Bagian 11

34 28 2
                                    

Rumah lama, bayangan Rio adalah rumah yang dulu sering ia kunjungi, rumah Glen. Dugaanya salah, rumah dengan halaman lebih luas dan megah. Mamanya bilang rumah ini yang ditinggali bersama Glen kecil. Bibi di bangku belakang berseru, tidak percaya lebih bagus dari rumah sebelumnya.

“Ibu punya rumah ini kenapa mau pindah ke rumah Nyonya Hana?”

“Ini bukan rumah saya, Bi. Ini rumah Glen sama Rio. Saya kerja keras demi mereka, saya tahu Pak Wijaya gak cukup dengan satu perempuan. Jadi saya udah siapin untuk masa depan mereka.”

“Bibi kayaknya lebih kerasan di rumah ini, Bu, hehehe.”

“Alhamdulillah, kalau Bibi kerasan.”

Dua mobil box menurunkan kardus-kardus di halaman. Rio membantu membawa ke dalam. Malah Bibi sangat ceria melihat-lihat isi rumah. Kamar tidur di lantai dua posisinya berhadapan, jadi jika Glen membuka pintu, Rio bisa melihat dari kamarnya. Balkon luas dan bean bag. Suasana baru.

“Kenapa lo gak ngomong dari awal soal gue?” Rio merebahkan tubuh di ranjang Glen, asap rokok sudah menguar memenuhi ruangan.

“Lo yang batu. Gue beribu kali bicara soal ini, lo nolak, gak butuh penjelasan apa pun. Yaudah.”

“Sebelum mama Hana meninggal, lo bisa ngomong kalo lo emang abang gue.”

“Yaudah sih, sekarang lo tahu juga.”

Rio meraih guling dan membenamkan wajah di bantal. Glen masih asyik dengan stik ps di sana. Urusan menata barang biar para supir mobil box dan pak satpam, sekarang jadwalnya tidur. Ada ketenangan di hati, sebenarnya juga ingin memiliki keluarga yang utuh, hahaha lebih tenang jika papa pergi dari kehidupannya. Percuma terlihat utuh dalamnya hancur.

***

Istilah yang tepat sekarang, es batu mencair. Tidak menunggu Glen seperti pagi-pagi kemarin, di meja makan Rio sendiri malah menunggu yang lain turun. Bibi semringah memasak banyak menu.

“Glen mana, sih, terlambat nih,” keluhnya.

“Bukannya masih pukul enam, Nak Rio?” balas bibi mendengar dumelan Rio.

“Jarak sekolah ‘kan lebih jauh, Bi.”

“Bilang aja mau ketemu Lisa, alasan sekolah jauh. Biasanya juga ngulur waktu,” sahut Glen dari tangga.

“Joana pasti udah di gerbang, manyun-manyun nungguin lo,” balas Rio.

“Cewek mana, sih, yang gak bucin sama gue?”

“Banyak bacot, lo, mana kunci mobil, berangkat sendiri gue.”

“Ogah. Bisa gak pulang lo kalo berangkat sendiri.”

Glen menyempatkan meneguk air, menyusul langkah Rio yang sudah di ambang pintu. Kalau sudah maunya, seakan semua orang harus nurut, dasar keras kepala. Bibi semakin gembira, Rio sudah banyak bicara sejak kemarin pindah ke rumah ini. Padahal pagi kemarin pertengkaran dengan papanya swngit, membuat seisi rumah ketir. Kali pertama seorang anak memggampar ayah.

***

“Lihat, manyun ‘kan bibirnya, persis kayak bayi minta permen,” ledek Rio. Mobil memasuki gerbang berkarat sekolah, Joana berdiri di tempat biasa sambil manyun dan melirik kursi kemudi. Raut wajah Glen panik, seharian kemarin tidak mengabari.

Rio turun tanpa memedulikan mereka. Perang Dunia ketiga sebentar lagi terjadi anatara Joana dan Glen. Kelas Lisa, tujuan utamanya sekarang. Sampai di depan kelas, ada beberapa murid sedang menyalin PR. Akhirnya ia kembali ke kelas. Masih sepi juga, terlalu pagi sepertinya. Rio duduk sambil membuka whatsapp, pesan hari Minggu itu masih ceklis, betah sekali tidak mengabari. Sebentar lagi Akbar juga datang, tenang.

KESAN TEMU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang