“Rio, kita mau ke mana?”
Rio tersenyum menanggapi pertanyaan Lisa. Harusnya Lisa juga tahu, percuma bertanya pada es batu Kutub Utara.
Sampai di depan rumah kumuh, lebih tepatnya tidak terawat. Lisa mengerutkan kening, bukan rumah kumuh, tapi seseorang yang ada dalam rumah itu. Satu wajah berpaling menghadap mereka. Sontak Lisa bersembunyi di belakang Rio.
“Udah gak usah takut. Selama lo sama gue, Glenn gak bakal ngapa-ngapain lo.”
Glenn keluar menyambut mereka. Lisa benar-benar ketakutan sampai-sampai mencekram baju Rio.
“Anak-anak lengkap?” tanya Rio.
“Tenang, lengkap semua, kita gak pernah lupa Rio selalu datang hari Minggu dengan kejutan.” Wajah Glenn semringah.
“Lisa kasih kardusnya ke Glenn,” suruh Rio.
Lisa semakin bersembunyi di belakang Rio.
“Lisa, gak papa.”
Rio menarik Lisa ke sampingnya. Gadis itu memberanikan diri mendongak sambil menyerahkan kardus.
“Elo?”
“Maaf.” Lisa langsung lari ke belakang Rio.
“Temen lo kenapa, sih?” Glenn heran.
“Lisa gak papa. Glenn itu sebenarnya baik.”
“Lisa? Heloo?” Glenn menarik tangan Lisa. “Hei, ngapain takut sama gue. Rio udah cerita soal lo.” Glenn tersenyum pada Lisa.
Lisa baru tahu, isi dalam kardus itu adalah nasi bungkus untuk semua teman-teman punk-nya di sini. Mereka menggelar tikar, makan bersama. Lisa melihat Rio ceria di sini. Berbeda dengan di rumah yang bermuka dingin dan galak.
“Ini Lisa, mungkin dia pacarnya Rio.”
Serentak Lisa dan Rio tersedak mendengar Glenn berkata demikian.
“Nah tuh, kesedak aja barengan,” celetuk Glenn lagi.
“Enggak, kita cuman teman, kok.” Lisa menyanggah.
“Iya, dia guru bimbel gue.”
“Gue mau dong, dibimbelin sama Lisa juga,” goda cowok berambut biru perpaduan hijau. Mereka bersurak dengan gombalan temannya itu.
Sambil makan mereka membahas kekonyolan masing-masing. Lisa baru tahu, tak semua anak punk itu buruk dan tukang ngamen di lampu merah. Buktinya mereka yang di sini tidak. Dari cerita, sebagian setiap pagi menjadi kuli panggul beras di pasar, ada yang membantu penjual koran juga. Ditambah lagi, rumah ini meski terlihat kumuh ternyata ada kamar mandi. Lihat saja, setelah makan, satu per satu bergantian mandi.
“Rio, udah jam sebelas. Aku harus jual keset, nanti adik-adikku makan apa?”
Rio melihat jam tangannya kemudian mengangkat alis dan melanjutkan makan.
“Rio, kamu denger aku ‘kan?”
Rio menoleh dan meletakkan air mineral di depan Lisa.
“Rio aku serius. Adikku pasti nunggu aku pulang bawa makanan.”
Cowok es batu itu kembali tersenyum. Lisa memajukan bibir lengkap dengan raut wajah kesal.
“Makan dulu yang kenyang,” suruh Rio.
“Cuman bilang itu? Sama Glenn dan yang lain aja welcome banget, ke aku dingin.”
Rio berdiri, Lisa gegabah ikut berdiri. Semyumnya sudah mengembang.
“Lisa, mau ke kamar mandi juga?” tanya Glen, “gantian dulu sama Rio. Ah! Cieee, mau barengan, ya ....”
Rio malah terpingkal melihat pipi merah Lisa. Teman-teman yang lain ikut bercie-cie.
“Enggak, aku gak ke kamar mandi, mau ini, itu, tapi enggak tau—“
“Kamu ngomong apa, sih?”
“Itu, mau, mau, mau bantuian makan.”
“Ha?”
“Kamu itu lucu, ya. Bantuin makan siapa? Mereka udah pada gede. Atau mau bantuin Rio makan, ya,” goda Glenn lagi.Perjalanan pulang, Lisa tidak tenang. Setiap detik melihati benda pipih di pergelangan tangannya.
“Kamu gak usah khawatir. Kita beli makanan buat adikmu sekarang.”
“Aku gak mau gantungin semuanya sama kamu, Rio. Turunin aku di depan gerbang sekolah, aku mau ambil keset dulu.”
“Lisa, adik kamu di rumah sudah menunggu.”
“Udah Rio gak papa. Mereka bisa sabar, kok.”
Rio membelokkan motornya ke salah satu penjual makanan di pinggir jalan.
“Rio, kenapa sih kamu gak pernah dengerin aku?”
“Kamu mau nasi goreng atau bakmi?”
“Rio!”
“Oke. Pak, nasi goreng dua, bakmi dua dibungkus!”
Lengang sejenak. Lisa mengamati Rio, cowok sedingin es batu ini adalah orang teraneh yang pernah ia kenal. Datang juga aneh, memberinya helm dan membayar uang sekolahnya.***
Rio membuka pintu rumah berpapasan dengan papanya keluar. Muka pria berjas hitam itu merah padam. Tidak ada sapaan dari mereka, ya sama seperti orang yang tidak pernah kenal.
Ruang tamu agak berantakan. Bantal sofa berada di pojok ruang, beberapa frame foto pecah dan kacanya tercecer. Tunggu, satu yang mengalihkan perhatiannya. Tanpa pikir panjang, Rio langsung mendekat.
“Mama kenapa nangis?”
Meski mamanya egois sama seperti papa, tapi ia paling tidak bisa melihat seorang wanita menangis.
“Papamu ....” Mama menunjukkan sesuatu di gadged-nya.
Seketika Rio terdiam, langsung memeluk mamanya. Sekali lagi, beberapa minggu perang dingin, sekarang api itu tersulut lagi. Tidak ada kata dalam pelukan mereka. Rio merasakan mamanya benar-benar terpukul.
Rio mengantar mama ke kamar. Mungkin dengan begini mama bisa sadar kalau ada dirinya yang masih bisa untuk tempat peraduan. Rio menyodori segelas air putih. Sesekali ia berusaha menahan air mata.
“Delapan belas tahun Mama dan papa bertahan dalam pernikahan yang gak jelas. Mama berusaha melupakan semua perbuatan papamu dengan menyibukkan diri. Bukan Mama gak mau urusin kamu, Mama juga punya luka, Nak.”
Ia hanya diam mendengar pengakuan mama. Selama ini ia salah menanggapi mamanya yang sibuk.
“Mama jangan pikirin vidio itu. Sekarang Mama istirahat, ya.”
Rio kembali ke kamar. Glenn menelepon dan mengirim pesan banyak sekali. Kali ini mama yang terpenting, meski sama-sama punya luka, tapi keadaan wanita yang melahirkannya itu terpuruk.
Satu whatsApp masuk lagi, Lisa. Tanpa membaca pesan Lisa ia menekan tanda telepon, nadanya tersambung.
“Lisa ... aku butuh kamu.”
“Rio? Kamu kenapa?”
“Aaah!!!” Rio langsung membanting HP-nya. Banyangan papa dalam HP mama tiba-tiba melintas. Ia sesenggukan memeluk lutut. Sikap sok tegar di depan mama tadi, akhirnya runtuh. Ia hanya remaja usia tujuh belas. Sekuat apa pun egonya, tetap kejadian ini adalah hal paling buruk selama hidupnya.Pukul tujuh malam, waktunya makan malam. Sebelum mengetuk pintu kamar mama ia mengahapus air mata, menegarkan diri. Lirih terdengar mama masih terisak. Ketukan pertama tidak ada jawaban, hingga beberapa ketukan. “Ya udah, Rio bawa ke kamar Mama aja, ya, makanannya.”
Bergegas turun menuju meja makan. Di sana bibi sedang menata beberapa makanan.
“Malam, Bi.”
“Malam, Nak Rio.” Bibi heran, tumben sekali anak muda itu menyapa memberi ucapan selamat malam.
“Bi, tolong bantu bawa makanan ke kamar mama, ya. Mama kasian, pasti capek banget.”
“Eh, iya, baik Nak Rio.” Senyum bibi mengembang mendengar Rio meminta tolong membawakan makanan untuk mamanya, akhirnya hubungan anak dan ibu itu membaik.
Rio antusias membawa piring nasi ke kamar mamanya. Bibi pun juga bahagia. Sampai di depan pintu Rio kembali mengetuk, tetap tidak ada jawaban. Hampir lima menit berusaha mengetuk, tetap saja tidak ada jawaban.
“Mama baik-baik aja ‘kan di dalam?” Rio khawatir
“Mungkin tidur, Nak.”
“Sebelum ke bawah, aku masih denger mama menangis, Bi. Tolong pegang.” Rio memberikan piring nasi.
Ia mendobrak pintu sekuat tenaga. Semoga bibi benar mama sedang tidur. Akhirnya pintu kamar terbuka. Seketika nampan berisi air dan piring jatuh.Bibi histeris melihat wanita yang memberinya pekerjaan berlumur darah. Jelas sayatan di pergelangan tangan kanan dan tusukkan di perut.
Rio lemas dan terjatuh di lantai, tak percaya. Mama benar-benar tidur lelap dan melupakan semua lukanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KESAN TEMU
RomanceKesan Temu Saat titik ragu menjadi satu Rio Dewa Wijaya. Dingin, judes, irit bicara. Sesuatu yang membuat kehidupannya berubah karena Lisa. Glen yang dianggap sebagai orang paling mengerti ternyata membawa kenyataan pahit bagi Rio. Lisa sendiri ha...