Satu🍁

530 41 0
                                    

"Kebahagiaanku sederhana. Hanya tersenyum, mendapatkan pelukan, perhatian, dan kasih sayang."


-Wildan Saputra









^Kakak Idaman



***

Menjadi korban broken home, bukanlah keiinginan semua anak. Justru mendapat keluarga bahagia-lah yang menjadi impian.

Suara pertengkaran kedua orangtua, dan mendapat pelampiasan dari mereka akan menjadi makanan setiap hari. Terlihat menyedihkan, anak yang tidak tahu-menahu apa pun terkena imbasnya. Bahkan, keluarga mereka terancam hancur.

Seperti seorang anak laki-laki yang bernama Wildan. Wildan masih duduk di bangku Sekolah Dasar, usianya juga baru sepuluh tahun. Anak itu rindu masa-masa kecilnya dulu, masa-masa yang membuat Wildan merasa bahagia.

Dulu, Wildan selalu mendapat kasih sayang. Namun sekarang, jangankan sedikit. Mengingat keadaan keluarga Wildan yang berantakan, untuk mendapatkan sebuah kasih sayang dari orangtuanya sangat susah bagi Wildan di masa sekarang.

"Bang? Mau main bola gak sama aku?" tanya Wildan seraya tersenyum lebar menanti jawaban Abangnya.

Seseorang yang dipanggil Abang menoleh sebentar ke arah Wildan. Dia sangat sibuk dengan tugas-tugas sekolah. Tidak ada waktu bermain, apa lagi bermain bersama Wildan--Adiknya. "Main sendiri bisa, 'kan?" tanyanya.

Wildan mengerutkan bibirnya, kecewa. "Ayolah Bang Dinar. Dari siang Abang belajar terus, aku 'kan jadi gak punya teman."

Dinar menggeleng. Cowok itu sedang tidak ingin diganggu, dan dengan gampangnya Wildan datang ke kamar lalu mengajak Dinar bermain bola. Bukan berarti Dinar tidak memiliki bakat bermain bola, Dinar sangat lihai bermain bola. Hanya saja, dia sedang malas dan sedang ingin fokus dengan tugasnya.

"Yah ... Bang Dinar gak asik!" seru Wildan. Anak laki-laki itu berbalik badan, lalu meninggalkan kamar Dinar. Lagi-lagi, Abangnya--Dinar tidak pernah mau diajak bermain.

Sudah beberapa kali Wildan mengajak, dan berakhir penolakan dengan alasan sibuk tugas. Yang Wildan pikirkan tentang alasan abangnya, kenapa selalu sibuk tugas.

Sebanyak itu kah tugas anak SMA?

Memikirkan itu membuat Wildan bergidik ngeri. Tugas rumahnya saja sudah banyak di kelas empat. Lalu, bagaimana nanti Wildan akan menghadapi banyaknya tugas di SMA?

"Ih, ngeri ...."

***

Berkat penolakan Dinar, Wildan jadi sendiri bermain bola. Anak itu menendang-nendang bola ke gawang buatannya. Hanya berbekal dua ranting kayu dan tali, dia bisa membuat gawang. Jika ada kiper yang menjaga gawang buatannya, mungkin akan lebih seru.

Wildan mendongakkan kepala, melihat jendela kamar abangnya yang ada di lantai dua.
"Bang Dinar! Masih belajar gak? Kalau sudah selesai, main yuk!" teriak Wildan.

Wildan belum mau menyerah mengajak abangnya main bola bersama. Siapa tahu, tugas yang abangnya kerjakan sudah selesai. Jadi, tidak ada salahnya Wildan mengajak lagi.

"Bang Dinar?!"

Namun, orang yang Wildan panggil tak kunjung menjawab. Anak laki-laki itu menghela napas lelah. Dia punya Kakak, akan tetapi kakaknya tidak pernah mengajaknya bermain. Jika Wildan membandingkan Abangnya dengan Kakak teman-temannya, Dinar akan jauh dari kata Kakak idaman. Kakak teman-temannya saja bisa meluangkan waktu untuk menemani adiknya.

Wildan memutuskan untuk kembali ke kamar Dinar. Nyatanya, bermain sendiri itu sangat tidak seru.

Sedangkan Dinar, anak itu masih anteng berkutat dengan beberapa tumpukan buku. Menjadi anak yang pintar harus rajin untuk belajar, gitu kata Dinar. Mau ulangan, ataupun tidak Dinar tidak pernah melewatkan waktu hanya sekadar untuk membaca-baca buku.

"Bang!"

Teriakan Wildan benar-benar membuat Dinar jenuh, pena yang ia goresan sampai keluar dari garis. Jika saja Wildan bukan Adiknya mungkin Dinar sudah melempar beberapa barang-barang yang di dekatnya.

"Bang, masih lama enggak? Tadi aku lihat Kang es krim di depan sana. Anterin yuk," ucap Wildan menyentuh pelan lengan Dinar.

Dinar menyimpan pena hitam itu keras sehingga menimbulkan suara yang sedikit nyaring. Wildan terperanjat kaget, ia sedikit memundurkan tubuhnya menjauhi Dinar.

"Enggak usah ganggu, bisa?"

Suara datar dan dingin itu menyelusup masuk ke dalam telinga Wildan. Sepertinya Kakaknya itu benar-benar tidak ingin diganggu, lagi dan lagi kaki Wildan kembali melangkah tanpa tujuan yang berhasil. Wildan berjalan menuju kamar sang ayah untuk meminta uang, lantaran tadi ia melihat Kang es krim.

Belum sampai langkahnya menuju kamar, laki-laki berusia lebih tua dari Wildan sudah lebih dulu melangkah keluar. Wildan menarik pelan ujung bajunya, sedikit takut hanya untuk meminta uang lima ribu saja. Ia masih kecil, mau dapat dari mana hanya sekedar untuk simpanan jika tidak diberi ataupun meminta.

"A--ayah em, minta uang lima ribu. Maksudku tiga ribu hm maksudku ...." Wildan semakin menarik ujung bajunya kuat-kuat. Keringat dingin sudah lebih dulu meluncur. Hanya sekedar meminta uang bukan sedang mengipasi sate sampai berkeringat seperti itu.

"Enggak ada uang lima ribu! Sekarang kembali ke kamar. Kamu tuh ya, enggak lihat kakak kamu. Enggak contoh kakak kamu! Tiru keseharian kakak kamu itu, belajar, membaca dan terus seperti itu. Mau jadi apa kamu nanti." Wildan menunduk dalam, tujuannya bukan untuk mendapatkan ocehan. Tangan mungilnya hanya meminta selembar uang lima ribu saja.

***

"Tiga ribu." Wildan menatap uang recehan yang ia temukan di laci kamarnya.

"Enggak papa deh, kali aja ada yang tiga ribu." Wildan bersorak gembira, lalu mempercepat larinya menuju keluar rumah.

Kedua tangan kanan dan kirinya memegang kedua es krim. Nasib baik tengah menghampirinya, niat untuk membeli satu malah mendapat lebih. Kebetulan ada orang baik yang memberikannya, Wildan tentu sangat senang. Sebenarnya kebahagiaan yang ingin Wildan miliki itu hanya sederhana, tersenyum, mendapatkan pelukan, perhatian, dan kasih sayang.

Namun, jauh dari perkiraan yang Wildan miliki. Kebahagiaan itu sudah lama hilang, keinginan Wildan sudah lama punah. Entah akan dari mana ia memulainya kembali, memperbaiki hal yang sudah terjadi.

***

Aa' The Best  (Bukan BxB!)✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang