"Wildan sering kali berpikir, benarkah tanpa kehadirannya keluarga Wildan akan sangat bahagia?"
11. Kunci sabit
****
Ternyata benar, berharap lebih itu tidaklah baik. Berharap lah seadanya saja. Maka jika dikecewakan tidak terlalu sakit, sakitnya hanya setengah. Wildan takut jika ia terlalu begitu berharap ujungnya akan kecewa.Kakinya masih melangkah menuju alamat yang tengah ia tuju. Baru saja setengah jam ia berjalan masih tersisa tiga puluh menit lagi. Kedua mata Wildan menangkap sosok segerombolan orang-orang yang sepertinya anak sekolahan.
Melihat mereka, Wildan jadi teringat dengan sang Kakak. Seragam putih abu mendominasi kegantengan mereka, Wildan hanya berjalan biasa karena memang Wildan tidak mengenal siapapun dari mereka.
Salah satu dari mereka tanpa sengaja menjatuhkan sebuah kunci, mungkin kunci rumah atau kunci motor. Pasalnya mereka berjalan menuju caffe yang posisinya tidak terlalu jauh.
"Kak, Kakak!" teriak Wildan mengejar segerombolan anak sekolahan itu.
Sebagian tidak ada yang mendengar, dan seorang pemuda dengan wajah tampannya berbalik, menunggu Wildan untuk menghampirinya.
"Ya?"
"Em ... ini Kak, kuncinya jatuh." Wildan memberikan sebuah kunci motor dengan gantungan bulan sabit.
"Oh, iya. Thanks ya." Wildan mengangguk, lalu membungkukkan badan seraya berpamitan sopan. Sedangkan pemuda itu hanya menatap punggung Wildan yang perlahan menjauh dari pandangannya.
Kaki Wildan udah benar-benar pegal, kini matanya berbinar kala melihat gerbang yang menjulang tinggi dengan dua pohon yang saling berdampingan. Apakah benar ini alamatnya? Rumahnya lebih besar dari rumah Wildan sebelumnya.
"Pak, apakah benar ini alamat rumah Bu Anjani?" tanya Wildan menyodorkan secarik kertas tersebut.
"Iya, ada keperluan apa ya? Nyonya, Tuan sama Tuan muda lagi keluar. Kalau memang sangat penting, silahkan menunggu."
Wildan menghela napas pelan, sudah letih ia berjalan kesini. Tau-taunya semua keluarga tengah pergi. Tidak apa lah Wildan menunggu, walau lama setidaknya ia bisa tinggal bersama dengan sang Ibu disini.
"Iya, Pak."
Mentari mulai menghilang digantikan oleh senja, Wildan masih duduk didepan gerbang tanpa bergerak sedikit pun. Kenapa keluarganya sangat lama sekali, padahal Wildan sudah benar-benar ingin merebahkan tubuhnya, atau sekedar menghilangkan dahaga.
'Tin tin!'
Mata Wildan langsung melotot. Ia melihat mobil ingin memasuki gerbang yang tengah ia jadikan senderan itu. Wildan menebak itu pasti Ibu, Abang juga Ayah tirinya. Atau mungkin ... calon.
Wildan tidak langsung masuk ke dalam. Ia menunggu sang Ibu yang menghampiri nya duluan. Seperti dugaan Wildan, sang Ibu menghampiri Wildan yang masih berdiri dengan senyuman yang tidak ada lunturnya.
Harapan Wildan lenyap. Ketika sang Ibu menampar pipinya kuat membuat pandangannya menjadi terhempas ke samping. Apa ini? Katakan semua ini hanyalah mimpi, tidak mungkin Ibunya bermain tangan bukan? Wildan masih mengira ini semua mimpi, namun ia menyadari ketika sang Ibu mengangkat dagunya kasar.
"Kamu, ngapain di sini?! Pergi, dan jangan, pernah, kembali lagi!"
Penuh bentakan dan penekanan, seakan Wildan adalah mahluk yang menjijikan. Ia pikir Wildan akan diperlukan layaknya seorang anak. Namun ... ini lebih buruk. Demi apapun, hari ini adalah hari yang terburuk bagi Wildan.
"Ibu ... Ayah jual rumah. Ayah bilang Wildan tinggal sama Ibu." Wildan berucap dengan pelan, tidak ingin membalas bentakan dari sang Ibu.
Anjani, tertawa hambar. "Ck, saya tidak bisa! Jangan merusak suasana rumah tanggaku. Lebih baik kamu susuli Ayahmu sana! Saya ingatkan kembali. Sekarang pergi dan jangan pernah menampakan wajah kamu lagi didepan wajah saya!"
Wildan yang malang. Selalu mendapat usir an kejam dari kedua orangtuanya Mendadak, Wildan merasa menjadi orang sebatang kara. Tidak memiliki siapa-siapa, dan terus melangkah tanpa tujuan pulang.
Wildan melirik sekali lagi ke arah rumah mewah Ibunya. Punggung Anjani mulai menjauh memasuki rumahnya. Sedangkan Dinar, Kakaknya itu memandang datar tanpa ekspresi.
Wildan kembali berjalan. Kali ini pandangannya fokus ke depan. Benaknya sedari tadi sangat ribut dengan pertanyaan-pertanyaan di mana kah Wildan akan tinggal?
Dia tidak mungkin kembali ke rumahnya dulu, Ayahnya pasti sudah menjual rumah itu. Sedangkan Wildan, tidak mengetahui di mana letak dan alamat rumah baru Ayahnya.
Wildan mendongak, awan tampak begitu cerah tanpa ada peringatan hujan melalui mendung. Wildan menghela napasnya lega. Setidaknya dia tidak terlihat sangat menyedihkan seperti di sinetron jika ada hujan.
Setelah posisinya sedikit jauh dari rumah sang Ibu, Wildan berencana untuk mendudukkan pantatnya di pinggir jalan yang terdapat pohon mangga. Dia berteduh sejenak dari panasnya sinar mata hari. Sekarang Wildan harus kembali memikirkan ke mana dia akan pergi.
Ke rumah Ibunya lagi? Ya, mungkin lain kali Wildan akan mencobanya. Wildan ingin sekali diperebutkan hak asuhnya, atau kalau perlu Ayah dan Ibunya tidak usah cerai saja, namun sayangnya hal itu sangat impossible.
Buktinya, Wildan selalu diusir dari rumah Ayah dan Ibunya.
Wildan sering kali berpikir, benarkah tanpa kehadirannya keluarga Wildan akan sangat bahagia? Lalu, apa gunanya Wildan lahir ke dunia?
Kepala Wildan menggeleng pelan. Tidak seharusnya Wildan memikirkan hal-hal seperti itu. Wildan harus bersyukur, karena sudah dibolehkan melihat dunia.
"Tidur sebentar, gak apa-apa, 'kan?"
***
"Engh ...."
"Eh, A! Ini loh udah bangun."
"Ha? Cepet banget, aku kira bakal lama sampai selama-lamanya."
'Plak!'
"Kebiasaan bercandanya."
Wildan membuka kelopak matanya. Kepalanya sangat sakit, dadanya juga terasa sakit. Kedua tangan Wildan sangat susah digerakka.
Anak laki-laki itu berusaha mengubah posisinya menjadi duduk. Seorang wanita dengan senyuman manis memandang netra Wildan habgat.
Lengannya menyentuh dahi Wildan, kemudia menyerahkan gelas berisi air putih.
"Minum dulu."
Wildan menuruti wanita itu, tenggorokan-nya memang terasa sangat kering. Mungkin karena dari kemarin Wildan belum menyentuh air, memakan makanan saja baru dua sendok. Yang selanjutnya terjadi, Wildan mengamuk di depan Ayahnya.
Mengingat itu membuat Wildan memandangi ruangan yang sedang dia tempati. Ruangan ini terlihat seperti kamar. Wildan menunduk, berusaha mengamati benda yang sedang dia duduki.
"Kamu ada di kamarnya anak Ibu. Ga usah mikir yang berat-berat dulu, istirahat aja sepuas-puasnya," pinta wanita yang ada di hadapan Wildan.
"Mah, ntar aku tidur di mana kalau dia istirahat di kamar aku?"
Wildan menoleh ke arah sumber suara itu. Tampaknya, Wildan baru menyadari ada seorang anak laki-laki berseragam putih abu-abu.
"Hus! Gak boleh gitu," protesnya.
Wildan masih menatap anak laki-laki itu, suara dan wajahnya tampak tidak asing bagi Wildan. Dia seperti pernah bertemu.
Sedangkan cowok itu berdehem, sedikit risih dipandang lekat oleh anak seusia dua belas tahun an.
"Tunggu, Kakak yang punya kunci sabit tadi? Yang jatuh itu Kak," celetuk Wildan yang membuat Ibu dan anak itu membulatkan kedua matanya.
"A'a! Jadi kamu yang diam-diam ambil kunci motor Mamah, hah?!"
"Mampus."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Aa' The Best (Bukan BxB!)✔
Ficção Adolescente🙏Ini bukanlah cerita gay, ini cerita murni kakak ber-adik. [Lengkap✔] Wildan anak yang tak diinginkan, dia juga korban perceraian orangtuanya. Wildan selalu diusir oleh Ayah dan Ibunya yang sudah memiliki keluarga sendiri-sendiri. Sampai pada akhi...