Malam ini Joana berbunga-bunga. Glen menepati janji. Makan malam outdoor nuansa pantai. Meja makan lain kosong, rupanya Glen menyewa seluruh tempat ini agar tidak ada orang yang mengganggu malam super manis ini. Manik cokelat tua milik Joana tidak lepas menatap iris Glen di depannya. Dersik ombak samar dan kesiur angin malam membuat hati Joana berirama naik. Cahaya lilin dan temaram lampu dari tiang-tiang penyangga yang tidak terlalu terang , sungguh ini kali pertama mendapat perlakukan manis dari cowok. Joana tambah tergila-gila setelah tahu Glen memakai berbagai benda-benda merk ternama yang melekat di tubuh.
"Kapan-kapan ajak gue ke rumah lo, boleh dong?"
"Nyari apa? Bibi? Atau Mang Damang?" jawab Glen masih menatap Joana.
"Lo cakep banget, Rio juga. Gak bisa banyanhin secantik apa mama lo."
"Nyokap gue galak."
"Gue bisa kok masak walau sering gak jadi, bisa nyapu, ngepel, mantu idaman, deh."
Glen tertawa. Jauh sekali angan Joana. Ada hal yang harus diselesaikan pertama lulus dari bangku SMA dan kuliah. Iris cokelat tua itu masih mengunci Iris di depannya. Anak rambut agak berantakan milik Joana berayun perlahan diterpa angin.
Spagetti aglio olio utuh, tisu yang membungkus garpu dan pisau belum terkena sentuhan sama sekali. Sepertinya debu juga enggan menempel, atau iri karena irama hati Joana masih kencang. Kerlap air dari jauh seperti bintang darat. Genggaman tangan mereka masih tetap di antara lilin dan gelas berisi mawar, sama eratnya. Mungkin perut mereka kenyang dengan saling tatap.
"Mungkin kalau Rio gak pindah sekolah, kita gak bakal ketemu." Glen memulai pembicaraan lagi.
"Rio kenapa pindah sekolah?" Joana penasaran.
"Gak tau, tanya aja dia."
"Harusnya sebagai kakak yang baik, lo tau banyak hal tentang dia, Glen."
"Joana cantik, Rio itu irit ngomong. Kalo gak penting dia gak ngomong."
"Kayaknya sama si pembunuh itu normal deh, banyak omong juga."
"Pembunuh?" tanya Joana mengangkat alis.
"Iya Lisa. Duh ntar gue di semprot Akbar kalo ngomong sama lo. Tanya Lisa langsung aja, ya," elak Joana. Ini 'kan makan malam romantisnya, bisa berubah pahit kalau membicarakan Lisa.
***
Dari balkon kamarnya terlihat jelas mobil masuk saat hampir pukul dua belas malam. Pasti Glen yang habis kelayapan mengitari tempat-tempat penuh gadis di kota ini. Itu 'kan hobi dari dulu , semasa ia menganggap Glen orang paling mengerti. Tidak bisa dibantah sampai sekarang kalau Glen memang selalu di depannya. Menampis orang-orang yang berusaha menjelekkan atau meracau hidupnya lagi.
Kalau saja kenyataan tidak mendadak berubah, senyumnya akan terus merekah di sepanjang curhatannya dengan Glen. Tidak marah sebenarnya dengan orang-orang baru yang sekarang menjadi penghuni rumah ini. Hanya rasa kecewa yang malah dialirkan tanpa penjelasan pasti. Memang, berkali-kali Glen dan Tante Karin memintanya untuk mendengarkan suatu hal yang katanya kebenaran. Belum siap untuk menerima kebenaran yang terlihat tidak nyata lagi, nanti atau mungkin secepatnya ia tahu yang mereka maksud. Dalam hati, sungguh ia tidak ingin mendengar apa pun lagi dari Glen, Tante Karin, atau papa. Semua yang terjadi di depan mata sudah cukup jelas baginya.
Hampir dua jam larut dengan angin malam di balkon. Satu bungkus rokok tersisa enam batang. Jika Lisa tahu dirinya perokok berat, mungkin gadis itu marah-marah dan mengambil rokoknya, dan mengomel kalau benda berlinting itu merusak paru-paru. Hanya waktu malam seperti ini atau serang di rumah ia menyesap tembakau bernikotin tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
KESAN TEMU
RomanceKesan Temu Saat titik ragu menjadi satu Rio Dewa Wijaya. Dingin, judes, irit bicara. Sesuatu yang membuat kehidupannya berubah karena Lisa. Glen yang dianggap sebagai orang paling mengerti ternyata membawa kenyataan pahit bagi Rio. Lisa sendiri ha...