Bagian 12

25 26 3
                                    

Ane berusaha membujuk Lisa agar mau kembali sekolah. Tidak, rasanya malu sekali kembali setelah berberapa hari ini. Mira pasti segala informasi mengenai sidangnya. Joana yang baru mengetahui semuanya sekarang ikut khawatir, hukum yang digugatkan pada Lisa tidak sepantasnya. Mereka harus tahu, Agnes juga tidak kembali ke sekolah setelah kejadian itu.

Mereka di rumah Lisa sekarang. Rio menego Akbar, meyakinkan untuk menyewa kuasa hukum agar Lisa terbebas dari segala gugatan. Akbar jelas menolak, semenjak kenal banyak merepotkan secara materi. Spp sekolah selama tiga tahun sudah dibayar Rio, itu lebih dari cukup.

“Lupain rasa gak enak itu. Lisa mental health-nya bisa keganggu kalau kayak gini.” Glen ikut membujuk.

“Terlambat kalau bawa laywer sekarang. Kita bakal buang-buang uang. Glen, Rio. Kami gak papa, percaya.” Akbar kekeh menolak.

“Kita patungan uang sendiri, kok, bukan uang orangtua,” sahut Joana. Ane mengangguk di sampingnya.

“Thanks, kalian udah peduli sama Lisa dan gue. Gak akan ada perubahan karena bukti-bukti itu udah dibawa sama kepolisian.”

Gagal. Teman-teman yang lain berharap Ane dapat meluluhkan hati Akbar, nyatanya tetap menolak dengan alasan membuang banyak uang di waktu yang singkat.

***

“Mama tadi dapet panggilan sekolah, kamu katanya kabur sama dua temen cewek, kamu, ya?” sidak sang mama sambil meletakkan nasi di piring Rio.

Rio menatap Glen di depannya. Sebisa mungkin orang-orang dewasa tidak usah tahu masalah ini.

“Bu Alma bilang katanya kamu ke pengadilan nemenin Lisa. Glen kamu di sana juga ‘kan? Kalian mulai bohong gini, ya, sama Mama.”

Tidak ada yang menjawab pertanyaan mama. Bagaimana menjelaskan kerumitan tadi.

“Yaudah. Kalian makan sendiri, ya. Mama ngurusin laporan kantor dulu.” Mamanya langsung pergi tanpa menyentuh makanan. Sepertinya ngambek karena tidak ada yang mau jujur.

“Makan dulu aja. Gue tau lo laper.” Glen tetap mengambil beberapa lauk dan menumpahkan di piring.

Rio melihat nasinya, enggan mengambil lauk. Hampir sepuluh menit mematung, ia berdiri meninggalkan makanan, pergi ke kamar mamanya. Glen menggeleng, sifat itu akan menjadi bagian dari Rio.

Tanpa mengetuk, ia langsung membukan pintu. Mamanya berkutat dengan banyak kertas di depan layar laptop. Awalnya tidak ingin orang-orang dewasa tahu urusan ini. Tetapi Bu Alma selalu mencampuri urusan murid-muridnya. Kalau jujur, mungkin mamanya malah melarang sekolah dan mengizinkan mengikuti proses hukum Lisa.

“Ma, kalau Rio bilang Lisa ngebunuh orang, masuk akal gak?” Rio memulai pembicaraan.

“Tindak pidana yang dilakukan di bawah umur, setidaknya mendapat hukuman lima sampai sepuluh tahun penjara. Kalau perdata yang diminta, mungkin proses itu akan  sampai di angka ratusan. Mama tahu kamu cemas. Kita biarkan hukum pidana dan perdata yang berjalan, nanti kita tebus perdana yang diminta korban. Mama sudah bicara ini sama Bi Nia tadi di telepon.”

Mata Rio melebar, tidak percaya kalau mama sudah mengetahui ini lebih, bahkan memberi solusi kecemasannya memikirkan Lisa dengan pidana yang diminta keluarga Theo. Mama meraih tangannya, menggenggam sambil tersenyum.

“Kamu dan Glen, masalah kalian, masalah Mama juga.”

“Makasih, Ma.”

Kali ini, setelah beberapa tahu redup dan berkarat. Perlahan hatinya memuai menemukan sosok ibu tulus seperti ini. Kalau saja telinganya mau mendengarkan siapa Karin dan Hana, tidak ada dinding beku dan orang asing di rumah.

KESAN TEMU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang