Bagian 3

121 47 2
                                    

"Tante Hana!" pekik Lisa. Lisa melihat Rio sesenggukan bersandar di dinding
"Rio, hei, udah jangan nangis."
"Mama Lis, Mama ...."
"Kita lewatin sama-sama, ya."
Beberapa polisi masuk langsung menangani jenazah. Lisa membawa Rio turun ke ruang tamu. Rumah mendadak ramai dengan tetangga berdatangan penasaran.
Mata Rio menuju sofa, ekspresinya berubah jadi datar.
"Lihat sendiri! Gara-gara Papa dan istri baru Papa ini, mama bunuh diri! Untuk apa Papa datang ke sini!" Seluruh pandangan beralih pada suara keras Rio. Hal mengejutkan untuk semua orang. Sosok perempuan molek dengan balutan dress hijau tua di samping tuan rumah itu. Ditambah Rio baru saja memanggil dengan 'istri baru'
"Untuk apa Pa? Seenggaknya ceraikan mama dulu. Mama gak akan bunuh diri, mama gak bakal nahan luka juga, Pa!"
"Rio cukup, kita lagi berduka-"
"Enggak! Tau apa Papa soal berduka!"
"Rio, udah ya. Kita ke kamar, kamu butuh istirahat." Lisa menenangkan.
Bukan menuruti saran Lisa, Rio malah berjalan cepat meninggalkan rumah. Lisa kualahan mengejar langkah Rio.
Tepat di depan gerbang, Glenn baru saja turun dari angkutan umum. Anak punk itu bermuka sendu, mungkin ikut merasakan kepergian ibu temannya itu.
Berbeda dengan Rio, melihat Glenn, mukanya merah padam. Tanpa banyak bicara ia langsung menghantamkan pukulan di wajah Glenn.
"Maksud lo apa, ha!" Glenn emosi.
"Tanya sama diri lo!"
Rio pergi keluar gerbang tanpa memedulikan Glenn. Lisa terengah-engah berusaha menjajari langkah Rio. Gadis itu tidak berani mengucap kata apa pun. Jauh mereka menyusuri jalan
"Kita ke rumahku dulu. Aku tau kamu butuh ketenangan."
Rio tidak menjawab langsung mengikuti langkah Lisa. Sampai di rumah yang ukurannya tidak sebesar rumahnya, terlihat sepi. Lisa menyilakan masuk, tidak ada kursi, hanya gelaran tikar agak usang.
"Kamu bisa duduk di sini. Aku buatkan teh dulu."
"Nggak usah, gue gak haus." Ia melepas sepatunya dan duduk di tikar ayam.
Lisa sendiri bingung bagaimana menghadapi temannya sekarang.
"Masih mau diem?"
"Aku gak tau, Lis. Satu sisi aku hancur, sisi lain aku bahagia karena tau alasan mama menyibukkan diri. Apa aku juga harus bahagia dengan papa punya istri baru?"
"Kamu punya banyak sisi yang kuat. Dari kecil, kamu terbiasa membangun sisi itu, sampai tangguh hingga sekarang. Kamu juga paham setiap sisi lemah dan memperkuat sisi-sisi itu. Kamu bisa Rio, kamu bisa."
Rio menoleh, tepat bersamaan dengan Lisa sedang menatapnya. Tatapan mereka terkunci. Bekas air mata itu masih terjatuh di kelopak mata Rio. Hidung sembab dan mata menyipit menambah kuyu wajah dinginnya.
"Kamu gak mau ikut ke pemakaman? Glenn baru ngabarin, jenazah sudah selesai otopsi dan segera dimandikan."
"Aku gak mau di peristirahatan terakhir mama, hatiku penuh rasa benci karena ada papa dan ...." Rio tidak melanjutkan kalimatnya. Cukup membuat hati semakin keruh.
"Kalau begitu besok kita ke sana. Sekarang kamu bisa tidur di kamar tiga adikku. Biar mereka tidur sama aku."
***
Gelak tawa anak kecil membangunkan tidurnya. Lampu penerangan kamar tidak begitu terang jadi membuat mata dipenuhi bayangan kunang-kunang. Lisa datang dan menyuruhnya bergabung makan. Ia ingin menolak tapi perutnya tidak bisa menolak.
Semua orang tersenyum padanya. Dua anak kecil perempuan, satu laki-laki seusia dirinya dan Lisa, dan sosok perempuan berwajah teduh. Tentu itu adalah ibu Lisa yang biasa ke butik mamanya untuk menyetor keset dan membantu bersih-bersih.
"Maaf Nak Rio, makan malam kami jauh dari kata layak." Ibu Lisa mengawali. Rio hanya membalas senyuman.
Tidak ada meja makan di sini, semua dihidangkan di atas tikar. Rio sedikit asing dengan sesuatu di sana. Dalam bayangannya seperti nasi tetapi berwarna kecokelatan, juga potongan persegi warna merah marun. Ia sedikit tidak yakin akan memakan itu.
Piring plastik sudah berada di depan masing-masing. Lahap semua orang makan. Ia masih melihati isi piringnya. Mungkinkan itu tempe goreng yang diwarna merah, dan nasi yang kurang matang jadi berwarna cokelat muda.
"Ini namanya nasi aking dan yang ini terasi udang digoreng." Lisa menjelaskan. Seketika Rio mengerutkan alis.
"Nasi apa itu? Emang terasi bisa buat lauk?"
"Coba aja."
Rio menyuapkan nasi aking dan potongan kecil terasi ke dalam mulutnya. Menurutnya ini jauh dari kata nasi. Lisa tahu ekspresi muka Rio menunjukkan penolakan terhadap nasi aking yang biasa keluarganya makan. Rio langsung meraih air minum, meneguk cepat.
Semua orang memerhatikan Rio. Mereka tahu, orang berada tidak makan seperti ini.
"Gw agak asing aja sama nasi aking." Rio berdiri, meninggalkan mereka yang baru makan.
"Gak sopan banget sih, Lis, anak orang kaya itu," sewot Akbar, adik Lisa yang seusianya.
"Bar, mungkin kita yang harus mengerti sama Rio. Dia lagi berduka."
"Kenapa harus orang miskin yang menghormati orang kaya!"
"Kita harus saling menghormati."
"Akbar, Lisa udah. Lanjutin makannya."

Hingga larut malam Rio tidak masuk rumah, melamun di teras tanpa pagar. Tidak ada kunang-kunang atau suara jangkrik, sepertinya mereka mengerti dengan hancurnya perasaan seorang anak yang kehilangan ibu. Lebih parahnya sang ayah malah membawa istri baru.
"Kamu mikirin apa?" Lisa memulai percakapan.
Rio menggeleng. Sejak tadi tidak banyak bicara. Lisa berharap temanya ini ceria seperti tadi siang saat bersama Glenn dan yang lain. HP Lisa berbunyi, tertera nama orang yang baru ada di pikirannya, Glenn. Lisa berdiri agak menjauh dari Rio.
"Iya, Glenn?"
Mendengar Lisa mengangkat telepon dari Glenn, Rio mengerutkan alis dan langsung masuk rumah.
"Rio masih sama lo 'kan, Lis."
"Iya, malam ini aku suruh menginap. Lagian dia kasian banget, sejak tadi ngelamun terus."
"Coba gue mau bicara sama dia."
Lisa memalingkan badan. Rio sudah tidak ada, bergegas Lisa masuk. Rio berpindah melamun. Sekarang dia melamun di kamar. Lisa menyodorkan HP-nya. Sekali lagi cowok es batu itu menggeleng. Lisa mengangguk, mencoba menyakinkan.
"Apa." Nada malas Rio.
"Lo harus tau apa yang terjadi-"
"Gue udah tau apa yang terjadi."
"Gak seperti yang ada di bayangan lo."
"Udah Glenn, gue gak mau bahas ini. Gue butuh ketenangan." Rio langsung memutuskan sambungan telepon.

***
Sepagi ini sudah gaduh. Adik-adik Lisa berebut mandi. Suasana sungguh beda dengan di rumahnya. Sedikit memekakan telinga memang.
"Rio, sebelum berangkat kamu ikut sarapan dulu. Kamu belum makan sejak kemarin," perintah Lisa yang tengah memakai sepatu sekolah.
"Lo sekolah hari ini?" tanya Rio mengalihkan topik makan. Ia tidak enak menolak, tapi juga tidak ingin makan nasi aking itu lagi.
"Iya, tapi aku bisa izin dulu terus nganter kamu ke makam."
"Gue bisa berangkat sendiri. Lo sekolah aja."
"Ke makam gak membutuhkan waktu lama, jadi aku bisa izin sebentar."
"Serah lo, deh."
"Ya udah yuk makan."
"Gue gak laper."
"Atau kamu gak mau makan nasi aking?" tanya Lisa menebak dengan tepat, dengan terpaksa ia mengikuti Lisa.
Masih seperti semalam, beberapa piring tertata di atas tikar anyam. Rio duduk membaur dengan yang lain. Sepertinya dirinya dan Lisa sudah ditunggu dari tadi.
Pagi ini tidak ada nasi aking dan terasi goreng. Piring plastik sudah terisi singkong rebus masing-masing empat potong. Sisi lain cobek penuh sambal dan wadah kecil berisi bawang goreng. Rio mengembuskan napas, tanda makanan pagi ini tidak terlalu buruk.
Selesai makan Lisa dan Rio langsung berangkat menuju sekolah Lisa untuk meminta izin. Banyak mata memandang Lisa membawa cowok bermuka datar ke dalam lingkungan sekolah. Mungkin karena penampilan Rio sedikit acak-acakkan dengan rambut mulai panjang ditambah hidung sembab.
Lisa masuk ruang guru, sementara ia menunggu di luar. Semakin banyak murid yang sengaja lewat di depan ruang guru atau berpura-pura masuk ruang guru, tentu dengan menatap mulai dari rambut sampai sepatunya.
"Sekolah apaan, sih. Orang cuman lewat dipelototin kayak tahanan aja," gerutu Rio saat Lisa keluar dari ruang guru.
"Ya udah yuk, pukul delapan aku harus kembali ke sekolah."
Mendengar ucapan Lisa, ia langsung berjalan cepat jauh di depan, risih dengan tatapan siswa sekolah ini. Lisa heran sudah hampir berminggu-minggu cowok es batu itu masih tetap dont care juga.
***
Ingin menahan buliran agar tidak luruh saat melihat gundukan tanah merah dengan bunga-bunga yang masih segar. Buliran itu dengan sendirinya luruh. Benar memang, kehilangan adalah cara terbaik Tuhan menyadarkan betapa berharganya seseorang.
"Maafin Rio karena gak ikut ngantar Mama untuk yang terakhir kali. Rio seneng akhirnya bisa ngerasain pelukan seorang ibu sebelum Mama pergi," lirih Rio sambil menyembunyikan air mata agar Lisa tidak melihat.
"Hai, Lis," sapa Glenn membuat Lisa menjingkat kaget. Glenn nyengir melihat ekspresi setengah takut Lisa. Mungkin gadis itu kira yang menyapanya setan.
Rio berdiri dan melihat Glenn di sana. Buru-buru ia berputar arah mencari jalan lain. Sayang, Glenn sudah menahan bahunya.
"Lo harus ngerti sama apa sebenarnya terjadi."
"Terus cuman gue doang yang harus ngerti sama semuanya, sedangkan gak ada yang mau ngerti sama gue! Jangan ganggu gue."
Rio pergi menerobos Glenn dan hanya melirik Lisa dengan penuh emosi.
Satu lagi yang membuat Lisa bertanya-tanya. Sejak sore itu Rio selalu emosi dan marah-marah dengan Glenn. Parahnya Lisa tidak mengerti apa yang mereka perdebatkan.
***

KESAN TEMU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang