Dua Puluh Dua🍁

152 25 0
                                    


"Gue boleh egois?"


22. Membawa Wildan

***

"Katanya oke, kok gak nongol-nongol?"

Ghifari sudah lelah duduk di kursi. Bahkan dia sudah memesan tiga minuman. Haruskah Ghifari pergi memesan minuman lagi?

Saat ini, pemuda itu tengah berada di kafe Coklat. Ada seseorang yang mengajak Ghifari ketemuan, yang pasti bukan perempuan. Ghifari tidak tahu siapa yang sudah berani mengirim pesan padanya dan mengajaknya bertemu.

Masalahnya, dari mana dia dapat nomor Ghifari? Ghifari kalau ada satu saja yang tahu nomornya selain orang terdekatnya tuh takut. Pokoknya gak akan tenang.

Tadi, Ghifari sudah menyuruh Pak Umar untuk menjemput Wildan. Lagi pula, Wildan akan terlalu lama pulang jika menunggu Ghifari pulang sekolah dan selesai dari kafe.

"Setengah dua?"

Ghifari kesal, mulai berpikiran bahwa orang itu hanya iseng mengirim pesan padanya.

'Tling!'

Ghifari melirik ke pintu kafe, seorang laki-laki berjas hitam baru saja masuk ke dalam kafe. Tatapannya sangat dingin, namun masih terlihat cool. Tipe-tipe cowok yang fotonya cocok dijadikan sampul novel CEO muda.

Ghifari merasa tidak asing dengan wajah cowok itu, seperti pernah bertemu.

Pemuda itu panik, setelah baru mengingat siapa cowok yang baru saja masuk ke kafe. Dia semakin panik, ketika cowok itu menghampiri Ghifari dan duduk dihadapan Ghifari.

"Jadi lo yang ngirim pesan ke gue?" tanya Ghifari  sambil terkekeh sinis.

"Iya. Gue Dinar. Maaf telat, macet."

"Gak nanya nama lo,  dan gak nanya alasan lo telat," jawab Ghifari merasa jengkel melihat Dinar.

Dinar hanya mengangguk, menatap Ghifari lekat. "Gimana Wildan?"

Kerutan di dahi Ghifari muncul, tidak nyaman dengan pertanyaan Dinar. "Lo tanya Wildan? Haha ... tentu, Wildan baik-baik aja."

Dinar kembali mengangguk, "ada yang mau gue omongin tentang Wildan. Ini penting."

"Apa?"

"Gue boleh egois?" tanya Dinar yang semakin membuat Ghifari bingung.

"Lo selalu egois," sahut Ghifari.

"Oke. Jadi, gue boleh bawa Wildan? Gue ... gue mau mulai semuanya dari awal. Gue, mau tinggal di luar negri dan bawa Wildan tinggal sama gue," jelas Dinar.

'Bugh!'

***
Membawa Wildan? Memisahkan Wildan dan Ghifari? Haha ... Ghifari akan menertawakan kalimat itu dengan tawa an keras. Sampai kapan pun, Ghifari dan Wildan tidak boleh dipisahkan.

Mereka Kakak ber adik. Sudah seharusnya tetap bersama membangun kisah indah untuk dikenang di masa depan.

Ghifari sayang Wildan.

Tidak mau pisah dengan Wildan.

Wildan terlalu lucu untuk Ghifari tinggal. Anak itu meski sering ikut-ikut Marco untuk menistakan-nya, Ghifari tetap menyayanginya.  

Namun sepertinya Ghifari harus menyadari satu hal yang ada dari hubungan Wildan dan Ghifari.

Ghifari selalu terkekeh ketika mengingat itu. Rasanya, dia ingin memohon kepada Melani untuk melahirkan Wildan.

Mereka, bukanlah saudara kandung. Namun kedekatan mereka sudah wajib untuk dicap saudara sedarah! Ghifari diam di balkon kamarnya setelah ia memutuskan pembicaraan begitu saja dengan Dinar. Terlalu malas untuk Ghifari meladeninya. Baginya itu tidak penting, dan Ghifari juga ingin egois.

Ghifari masih ingin tetap bungkam, ia tidak mau memberi tahu Wildan ataupun membiarkan Wildan jatuh dalam lubang yang sudah ia kubur rapat-rapat oleh tanah. Ghifari tidak akan rela sampai kapanpun jika Wildan harus ada pada tangan Dinar.

"Sekeras apapun lo lakukin apa yang lo mau, gue! Selagi gue masih bernapas. Tidak akan ada yang namanya perpisahan!" Ghifari menekan kuat kata-katanya sampai urat lehernya terlihat dengan jelas.

Pikirannya kacau kali ini, jika saja Ghifari tahu dari awal. Orang yang mengajaknya bertemu tadi adalah Dinar, mungkin Ghifari tidak akan menemuinya. Bahkan tidak akan pernah melirik pesan dari Dinar sekalipun.

"A!"

"Dengar! Jangan pernah sekalipun membahas itu kembali." emosi Ghifari masih menggebu-gebu yang menyebabkan dia jadi salah pokus. Dalam pikirannya yang masih kalut akan percakapan tadi dengan Dinar, tiba-tiba saja Wildan datang membuat emosi Ghifari jadi tersasar padanya.

Wildan diam cukup lama, pertama kalinya Ghifari berbicara keras. Kaget tentu saja ia rasakan, jantungnya seakan berhenti berdetak.

"Disuruh ke bawah sama Mamah, makan." suara Wildan tidak kalah tegasnya dari Ghifari, bahkan setengah berteriak.

Mampus! Ghifari baru menyadarinya. Dia berbalik, melihat wajah Wildan yang menatapnya tidak suka. Terlihat sekali dengan jelas, dari masing-masing sisi kantung mata Wildan membendung air liqued bening itu yang sedetik lagi tumpah. Buru-buru Wildan berbalik, berlari meninggalkan Ghifari yang misuh-misuh sendiri sekarang.

Ia menggerutuki kebodohannya, bisa-bisanya Ghifari salah sasaran. Bisa rumit ini mah urusannya kalau udah gini, Wildan paling susah untuk dibujuk, enggak kaya anak-anak bocil yang disogok permen langsung ngacir.

"Wildan, tunggu atuh." Ghifari terus berlari mengejar langkah Wildan yang sudah lebih dulu melangkah lebih jauh dari Ghifari.

"Dede, tunggu Gege!"

Persetan! Telinga Wildan seakan tuli, ia benar-benar dalam mode ngambek kali ini. Mau dibujuk pake permen segudang pun tidak akan bisa, kalau udah ngambek ya, udah gitu. Udah kaya perempuan yang ditinggal mabar sama do'i.

Beberapa kali tangan Ghifari menjangkau tangan Wildan, dengan beberapa tepisan pula yang dilakukan Wildan. Sampai akhirnya, ia duduk dikursi meja makan, memalingkan wajahnya ke samping kiri.

"Cil, serius deh. Gue enggak sengaja. Lo sih muncul tiba-tiba, mana gue barusan habis adu mulut sama Abang lo."

Wildan yang tadinya tidak ingin peduli kini langsung menatap wajah Ghifari dengan cepat, hanya karena mendengar kata 'Abang' apakah sebelumnya mereka telah bertemu? Mereka memperbincangkan apa, sampai Ghifari. Aa-nya emosi seperti itu.

"Abang, Aa habis ketemuan?"

Anak itu menampar keras mulutnya. Baru saja ia hanya ingin merahasiakan ini semua, kenapa tiba-tiba bisa kelepasan seperti ini. Tidak ada alasan lain lagi selain memberi tahu yang sebenarnya, walau Wildan ini anak yang terbilang polos. Tapi ya enggak mungkin Ghifari kasih asupan dia omongan konyol, anak SD juga bakalan paham kali.

"Abang lo yang ngajak duluan," tutur Ghifari.

"Bang Dinar bilang apa?" tanya Wildan.

Ghifari menghela napas, rasanya ia tidak ingin melanjutkan perkataannya lagi. Detik ini juga Ghifari ingin pura-pura pingsan saja.

"Dia mau bawa lo, ke keluruhan desa."

"Eh." hanya ingin mencairkan suasana, tapi Wildan malah menatapnya tajam. "Maksudnya mau bawa lo ke luar negeri."

Wildan tertegun. Apa yang menyebabkan Dinar ingin membawanya pergi jauh? Apakah Dinar mulai menerima Wildan dihatinya, Wildan senang. Namun Wildan juga sedih, tidak ingin meninggalkan keluarga yang sudah memberikannya warna dalam langkah yang dituju.

***

Aa' The Best  (Bukan BxB!)✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang