus yang menempel.
“Kamu masih bisa nyetir ‘kan? Bawa Joana. Aku sama Glen bakal ngebut nyari rumah sakit terdekat.” Akbar memberikan kunci mobil pada Ane. Joana akan sedikit tenang bersama Ane.
“Jangan lupa kasih tahu mama, Jo. Bilang kita perjalanan ke rumah sakit.” Glen mengelus rambut Joana.
Sebenarnya ambulans sedang dalam perjalanan, Glenn menolak karena membawa mobil sendiri. Ambulans pun masih kena macet di jalan, nyawa Rio harus dikejar karna denyutnya sudah berjarak.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
KESAN TEMU
RomanceKesan Temu Saat titik ragu menjadi satu Rio Dewa Wijaya. Dingin, judes, irit bicara. Sesuatu yang membuat kehidupannya berubah karena Lisa. Glen yang dianggap sebagai orang paling mengerti ternyata membawa kenyataan pahit bagi Rio. Lisa sendiri ha...