Bagian 1

166 52 5
                                    


       

           “Papa gak punya waktu untuk ladeni masalah-masalah kamu ini. Tolong jangan seperti anak kecil, Papa banyak urusan!” Papanya berlalu menancapkan gas mobil. Harus seperti apa dia berusaha membuat orangtuanya sadar kalau ada anak di antara mereka. Rio tak berekspresi apa pun. Percuma, sedari dulu memang seperti ini.
Malas melanjutkan kelas, Rio membawa tasnya keluar lewat pintu belakang. Miss dan Mr yang akan mengajar selanjutnya juga pasti mengomel, apalagi kalau bukan soal dirinya yang baru saja adu pukul dengan senior di kantin. Tentu saja ini bukan kali pertama seperti ini. hampir setiap minggu. Papanya tadi juga tumben hadir saat ditelepon pihak sekolah.
Banyak anak yang melihatnya keluar mententeng tas dan memanjat gerbang setinggi tiga meter. Mereka diam saja. Siapa yang tak kenal Rio, pembuat ulah, introvert¬, bahkan hampir tak pernah bersapa dengan siapapun. Rio juga tidak pernah peduli dengan kejadian sekitar.
Ia mengambil motor di area gapura. Meskipun ada kamera pengawas, tetap saja dia mengeluarkan motor dari parkiran. Tidak pulang ke rumah, ia menuju tempat teman-temannya. Kumpulan anak punk. Di sana ia disambut ramah, dan merasa dianggap ada.
“Kali ini siapa yang menang? Lo atau lawan lo?” tanya Glenn, ketua anak punk. Glenn hafal dengan Rio, jika sepagi ini datang dan masih berseragam pasti kabur karena habis berantem.
“Tau ah, rese!”
“Kenapa lo gak gabung sama kita aja. Bebas, men, gak ada yang ngomel dan banyak aturan kayak di sekolah lo.”
“Gue masih waras.”
Jawaban Rio membuat Glenn mengernyit. Ia jarang membuka mulut, tapi matanya seperti memikirkan banyak hal. Ia merebahkan tubuh di kayu panjang markas mereka.
“Men, ayo. Ngilangin jenuh, nih,” panggil Glenn. Mereka sudah menggelar tikar dan menata beberapa botol.
“Males.”
“Ayolah,” ajak yang lain
“Ah, gue mau tidur aja.” Rio memalingkan badan.
Hari mulai sore, Rio yang baru bangun dari tidur tiba-tiba Glenn meminumkan sesuatu kepadanya. Beberapa kali. Sudah terlambat, air itu masuk dalam tubuhnya, dasar Glenn. Padahal nyawanya belum utuh, sekarang malah setengah sadar. Ia mengambil tas dan keluar buru-buru pulang sebelum dirinya benar-benar kehilangan kesadaran.
Sampai di depan gerbang rumah, ia langsung turun dan melempar kunci motor pada salah satu sopir di rumahnya. Sudah ia tak kuat berjalan tegak.
“Bi!!! Bukain cepet!” Bayangannya kabur tak jelas. “Bi!!!!” teriaknya sekali lagi. Akhirnya pintu rumah terbuka, ia menyerobot masuk tak peduli siapa yang membuka pintu. Ia meleparkan tas dan merebahkan tubuh di sofa ruang tamu. Bibi mendekat mengambil helm yang dilemparkan sembarangan, juga tas.
“Nak, ayo dilepas dulu seragamnya, nanti kalau nyonya tau, Nak Rio bau alkohol, Nak Rio dimarahin lagi.”
“Ah, peduli apa dia soal gue!”
“Kamu mabuk lagi.” Mama Rio keluar dari dapur.
Dalam kondisi setengah sadar, Rio bangkit menghadap Mamanya.
“Apa.” Rio menantang.
“Mau jadi apa kamu?”
“Gak di sekolah gak di rumah pertanyaan itu mulu!” Dengan sempoyongan Rio pergi ke kamarnya di atas.
“Rio!! Terserah!! Mama capek ngadepin kamu!!”
Rio tak menoleh. Hari ini ia tak ingin memporak-porandakan isi rumah karena omelan mamanya. Bibi hanya memberesi barang-barangnya yang tergeletak. Takut dengan Rio yang dalam keadaan setengah, bahkan hampir tidak sadar. Pernah waktu itu bibi mencoba membuntuti Rio ke kamar, malah dia jadi korban amukan Rio. Sejak itu bibi takut mendekat.
***
Sepagi ini rumah sudah sepi, sarapan masih utuh tapi dua mobil di garasi sudah tidak ada. Ia duduk di meja makan, melihat sekeliling, tidak ada orang. Langsung saja berangkat tanpa sarapan.
Ia menepi di pinggiran jalan arah sekolah. Baik, sepertinya salah kostum. Hari ini hari Jumat, hari bebas seragam, tapi ia malah memakai seragam kemarin. Masih mematung di tempat, malas juga masuk. Di kelas pasti teman-temannya berkerumun membicarakan satu sama lain. Apalagi anak-anak cewek.
Ia merapatkan jacket dan berbalik arah, entah akan ke mana. Tak mungkin ke tempat Glenn, bisa-bisa mereka mengerjainya lagi. Tujuan masih ngambang tiba-tiba rintik hujan turun. Buru-buru menepi dan celingukkan, bingung tempat apa.
“Tolong, Pak. Saya masih ingin belajar.”
Suara itu mengalihkan perhatiannya. Lihat, di sana tampak gadis berseragam putih abu tengah memohon pada satpam di depan pagar besi, lumayan karatan. Ditambah gerimis tipis menguyur mereka yang tampa berdebat.
“Secepatnya saya akan bayar, Pak. Hari ini ada ulangan, saya harus mengikuti.”
Sekali lagi memohon pada satpam. Ada siswa lain berseragam masuk pagar, satpam tidak mencegah. Tunggu, jika ada murid berseragam SMA berarti yang ia tempati sekarang adalah bangunan sekolah. Ia menatap sekeliling, tidak ada gapura dan identitas sekolah. Ia kembali menatap gadis yang masih memohon itu. Sepersekian menit sepertinya gadis itu menyerah dan bel sekolah berbunyi.
Gadis itu mendekat ke arahnya. Lalu duduk di bawah, sambil mengembuskan napas besar. Ia diam, tidak bertanya ataupun beranjak dari tempat itu. Lagipula masih hujan dan tak punya tujuan. Dering dari ponsel gadis itu. Buru-buru mengangkat.
“Iya.”
“Kok masih bisa angkat telepon?”
“Sama seperti kemarin, tidak diizinkan masuk sekolah. Harus melunasi uang SPP selama satu tahun.”
Rio mengerutkan kening, sebenarnya tidak ingin menguping masalah orang. Tapi pernyataan gadis itu, membuatnya termagu. Satu tahun tidak membayar SPP. Setelah gadis itu mematikan telepon, buru-buru ia membuka pembicaraan.
“Di belakang sekolah lo?”
Gadis itu mendongak ke arahnya dan berdiri.
“Iya.”
“Lalu, kenapa lo gak masuk?” tanya Rio basa-basi. Sebenarnya sudah tahu alasannya.
“Nunggak uang bulanan.”
Rio mengambil satu helm di jok motornya dan menyodorkan pada gadis itu.
“Apa?”
“Udah pake.” Gadis itu memakai helm.
“Naik,” suruh Rio, ia malah mematung. “Ayo!” bentak Rio. Ia langsung naik.
“Kamu siapa? Kita mau ke mana? Kamu agen penculikan, ya!”
“Diem deh, ah. Yang penting gue bukan orang jahat.”
Mereka saling diam, selama perjalanan tidak ada yang memperkenalkan diri. Rio juga acuh, niatnya kali ini baik jadi tak perlu menyebutkan identitas kepada gadis seusiannya ini. Mereka sampai di depan ATM di pinggir jalan.
“Satu bulan berapa uang SPP lo?”
“Seratus dua puluh. Bentar, kamu mau apa, sih?”
“Lo diem di sini jagain motor gue.” Rio langsung pergi masuk outlet pengambilan uang.
Tak lama Rio keluar dan menyuruh gadis itu naik di bocengannya lagi. Mereka kembali ke sekolah gadis itu.
“Tunggu dulu, kamu itu siapa?”
“Anterin gue sekarang ke tempat pembayaran biaya sekolah lo.”
Sampai di depan pagar besi, satpam kembali mencegah.
“Maaf, Mbak. Saya harus menjalankan tugas.”
“Saya abangnya, mau ngelunasin SPP dia,” sergap Rio. Pak satpam langsung mempersilakan mereka masuk.
Sampai di ruang administrasi Rio bertanya total yang harus dibayar. Petugas memberikan rincian selama satu tahun. Setelah di total ia memberikan uang pada petugas, dan gadis itu diperbolehkan masuk kelas untuk mengikuti pembelajaran. Keluar dari ruang administrasi Rio berlalu tanpa memedulikan gadis itu.
“Tunggu!!” teriaknya. Rio berhenti.
“Aku gak akan masuk kelas sebelum kamu menjelaskan siapa kamu dan kenapa kamu bayarin uang SPP segitu banyaknya.”
“Gak penting.”
“Bagi kamu gak penting, bagi aku sangat berharga.”
“Aku bukan orang jahat.”
“Uang satu juta lebih itu banyak. Aku gak tau harus bayar dengan cara apa.”
“Uang segitu sama dengan SPP satu bulan sekolah gue. Udah, deh banyak omong lo ternyata.” Rio langsung pergi.
Keluar dari sekolah SMA itu, Rio celingukan, tidak punya tujuan. Akhirnya ia memutuskan kembali ke rumah.
Sampai di rumah, tidak ada orang di sana. Rasanya seperti orang gila, selalu sendirian. Di sekolah, meskipun sekolahnya internasional, tapi tidak ada teman di sana. Semuanya menghindar, mungkin ia sering masuk ruang bimbingan karena berantem dengan berbagai kalangan. Di rumah juga, tidak ada orang yang bisa diajak omong. Bibi tidak seperti dulu lagi, mungkin karena ia sering pulang mabuk dan marah-marah tak jelas jadi pembantu rumah tangga itu takut.
Hampir pukul tiga sore, semakin jenuh di rumah. Ia pergi makan di luar, setidaknya keramaian sedikit membuatnya tenang, walaupun tidak mengenal siapapun di sana. Di jalan, terlihat Glenn sedang marah-marah kepada seseorang. Banyak mata memandang mereka. Ia mendekat.
“Glenn!” cegahnya, sebelum Glenn akan mendaratkan pukulan pada orang di depannya.
“Ada apa?”
“Dia bocah ingusan, berani ngambil dompet gue. Cewek lagi.”
Rio menatap orang di hadapannya, dia menunduk dengan menutupi kepalanya dengan topi jaket. Rio menyibak, penasaran.
“Elo?” Tunjuk Rio. Dia gadis tadi pagi.
“Ini temen lo, Ri?” Glenn menyela. Rio mengangguk.
“Balikin dompetnya Glenn.”
Gadis itu mengembalikan dompet Glenn. Rio langsung menarik tangannya menjauh dari kerumunan. Rio membawa gadis itu ke taman kota.
“Tadi pagi gue udah lunasin biaya sekolah lo, ngapain lo masih nyuri dompet temen gue?”
“Aku lapar, gak ada yang bisa aku makan. Hasil jualan keset cuman bisa beli satu bungkus nasi untuk tiga adik aku. Aku lapar.”
“Gak ada cara lain apa, selain nyuri?”
“Aku harus apa?? Tiga adikku masih kelaparan.”
Rio menariknya pergi dari taman. Motor Rio membawa mereka kembali ke rumah. Rio meminta bibi menyiapkan makanan untuk temannya. Mereka saling diam di meja makan. Rio asik dengan gadget-nya. Bibi membawa keluar semua makanan di dapur. Rio menyuruhnya makan.
“Bi, sebagian taruh di rantang, gue mau bawa ke tempat Glenn.”
“Iya, Nak.”
“Kok kamu gak sopan banget, sih. Bibi lebih tua, kenapa pakai lo gue sih?”
“Makan yang kenyang.”
“Aku gak ngerti sama kamu. Aneh, cuek, judes, muka datar, gak pernah senyum—“
“Suka berantem, rese, gak pernah dianggap ada sama orang tuanya, gaulnya sama anak punk, gak punya temen di sekolah, orang kaya songong, bodoh, berengsek, hampir bikin mati anak orang, selalu sendirian, diacuhkan.” Rio menambahkan fakta tentang dirinya. Muka dan intonasinya datar.
Meja makan lengang. Gadis itu terpaku, baru pertama kali mendengar cowok menjelek-jelekkan dirinya sendiri. Tatapan mereka masih terkunci di satu titik. Gadis itu takut dengan muka datar, tadi terjebak dengan preman punk, sekarang dengan muka datar. Serba salah. Kakinya bergetar jantungnya tiba-tiba berdetak kencang, ini adalah rasa ketakutan terhebat yang pernah ia alami, sama seperti bertemu hantu di rumahnya dulu.
“Nak, ini rantangnya.” Bibi membuyarkan ketegangan gadis itu. Pufff.
“Makasih, Bi. Taruh situ aja.”
Rio kembali berkutat dengan benda elektronik super canggih itu, mengerutkan kening seperti mengerjakan sesuatu. Gadis itu membantu memberesi sisa makanan ke dapur, bibi melarangnya tapi ia memaksa.
Di dapur, ia mencuci piring dan bibi mengelap piring.
“Bibi udah lama kerja di sini?”
“Semenjak bapak dan ibuk jadi pengantin baru.”
“Lama juga, ya.”
“Neng ini pacaranya Nak Rio?”
“Rio? Siapa?”
“Iya, anak ibuk dan bapak itu.”
“Oh, jadi dia namaya Rio.”
“Gimana toh, wong ya kenal gak tau namanya itu.“ Bibi cekikikan.
Selesai mencuci piring ia kembali ke meja makan. Di sana Rio masih berkutat dengan benda lebar pipih itu. Diam-diam ia mengintip dari belakang. Ternyata Rio sedang mengerjakan soal, tertera nama di pojok kanan atas.
“Rio Dewa Wijaya. Wih keren juga nama kamu.”
Rio terperanjat menoleh belakang.
“Apaan sih lo, apa kerennya nama ini.”
Rio melanjutkan menjawab soal. Gadis itu masih di belakang, sengaja membaca soal yang dikerjakan Rio. Sepertinya soal matematika, seluruh perintahnya bahasa inggris. Tak sengaja ia membaca nama sekolah Rio.
“Oh, jadi kamu anak Brawijaya. SMA internasional depan batalion markas angakatan udara itu?”
Rio tak menjawab.
“Itu salah tuh, bukan itu jawabannya.” Ia kembali menceletuk.
“Emang lo bisa? Sekolah reot kayak gitu ada materi kayak gini.”
“Wah kamu belum tahu, meskipun sekolah aku reot aku bisa kayak gini. Baru aja tadi ajarin ini.”
“Baru aja? Materi ini udah semester lalu.”
“Kenapa jawaban kamu salah?”
“Ya, karena manusia tempat kesalahan.”
Gadis itu menunjukkan cara berhitung yang benar dan jawabannya ada di layar gadget. Rio menyunggingkan senyum.
“Yang ini gimana?” Rio menunjuk soal berikutnya.
Sampai sore mereka belajar, Rio merasa kali ini berbeda, meskipun belum bisa tersenyum lebar, setidaknya hari ini banyak kata yang keluar dari mulutnya. Malah, bibi yang menangis terharu melihat tuan mudanya berkali-kali menyunginggkan semyum di pucuk bibir. Akhirnya semua tugas selesai, Rio mengantarkan gadis itu pulang, dia meminta diantar sampai depan sekolahnya.
“Makanan di rantang ini buat kamu dan adik-adik. Kalau kelaparan langsung ke rumah gue, gak usah nyopet.”
“Makasih, Rio.” Gadis itu berlalu meninggalkan Rio di atas motor.
“Tunggu!” teriak Rio. Ia mendekati gadis itu.
“Nama kamu siapa?” tanya Rio.
“Secepatnya kamu akan tau.” Gadis itu menyerobot Rio di depannya.
What the fu.”
Sepertinya tidak hanya Glenn yang mau menjadi temannya. Gadis itu, memang sih dandananya sedikit kumal, tapi dia betah dengan sifatnya yang terkesan garing.
Kembali ke rumah, mobil merah muda sudah ada di depan gerbang, siapa lagi kalau bukan mamanya. Ah, mungkin sesuatunya tertinggal. Mamanya sedang serius dengan laptop di meja makan. Ia masuk tak disapa, jangankan disapa, melirik pun tidak. Ia naik ke kamarnya, hari ini ada satu warna di hatinya.
“Rio, Mama dapat laporan kalau kamu tidak masuk sekolah pagi tadi!”
Ia berhenti, tidak menoleh. Mamanya tidak berbicara apa-apa lagi. Langsung berlalu.
***
Hari ini sekolah hanya untuk kegiatan sosialisasi, agak malas juga. Siapa yang mau sosialisasi dengannya. Selesai apel pagi, seperti biasa ia mundur ke barisan belakang. Setelah beberapa jam berdiri di lapangan, akhirnya selesai.
Rio bergegas ke tempat Glenn. Tak berharap bertemu dengan gadis kemarin, lagi pula sekolah gadis itu pasti masih pembelajaran dan mungkin dilanjutkan kegiatan pramuka. Ia tahu karena masa sekolah menengah pertama seperti itu.
Sebelum sampai di tempat Glenn, ia berhenti di depan sekolah gadis itu. Melihat sekilas, sebenarnya tidak berharap bertemu tapi hatinya tidak bisa berbohong ingin bertemu dengannya.
“Woy! Ngapain kamu di sini?” Rio terperanjat di atas motor.
“Udah pulang?” tanya Rio pada gadis itu
“Hari sabtu libur, sekarang full day school masak anak internasional enggak tau?”
“Beda dikit aja.”
“Kamu ngapain di sini?”
Gadis itu menunjukkan lembaran kain keset.
“Udah makan?” tanya Rio lagi.
“Ini lagi cari makan.”
“Gue borong semuanya.” Rio menarik tangan gadis itu ke boncengannya.
“Kita mau ke mana, Rio?”
“Kerjain tugas gue.”
“Enak aja, aku bukan pembantumu.”
“Anggap aja gue murid lo.”
Rio tidak jadi ke tempat Glenn. Ia lebih suka gadis itu main ke rumahnya, sekalian perkerjaan sekolahnya kelar,  jadi untuk hari senin tidak duduk di luar kelas sambil bermain game. Atau lebih parah, masuk ruang bimbingan dan telepon mama atau papanya tidak diangkat, itu lebih menyakitkan.
Sampai di rumah Rio. Mobil berwarna merah muda teparkir, mamanya ada di rumah. Ah, pasti hanya sebentar setelah itu keluar lagi dan sibuk mengurusi tiga butiknya dan satu toko perlengkapan rumah tangga.
“Lisa, kamu ngapain di sini?” Mama Rio menyapa gadis itu duluan.
“Eh, Tante Hana, Rio minta bantu buat ngerjain tugasnya, Tante.”
Rio langsung menarik Lisa ke kamarnya. Padahal mamanya belum selesai berbicara.
“Gue gak suka kalo lo ngomong sama nyokap gue!” Raut wajah Rio tiba-tiba merah padam.
“Tante Hana baik, Rio.”
“Cuman di depan lo aja.”
“Enggak, kok. Dia juga ambil keset motif buatan ibuku buat stok di store perlengkapan rumahnya itu.”
“Lisa! Gue gak suka lo ngomong sama mama di depan gue. Kalo di jalan atau entah di mana pun, terserah. Pokoknya gue gak suka lo ngobrol sama dia di depan gue!”
Rio baru tahu nama gadis itu adalah Lisa saat mendengarkan mama menyapa tadi. Kamar Rio tiba-tiba lengang, mereka saing diam. Rio merasa Lisa takut dengan getakkannya.
“Apa yang aku bisa bantu buat kamu hari ini?”
“Gak ada, gue cuman pingin lo di sini sama gue.”
Lisa duduk di sofa, dan membiarkan pintu kamar Rio terbuka. Rio merebahkan tubuh di ranjang. Rasa bersalah muncul setelah membentak Lisa muncul.
“Gue minta maaf. Selama ini mereka gak ada yang peduli sama gue. Entah, mungkin bagi mereka gue seneng dengan uang-uang hasil kerja mereka, tapi kenyataanya enggak.”
“Bibi?”
“Bibi kayaknya takut deh setelah waktu itu aku penah ngehancurin isi rumah karena pas acara wisuda SMP gak ada yang datang. Semua anak sama orangtuanya masing-masing. Gue? Sudahlah Lis, gue udah biasa sendiri sampai sekarang.”
“Rio, kenapa kamu gak nyari temen aja?”
“Glenn dan genknya temen gue.”
“Glenn anak punk itu?”
“Cuma Glenn yang mandang gue sebagai temen di saat semua orang mandang gue sebagai anak uang.”
“Seharusnya kamu bersyukur bergelimang harta.”
“Aku hobi masuk ruang bimbingan tapi orangtua gak peduli. Angkat telepon guru konseling aja enggak. Itu namanya bersyukur?”
“Di antara ribuan orang yang aku kenal. Kamu paling aneh.”
“Kenapa?”
“Hobi kok masuk ruang bimbingan.”
Mereka tertawa berdua.
Lisa memandang sekeliling kamar Rio. Cukup luas dan sangat nyaman. Beberapa bingkai foto jelas menunjukkan Rio kecil di sana. Ia bangkit dari duduknya. Deretan foto menyita perhatiannya. Bingkai-bingkai ini tampak keluarga kecil bahagia, tapi kenapa sekarang Rio selalu sendirian?
Tumpukkan buku berserakan menggerakkan hatinya untuk menata rapi. Ia menoleh ke samping, Rio asik dengan benda pipih canggih itu. Ia memberesi buku-buku Rio. Tak sengaja selembar kertas putih jatuh. Ia membacanya, hasil laporan ruang bimbingan yang seharusnya diberikan kepada orang tua.
“Rio? Kamu setiap hari berantem?”
“Taruh gak kertas itu!” Rio bangkit dan berdiri di samping ranjang. “Taruh!!” bentaknya lagi.
“Kalau kamu gak mau kasih sama mama kamu, biar aku yang simpen?”
“Taruh!!”
Lisa menaruh kertas itu.
“Maafin aku, Rio. Aku cuman ingin kamu jadi kayak anak-anak lain.”
“Jangan samain gue kayak anak-anak lain. Mereka beruntung sedangkan gue enggak!”
Mereka saling diam, Lisa berpikir hati teman barunya ini benar-benar sudah keras, bahkan mati karena keluarganya sendiri.
“Ah udah, temenin gue makan di luar,” ajak Rio.
“Makan di rumah aja, ya. Pasti masakkan bibi lebih enak.”
Rio mengangkat alis. Sama sekali tidak menyangka bisa menemukan cewek aneh sok care tapi paling bisa mengerti dirinya. Selalu mengalah dengan bentakkannya.

KESAN TEMU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang